10 Juni 2020
20:52 WIB
Editor: Agung Muhammad Fatwa
JAKARTA – Direktur Utama PT Hanson International Tbk Benny Tjokrosaputro yang juga terdakwa kasus Jiwasraya menyebut, ada kesalahan pemblokiran aset oleh Kejaksaan Agung dalam perkara dugaan tindak pidana korupsi pengelolaan dana dan penggunaan dana investasi pada PT Asuransi Jiwasraya (Persero).
"Ada kesalahan dalam penyitaan aset dan pemblokiran rekening bank milik masyarakat dalam perkara ini, termasuk kesalahan penyitaan aset dan pemblokiran rekening bank dan perusahaan saya oleh Kejaksaan Agung," kata Benny saat membacakan nota keberatan (eksepsi) di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Rabu (10/6) seperti dilansir Antara.
Benny bersama lima orang terdakwa lainnya didakwa melakukan tujuh perbuatan yang merugikan keuangan negara sebesar Rp16,807 triliun, atas pengelolaan keuangan dan dana investasi pada PT Asuransi Jiwasraya periode 2008—2018.
Kelima orang tersebut adalah, Direktur Utama PT Asuransi Jiwasraya (Persero) 2008—2018 Hendrisman Rahim, Direktur Keuangan Jiwasraya periode Januari 2013—2018 Hary Prasetyo, Kepala Divisi Investasi dan Keuangan Jiwasraya Syahmirwan 2008—2014, Komisaris Utama PT Trada Alam Minera Tbk. Heru Hidayat, dan Direktur PT Maxima Integra Joko Hartomo Tirto
"Saya sangat sulit untuk mengerti isi surat dakwaan jaksa, baik saya sebagai orang awam hukum maupun sebagai orang yang berkecimpung di bidang pasar modal dan properti," ungkap Benny.
Menurut Benny, aset-aset properti perusahaannya dan rekening-rekening pribadinya juga ikut menjadi objek kesalahan penyitaan dan pemblokiran Kejaksaan Agung. Seperti yang dialami para nasabah asuransi PT Wanna Artha Life.
"Dakwaan yang dituduhkan kepada saya terjadi pada tahun 2008—2018. Akan tetapi, penyitaan aset-aset dan pemblokiran rekening-rekening bank dan perusahaan saya dilakukan terhadap aset-aset dan rekening-rekening bank dan perusahaan saya sebelum 2008, yaitu tercatat pada 2007, 2006, 2005, dan ke bawah," tuturnya.
Bahkan, kata Benny, ada aset berbentuk tanah yang diperoleh pada tahun 1990-an ikut menjadi objek penyitaan oleh Kejaksaan Agung.

Merasa Jadi Korban
Ia pun merasa menjadi korban pelanggaran HAM dan arogansi oknum-oknum kejaksaan. Menurut Benny, grup usaha utama milikinya, PT Hanson International Tbk., adalah perusahaan properti/real estate yang terdiri atas perumahan skala kota mandiri, hotel, pusat perbelanjaan, apartemen, dan resor vila.
Saat melakukan penjualan saham perdana pada tahun 2014, PT Hanson Tbk memperoleh dana dari investor dan mitra bisnis yang sudah diperiksa Otoritas Jasa Keuangan dan Bursa Efek. Termasuk juga kantor akuntan publik, kantor appraisal, konsultan hukum, konsultan pajak dan profesional lainnya. Jadi, menurutnya, sehingga kekayaannya dipastikan berasal dari sumber wajar sesuai dengan aturan berlaku.
Ia melanjutkan, perusahaan tersebut memiliki sekitar 1.000 orang karyawan. Juga melibatkan banyak tenaga kerja lain sebagai turunannya.
Perumahan yang dibangun, khususnya di daerah Maja, Lebak-Banten seluas 2.600 hektare, kata benny, adalah perumahan untuk masyarakat berpenghasilan rendah/menengah. Dengan total 18.000 rumah terjual dalam waktu 4 tahun.
"Namun, aset tanah yang disita Kejaksaan Agung telah membuat turunnya kepercayaan konsumen dan kreditur. Sebagai perusahaan terbuka di Bursa Efek Indonesia, ada 8.000 individu investor yang menanamkan sahamnya, mereka semua akan rugi bila aset perusahaan terbuka ini juga ikut disita," imbuhnya.
PT Hanson International Tbk, menurut Benny, memiliki utang ke bank, sekuritas, funder, dan masyarakat sekitar Rp8 triliun yang digunakan untuk investasi, ekspansi usaha, dan operasional. Berdasarkan hal tersebut, dia ingin membuktikan apa yang dialami para nasabah asuransi PT Wanna Artha Life yang rekening-rekening banknya menjadi objek salah blokir dan salah sita pihak Kejaksaan, juga terjadi pada diri saya.
"Saya mohon Yang Mulia berkenan menolak surat dakwaan jaksa dan membuka blokir rekening para nasabah asuransi tersebut dan blokir rekening bank saya, serta aset perusahaan PT Hanson untuk kepentingan publik," ungkap Benny.
Benny dalam nota keberatannya juga menyatakan sudah melunasi utang PT Hanson International Tbk kepada PT Jiwasraya dalam penerbitan surat utang medium terms notes, senilai Rp680 miliar pada tahun 2016. Atas dasar itu, Benny menilai tidak punya kewajiban hukum lagi kepada PT Jiwasraya
Enam terdakwa kasus dugaan korupsi pengelolaan dana dan penggunaan dana investasi pada PT Asuransi Jiwasraya (Persero) menjalani sidang perdana di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Rabu (3/6/2020). ANTARAFOTO/Galih Pradipta.
Pencucian Uang
Selain didakwa melakukan korupsi, Kejaksaan Agung juga mendakwa Benny Tjokrosaputro dengan pasal tindak pidana pencucian uang yang berasal dari korupsi Jiwasraya.
"Terdakwa Benny Tjokrosaputro selaku pihak yang mengatur dan mengendalikan instrumen pengelolaan investasi saham dan Reksa Dana PT Asuransi Jiwasraya (Persero), melakukan pembelian tanah, bangunan dan penempatan uang yang mengatasnamakan pihak lain dari hasil tindak pidana korupsi dalam pengelolaan investasi saham dan Reksa Dana PT Asuransi Jiwasraya (Persero) 2008-2018," kata Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejaksaan Agung KMS Roni, dalam persidangan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Rabu (3/6).
Untuk diketahui, Benny juga pemilik dan pengendali perusahan lain, seperti PT Pelita Indo Karya, PT Royal Bahana Sakti, PT Surya Agung Maju, PT Buana Multi Prima, PT Lentera Multi Persada, PT Mandiri Mega Jaya, dan beberapa perusahaan lainnya.
Sejak 2008 sampai 2018, PT AJS telah mengumpulkan dana dari hasil produk PT AJS berupa produk non saving plan, produk saving plan, maupun premi korporasi. Keseluruhan bernilai kurang lebih Rp91.105.314.846.726,70.
Kemudian, dalam pengelolaan investasi saham dan Reksa Dana PT AJS periode 2008—2018 yang diatur dan dikendalikan oleh Benny Tjokrosaputro dan Heru Hidayat, melalui Joko Hartono Tirto telah menimbulkan kerugian negara c.q. PT AJS sebesar Rp16.807.283.375.000. Sebagaimana laporan BPK pada tanggal 9 Maret 2020.
"Khusus mengenai tuduhan TPPU maka terlebih dulu perlu saya sampaikan bahwa saya telah mengikuti tax amnesty pada 2017 dengan melaporkan seluruh harta kekayaan. Saya mendeklarasikan semua harta saya sebesar Rp5,3 triliun, dengan pajak yang dibayar sebesar Rp161 miliar kepada negara," ucap Benny.

Merugi Sejak 2006
Selain itu, Benny juga mengatakan PT Asuransi Jiwasraya (AJS) sudah merugi sejak 2006 sehingga tidak adil bila kerugian tersebut ditimpakan kepada dirinya.
"Jiwasraya sudah rugi sejak 2006, di sini saya menjadi korban ketidakadilan seluruh kerugian Jiwasraya dibebankan kepada diri saya dan para terdakwa lain. Padahal banyak penyebab lain yang mengakibatkan kerugian Jiwasraya yang sudah tercatat sejak 2006," kata Benny.
Benny pun mengutip pemberitaan media massa yang menyebutkan pernyataan Kepala Badan Pemeriksaan Keuangan Agung Budi Sampurna yang mengatakan kebobrokan PT Asuransi Jiwasraya dari rentang waktu 2006-2019.
"Maka sangat tidak berdasar bila kerugian Jiwasraya sejak 2006 ditimpakan jaksa penuntut umum kepada saya dan para terdakwa lain. Tidak adil bila harta saya dan PT Hanson International, Tbk sebagai perusahaan publik disita untuk mengembalikan kerugian Jiwasraya sejak 2006. Seperti pepatah 'orang lain makan nangkanya, kita yang kena getahnya'," bebernya.
Benny juga mempertanyakan mengapa Menteri BUMN sebagai pemegang saham mayoritas Jiwasraya masih tetap mempertahankan direksi yang sudah merugikan negara sejak 2006. Malah, kata Benny, patut diduga sudah memberikan akta Aquit Et De Charge (Akta Membebaskan Dari Gugatan Hukum) kepada Direksi Jiwasraya pada 2018 lalu.
Selanjutnya Benny mempertanyakan mengenai kejanggalan hasil audit BPK dalam surat dakwaannya karena perkara korupsi PT Jiwasraya terjadi pada 2008-2018. Tapi laporan keuangan audit PT AJS tahun 2018 saja belum ada.
"Jadi bagaimana auditor BPK mengetahui portofolio investasi PT AJS per 31 Desember 2018 kalau laporan keuangan PT AJS 2018 belum ada dan sudah dikenakan sanksi oleh OJK pada pakhir 2019. Bagaimana BPK bisa melaksanakan pemeriksaan investigatif sampai 2018 kalau dasar laporan perusahaan yang diperiksa tidak ada?" ujar Benny mempertanyakan.
Benny juga berpendapat menurut putusan Mahkamah Konstitusi, kerugian negara harus nyata dan pasti, bukan berdasarkan perkiraan. Karena itu, ia meminta majelis hakim menilai jaksa sendiri masih ragu dan tidak yakin mengenai jumlah kerugian negara dari perkara Jiwasraya. Pasalnya, semua tabel di surat dakwaan sampai 31 Desember 2019 portofolio saham-sahamnya masih ada atau masih berupa potential loss belum actual loss.
"Kenapa perhitungan kerugian negara oleh BPK memakai total loss sehingga semua portofolio saham dan reksadana yang ada dianggap nilainya nol? Padahal portofolio saham-sahamnya masih ada alias belum cut loss atau masih berupa potential loss. Saya juga sudah mengugat BPK terkait hasil audit kerugian negara dalam surat gugatan," tutur Benny. (Faisal Rachman)