c

Selamat

Minggu, 16 November 2025

NASIONAL

04 September 2017

17:15 WIB

Birokrasi Bertele-tele “Ala” BPJS

Birokrasi antrean hingga relationship officer minim komunikasi menjadi salah satu kendala ditemui masyarakat dalam pendaftaran BPJS Kesehatan

Birokrasi Bertele-tele “Ala” BPJS
Birokrasi Bertele-tele “Ala” BPJS
Ilustrasi BPJS. ANTARAFOTO

JAKARTA – “Saya nggak punya BPJS. Ngurusnya lama jadi ditarik lagi datanya. Gak enak ijin terus sama kantor Karena harus bolak-balik ke BPJS.”

Halida Harnum (37), warga Cengkareng menyampaikan keluhan tersebut kepada Validnews, Senin (4/9). Halida mengaku sekitar dua pekan sebelum Ramadhan lalu memasukkan data dirinya beserta keluarga untuk pengurusan BPJS di Puskesmas Cengkareng, Jakarta Barat.

Ketika itu ia meminta ijin di tempatnya bekerja karena proses antrian BPJS yang menurutnya pasti akan memakan waktu lama. Benar saja, ia diharuskan kembali karena ada kesalahan aministrasi penulisan nama anggota keluarga di kartu keluarga.

Halida bergegas memperbaiki dokumen kartu keluarganya ke ketua RW setempat dan selanjutnya ke kelurahan. Berbekal dokumen kartu keluarga yang telah direvisi, keesokan harinya Halida kembali mendatangi Puskesmas Kecamatan Cengkareng. Lagi-lagi ia harus meminta ijin dari kantornya.

Pengurusan BPJS Kesehatan yang dilakukan secara mandiri oleh warga biasanya memakan waktu dua minggu. Namun, faktanya hingga menjelang Idul Adha lalu BPJS milik keluarganya tak juga selesai.

Kesal, Halida pun memutuskan untuk mencabut kembali data-datanya di Puskesmas itu. Ia berdalih pengurusan BPJS secara mandiri tak efisien.

Pengalaman tak mengenakkan juga dialami oleh Atun (37). Ia menceritakan harus berurusan dengan birokrasi BPJS yang dianggapnya bertele-tele. Pada tanggal 27 Juli lalu, Tumini tantenya, harus menjalani perawatan di RS Sumber Waras, Jakarta Barat.

“Posisi BPJS dia ada tunggakan. Besoknya saya diminta bantu aktivasi BPJS-nya di Palmerah.  Setelah bayar iuran di Indomaret, saya ke BPJS untuk aktivasi,” ujar Atun.

Setibanya di kantor BPJS Kesehatan di Palmerah, Atun melihat padatnya kerumunan peserta BPJS yang sedang mengantri. Ironisnya sistem antrian hanya mengandalkan satpam di depan pintu untuk melayani pendaftar, atau masyarakat yang hendak mengaktivasi kembali BPJS Kesehatan.

Riweh banget, banyak orang dan gak tertib. Gak ada customer service cuma ada satpam yang ditanya cuma bilang tulis nama di buku besar ntar dipanggil. Ternyata ini antrian untuk petugas yang di depan kantor yang nerima keluhan kita,” jelas Atun.

Lebih dari dua jam ia harus menunggu. Karena hanya dua petugas yang melayani, Atun diberikan catatan untuk masuk ke ruangan yang berada di dalam. Di situ ia kembali mengantri sebelum dilayani oleh salah satu customer service.

“Saya kasih note dari petugas depan untuk bayar denda.  Hanya mau tahu angka berapa yang harus dibayar, saya harus nunggu dipanggil lagi dengan alasan nanti bagian keuangan input dulu,” timpalnya kesal.

Kesabaran Atun akhirnya habis. Ia kembali di customer service dan mendesak agar bagian keuangan ditelepon untuk meng-input data. Bukan tanpa alasan, Atun merasa birokrasi BPJS Kesehatan yang sangat lambat akan berdampak pada perawatan tantenya di rumah sakit.

“Baru dia pegang gagang telepon minta input.  Jadi dari tadi saya bolak balik cuma disuruh nunggu nanti dipanggil. Bener-bener nggak kreatif dan nggak respect sama orang. Dan CS yang dipasang anak-anak masih muda belia yang kalau ditanya banyak gak tahu. Kurang product knowledge-nya,” cerita Atun.

Setelah mendapatkan angka yang harus dibayarkan, Atun berburu dengan waktu karena harus membayar ke kantor pos. Waktu memang terasa mendesak, apalagi hari itu adalah Jumat. Kendala lain, ATM hanya bisa di BRI dan Mandiri saja.

“Kurang sistematis pelayanannya. Hanya buat koreksi jenis kelamin ada ibu-ibu yang harus mengalami hal serupa, nunggu berjam-jam. Sementara pasien sudah masuk ke rumah sakit dan posisi mau operasi.  Memang untuk ganti data gak bisa online kah?  Hal yang seperti ini kok payah ya,” Atun mengeluh.

 

 

 

Drop Box
Pengalaman Halida dan Atun merupakan potret birokrasi BPJS. Keluhan pembatasan waktu pendaftaran di BPJS juga menjadi persoalan lain. Pantauan Validnews di ruang tunggu pendaftaran di BPJS Rawamangun Februari lalu. Sekilas memang tidak terlihat kepadatan di sana, hanya saja, tidak semua orang yang membawa berkas-berkas menjadi peserta BPJS diterima oleh petugas.

Pasalnya, mereka yang datang melebihi batas waktu pendaftaran per hari tak lagi dilayani. Tak ayal mereka harus kembali keesokan harinya, tentu dengan waktu kedatangan yang lebih awal.

Pembatasan waktu pendaftaran kerap kali pula dianggap sebagai pembatasan peserta daftar oleh sebagian masyarakat. Oleh BPJS, pembatasan itu disebut sebagai pengaturan proses pendaftaran.

Kepada Validnews, Kepala Humas BPJS Kesehatan, Nopi Hidayat, menyatakan pengaturan ini dilakukan guna membuat pendaftaran kian nyaman dengan waktu tunggu antrean yang tidak melulu membeludak.

 “Tidak ada pembatasan sebenarnya, hanya mekanisme pengaturan antrean sehingga tidak terjadi penumpukan. Juga jadi kepastian waktu menunggu,” ujarnya, Senin (4/9).

Hingga kini BPJS Kesehatan masih mengatur standardisasi waktu tunggu pendaftaran di tiap wilayah. Jangan heran jika batas waktu pengambilan nomor pendaftaran di satu kantor BPJS yang satu berbeda satu sama lain. Semuanya bergantung dengan kapasitas petugas yang ada di kantor tersebut. Untuk cabang-cabang di Jakarta, banyak yang menerapkan waktu pengambilan nomor pendaftaran dari pukul 08.00—11.00 WIB.

Nopi tidak menampik adanya kendala pendaftar-pendaftar BPJS Kesehatan secara konvensional terpaksa harus kembali lain waktu karena melewati batas waktu pengambilan nomor.

Seharusnya hal tersebut tidak terjadi lagi mengingat sejak April 2017 BPJS Kesehatan telah menyediakan fasilitas drop box. Tiap peserta bisa langsung memasukkan berkas-berkas pendaftarannya ke kotak tersebut, untuk kemudian tinggal menunggu panggilan dari BPJS mengenai kepesertaannya. Seluruh kantor pendaftaran BPJS Kesehatan per September tahun ini dipastikann telah memiliki drop box.

Penyediaan drop box dikembangkan pula di kantor-kantor kecamatan hingga ke mal. 

“Kami juga membuka booth dalam kesempatan tertentu untuk pendaftaran, seperti di pameran ataupun tempat-tempat tertentu, seperti kemarin embarkasi haji. Kita juga bekerja sama dengan perbankan untuk pendaftaran, termasuk juga payment online banking-nya,” terang Nopi Hidayat.

Penyediaan kanal pendaftaran online pun digencarkan, mulai dari pendaftaran lewat website BPJS, lewat care center, hingga lewat aplikasi yang bisa diunduh di Appstore maupun Playstore. Untuk pendaftaran lewat drop box maupun online, BPJS Kesehatan menjanjikan waktu tunggu maksimal 14 hari.  Itu pun jika seluruh berkas persyaratan telah lengkap serta calon peserta telah melakuan pembayaran lewat virtual account yang telah dikirimkan petugas.

“Nanti setelah dokumennya diproses, kami akan kirimkan virtual account-nya untuk pembayaran. Setelah dibayar, otomatis kartunya aktif, kemudian diterima oleh si peserta yang dikirim tadi. Ini tujuannya untuk mempermudah membuka kemudahan akses bagi peserta sehingga tidak terjadi pasien menunggu terlalu lama,” tutur Kepala Humas BPJS Kesehatan ini.

Hanya saja, saat ini pendaftaran BPJS Kesehatan untuk peserta mandiri harus langsung satu keluarga. Pesertanya sendiri pun harus telah tercantum dalam kartu keluarga (KK) tersebut. Apabila ada penambahan anggota keluarga di luar KK, izin domisili dari kelurahan harus terlebih dahulu untuk keputusan calon peserta itu ditambahkan di KK yang sudah ada atau menjadi peserta tunggal.

Prinsipnya adalah kepastian keterangan domisili bagi sang calon peserta tersebut. Hal tersebut dibutuhkan karena menyangkut fasilitas kesehatan pertama untuk sang calon pendaftar.

“Kalau tambah satu, ya berarti tinggal ditambahkan yang satu orang belum ada di KK sebelumnya. Tetap saja harus ada keterangan dia dari domisili mana atau sebagai bagian keluarga di wilayah tersebut,” ucap Nopi.

Minim Komunikasi
Persoalan pendaftaran tak hanya dialami bagi mereka yang memilih mengurus BPJS Kesehatan secara mandiri, namun juga bagi lingkungan perusahaan. Made Sukmandi pemilik perusahaan outsource PT Anggarkasih mengaku mengalami kendala pendaftaran pegawainya untuk memiliki BPJS Kesehatan. Umumnya disebabkan oleh faktor administrasi yang tak bisa diselesaikan oleh pegawai itu sendiri di perusahaan lamanya.

“Sebagian karyawan bermasalah dengan BPJS sebelumnya. Ada yang perusahaan sebelumnya nunggak. Seharusnya perusahaan sebelumnya menyelesaikan tunggakan itu terlebih dahulu, jadi BPJS karyawan tak tergantung,” jelas pemilik perusahaan dengan 80 karyawan ini.

Hal lain yang disoroti olehnya adalah karyawan yang tercatat sebagai penerima bantuan iuran, seharusnya ketika perusahaan mendaftar karena kewajiban status itu otomatis gugur. Namun faktanya hal itu tak bisa serta merta terjadi. Karyawan penerima PBI harus menonaktifkan terlebih dahulu BPJS miliknya dan kemudian didaftarkan kembali oleh perusahaan. Karyawan yang meminta ijin tak bekerja dengan alasan mengurus BPJS Kesehatan, diakui Made sampai saat ini bukan sebuah persoalan baginya.

Human Resources Development (HRD) Hotel Citradream Bintaro, Novie, mengaku umumnya secara sistem BPJS telah baik. Persoalan yang ditemui hanyalah sistem yang terkadang error, namun bisa diprediksi waktunya. Hal itu dikatakannya bisa diatasi dengan menghubungi relationship officer (RO) BPJS Kesehatan di wilayah perusahaannya berada.

Kendala justru menurutnya terletak pada komunikasi RO terhadap perusahaan. 

“Kendala di RO. Di BPJS Ketenagakerjaan RO pro aktif, mereka sudah tersusun baik, lebih kooperatif. Beda BPJS Kesehatan, kooperatifnya kurang, jadi agak lebih susah nyari RO-nya. Komunikasinya kurang,” bebernya. (M Bachtiar Nur/Teodora Nirmala Fau


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar