c

Selamat

Minggu, 16 November 2025

NASIONAL

10 Oktober 2018

19:37 WIB

Butuh Cuan Untuk Jadi Tuan

Mahar tersebut umumnya menjadi nilai tukar agar calon-calon tadi bisa maju dengan partai sebagai kendaraan mobilisasi suara konstituennya

Editor: Agung Muhammad Fatwa

Butuh Cuan Untuk Jadi Tuan
Butuh Cuan Untuk Jadi Tuan
Ilustrasi. Politik uang. ANTARA FOTO/Maulana Surya.

JAKARTA – Terbukanya celah dalam proses pengajuan calon anggota legislatif maupun calon-calon lain dalam pemilu membuat situasi itu kerap dimanfaatkan oleh partai politik. Mahalnya biaya demokrasi menjadi justifikasi parpol untuk menyerap dana dari sejumlah potensi yang ada.

Menjelang hari H pemilihan umum, indikasi adanya perputaran uang antara parpol dan partisipan pun makin menguat. Seolah sudah menjadi rahasia umum, penjaringan dana oleh parpol intensitasnya pun makin besar.

Direktur Eksekutif Perludem Titi Anggraini berpandangan, hal ini merupakan akibatnya tidak berjalannya konsep parpol sebagai institusi yang inklusif. Kondisi tersebut kemudian menciptakan proses kaderisasi dan rekrutmen di internal partai tidak berjalan apik.

Belum lagi soal parpol yang membutuhkan dana segar untuk terus menggerakan mesin partai. Biasanya, sokongan cuan dari kalangan kader partai maupun simpatisan yang berlabel pengusaha menjadi alternatif yang tidak bisa dielakkan.

“Nah ketika mereka melakukan pembiayaan terhadap partai, lalu partai digerakkan hanya oleh dana yang mayoritas bersumber dari mereka, biasanya ini diikuti perilaku-perilaku yang kemudian tidak demokratis,” ucapnya kepada Validnews, Sabtu (6/10).

Menjadikan pemilu sebagai celah untuk meraup rupiah tersebut kemudian bisa dipahami dari perilaku partai dalam mengajukan calon maupun tokoh dadakan ketika masa pemilihan akan berlangsung. Biasanya, dan hampir dapat dipastikan calon yang terpilih tersebut berasal dari pengusaha maupun tokoh dengan kekuatan finansial yang mumpuni.

“Mekanisme proses pencalonan juga menjadi ruang bagi parpol untuk mendapatkan sumber-sumber pendanaan baru dengan melalukan rekrutmen terhadap para pengusaha dan juga para pesohor,” ujarnya.

Bukan hanya sumbangan semata, kerap kali pemilu dimanfaatkan partai sebagai ajang untuk mendapatkan capital injection berupa mahar yang berasal dari pengusaha maupun pesohor yang hendak berlaga dalam pertarungan politik. Mahar tersebut umumnya menjadi nilai tukar agar calon-calon tadi bisa maju dengan partai sebagai kendaraan mobilisasi suara konstituennya.

Menurut Titi, kondisi yang demikian sudah menjadi rahasia umum bagi aktivitas politik di seluruh Tanah Air. Sebagai gambaran nyata, sebut saja kasus La Nyalla di Jawa Timur beberapa waktu lalu. Kemudian, spekulasi mahar di Pilkada Cirebon, lalu Pilkada Palangkaraya. Terakhir dan paling santer terdengar adalah dugaan mahar politik terkait pencalonan Sandiaga Uno sebagai wakil presiden yang disebut-sebut menyentuh angka Rp500 miliar.

“Selalu menguap tanpa jejak (Soal mahar politik.red). Jadi, sesuatu yang berdasarkan pengakuan banyak kader parpol terjadi, membuat kita tidak bisa berbuat banyak,” keluh Titi.

Kemunculan para calon dan tokoh yang berani berspekulasi dalam pesta demokrasi dengan modal kantong tebal tampaknya akan terus terjadi, paling tidak dalam pemilu terdekat yakni 2019. Karena, instrumen hukum belum mampu menjangkau realitas sosial yang terjadi dalam proses pencalonan melalui mekanisme penegakan hukum.

Bak gayung bersambut, keberanian para kader dadakan non-organik tersebut sepertinya juga bisa menjadi asa partai politik peserta pemilu untuk melepas dahaga sumber pendanaan.

 

Diperbolehkan
Politisi Partai Golongan Karya (Golkar) sekaligus anggota komisi II DPR-RI Rambe Kamarul Zaman mengakui, sumbangan pengusaha maupun simpatisan memang kerap kali masuk untuk mendukung pendanaan partai. Dalam pandangan dia, amanat konstitusi telah menyampaikan bahwa parpol diperbolehkan menerima bantuan, khususnya finansial, untuk menjalankan aktivitas politiknya.

“Undang-undang itu menyatakan ketentuannya boleh partai mendapatkan sumber-sumber dana yang lainnya. Misalnya kalau dari badan usaha sekian dan kalau dari perseorangan sekian. Sejauh itu tanpa paksaan dan dengan kesadaran sendiri, serta sesuai dengan kepantasan. Maksud kepantasan di sini adalah sesuai dengan kemampuan maupun skala usahanya dia,” tuturnya saat berbincang dengan Validnews, Rabu (10/10).

Adapun yang dimaksud oleh Rambe adalah batas maksimal sumbangan kampanye untuk Pilpres 2019, yang menegaskan bahwa batas sumbangan individu yang semula Rp1 miliar menjadi Rp2,5 miliar. Kemudian, sumbangan dari badan usaha atau korporasi meningkat dari sebelumnya Rp7,5 miliar menjadi Rp25 miliar.  

Namun, Rambe mengingatkan kepada para pihak yang terlibat dalam aktivitas pemilu untuk menghindari kontrak politik yang bersifat mengikat. Apalagi, dengan menjanjikan hal-hal tertentu. Pasalnya, komitmen pra-pemilu tersebut dikhawatirkan membuat proses pengambilan keputusan menjadi tidak objektif dan transparan.

“Yang bahaya itu yang belum jadi apa-apa tapi sudah menjanjikan sesuatu,” imbuhnya. 

Menurut dia, sumber pendanaan yang berasal dari pemerintah saat ini sama sekali belum dapat mencukupi biaya partai politik dalam menghidupi dirinya sendiri. Walaupun, sudah ada regulasi yang mengatur kenaikan subsidi yang berpatokan dari suara sah terhitung dari sebelumnya Rp108 menjadi Rp1.000, tetap saja nilai akumulasi yang diterima dianggap tidak mencukupi.

“Paling hanya 2% dari keperluan parpol. Mungkin ke depan tidak hanya naik jadi Rp1.000 mungkin bisa Rp10.000,” ucapnya.

Ketika Validnews, menyinggung soal sumbangan dari caleg yang tergolong baru dan bukan berasal dari struktur organik kepartaian, Rambe membenarkan hal tersebut. Karena, kata dia, setiap aktivitas politik pasti menghasilkan biaya tertentu, apalagi pada masa kampanye.

“Iya pasti ada, apalagi pada masa kampanye. Kalau mereka mendatangi daerah pemilihannya, untuk akomodasi dan transportnya bagaimana? Belum lagi soal atribut kampanye pasti butuh biaya,” jelasnya.

Dalam tubuh internal Partai Golkar sendiri telah disusun sebuah mekanisme yang mencatat tiap-tiap sumbangan dari para pengusaha maupun simpatisan yang turut mendanai jalannya mesin partai dalam berpolitik. Namun, Rambe menolak berkomentar lebih jauh berapa rata-rata nilai yang terkumpul pada tiap sumbangan tersebut.

Sementara itu, Peneliti Cakra Wikara Indonesia Yolanda Panjaitan menjelaskan bahwa partai politik punya pos belanja yang besar terkait dana kampanye. Ini sangat berkaitan erat dengan sistem pemilu terbuka yang secara konteks berperan membuat ongkos politik menjadi sangat mahal.

“Kita sekarang sudah menerapkan bahwa caleg yang terpilih berdasarkan suara terbanyak. Konsekuensinya, dia harus menciptakan dukungan sebanyak-banyaknya atau memelihara dukungan suara kalau dia sudah punya,” katanya.

Menurut dia, ongkos yang diperlukan partai atau caleg untuk bertemu konstituennya cukup besar, karena mereka perlu mengadakan sejumlah pertemuan dengan tokoh maupun kelompok masyarakat. Kondisi demikian yang pada akhirnya membuat ongkos pemilu menjadi mahal, dan kebutuhan biaya tersebut sebagian besar tertutupi dari dana yang bersumber dari pengusaha.

 “Jadi kita tahu siapa orang-orang yang berpotensi memengaruhi politik setelah terpilih nanti. Kalau kita tahu siapa atau perusahaan mana yang kasih sumbangan banyak ke partai, kita minimal bisa berjaga-jaga akan sejauh mana dia bisa memengaruhi proses legislasi, UU maupun anggaran,” jelas Yolanda.

Kemudian, terkait dengan fenomena mahar politik, dia sendiri mengatakan bahwa secara akademis konsep tersebut belum memiliki arti yang jelas. Namun tidak dapat dimungkiri, konsep itu secara umum dipakai untuk mengungkapkan adanya proses transaksional dalam konteks pemilu untuk memperoleh dukungan suara.

Peran Relawan
Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia Lucius Karus lebih menyoroti peran relawan dalam praktik jual-beli dukungan. Pasalnya, undang-undang belum mengatur posisi serta para relawan dalam aktivitas politik.

“Relawan-relawan itu tidak ada undang-undang yang bisa kontrol mereka punya keuangan. Namanya saja relawan, tetapi di belakang punggungnya partai semua. Nah, banyak uang dari pengusaha besar yang selama ini diduga berasal dari calon tertentu itu. Relawan ini memang dikendalikan oleh satu-dua orang elite parpol,” katanya saat ditemui Validnews, Jumat (5/10).

Untuk itu, sambung Lucius, kenapa saat ini terjadi fenomena relawan yang tumbuh subur dalam lima tahun belakangan karena memang banyak dipelihara oleh kubu-kubu politik tertentu. Bahkan, dia menduga, kelompok relawan-relawan tersebut dapat dialihfungsikan sebagai kendaraan dalam menggelapkan sumber dana atau media pencucian uang.

“Karena memang tidak ada aturan yang bisa menjerat para relawan ini. (Relawan.red) kemudian memudahkan pencucian uang yang mestinya masuk ke kas parpol, tapi kemudian malah diolah oleh para relawan, kan tidak terpantau,” imbuhnya.

Lucius berharap, pada masa mendatang akan ada regulasi yang memayungi serta mengidentifikasi kegiatan dari para relawan tersebut sehingga pesta demokrasi bisa berjalan lebih terbuka. Selain itu, dia juga ingin nantinya relawan mempunyai struktur organisasi serta program kerja yang jelas.

Menyoal soal mahar politik, peneliti Formapi itu juga menemukan celah bahwa saat ini belum ada aturan yang bisa mengontrol besaran dana yang dikeluarkan dalam transaksi politik.

“Tidak ada yang bisa meng-cover, karena itu swasta dengan swasta. Kecuali kalau sudah masuk dana kampanye sebab harus terpantau oleh penyelenggara pemilu lewat rekening,” ucapnya.

Tepis Tudingan
Terpisah, Mantan Ketua DPR-RI Periode 2009-2014 Marzuki Alie mengakui jika praktik jual-beli suara telah lumrah terjadi dan sudah menjadi rahasia umum dalam ranah politik Tanah Air. Dalam pandangan dia, permainan jual-beli suara merupakan kejahatan demokrasi.

“Itu permainan kader, permainan caleg-caleg,” tuturnya saat ditemui Validnews, Rabu (10/10).

Namun, praktik tersebut bukan dilakukan partai. Marzuki mensinyalir, caleg yang terlibat jual-beli suara tersebut melakukan kerja sama dengan otoritas penyelenggara pemilu, begitu sadar bahwa dirinya tidak berhasil menduduki kursi parlemen karena perolehan suara yang didapat tidak mencukupi.

 “Kita semua tau ada orang-orang yang dapat suara, tapi karena partainya enggak lolos, ya udah dia jual aja suaranya,” terangnya.

Terpisah, Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Ferry Juliantono mengklaim, partainya tidak mencari keuntungan finansial lewat momen pemilihan presiden ataupun pemilihan legislatif.

“Sudah mantap (keuangan.red) Gerindra, jangan main-main,” katanya saat disambangi Validnews di Jakarta, Jumat (5/10).

Ferry menegaskan, sejauh ini kondisi finansial partai selalu dalam kondisi baik. Pasalnya, partai yang berlogo burung garuda tersebut memiliki sokongan dana dari sejumlah koperasi hingga sumber internal yang mampu mencukupi kebutuhan politik.

Ketika disinggung mengenai beberapa parpol yang merapat ke Gerinda, Ferry mengaku jika partai tersebut memilih berkoalisi dengan poros Prabowo-Sandi lantaran memiliki kecocokan secara visi dan misi.

“Sosok pak Prabowo itu cukup populer sehingga menjadi salah satu pertimbangan  partai-partai itu,” kata dia.

Waketum Gerinda itu juga menjelaskan bahwa partainya tidak memberikan persyaratan apapun bagi partai lain yang ‘memberikan’ suaranya. Dirinya pun menampik tudingan yang menyebut ada uang mahar dalam koalisi yang dibangun Prabowo-Sandi.

“Kalau kegiatan pemilu legislatif, pemilu presiden, itu sudah aman,” tutupnya. (Andry Winanto, Monica Balqis, Teodora Nirmala Fau, Shanies Tri Pinasthi, Bernadette Aderi)


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar