c

Selamat

Sabtu, 15 November 2025

NASIONAL

25 April 2019

19:03 WIB

Beasiswa Untuk Semua dan Kontribusi Bagi Negara

Perlu cara lain dalam menyebarkan informasi beasiswa LPDP hingga mudah terjangkau oleh masyarakat

Beasiswa Untuk Semua dan Kontribusi Bagi Negara
Beasiswa Untuk Semua dan Kontribusi Bagi Negara
Sejumlah mahasiswa mendaftar di stan beasiswa Lembaga Pengelola Dana Pendidikan Kementerian Keuangan (LPDP) khusus kawasan daerah tertinggal, terdepan dan terluar (3T) di Kupang, NTT, beberapa waktu lalu. ANTARA FOTO/Kornelis Kaha

JAKARTA – Mengejar mimpi tak selamanya mulus sesuai keinginan. Jalan berliku disertai halang rintang yang menghadang kerap kali jadi penghalang. Hanya saja, semua itu umumnya bisa terlewati dengan perjuangan keras diiringi niat kuat.

Seperti perjuangan Nabila dan Anggita, srikandi pemburu beasiswa Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP) yang bisa meraih mimpinya menimba ilmu di negara maju. Semua mimpi itu diraih keduanya dengan perjuangan keras, bukan hanya duduk manis semata dan mengharap rejeki menghampiri.

Sejauh ini, LPDP sendiri merupakan program beasiswa yang banyak diburu mahasiswa. Selain banyaknya biaya yang ditanggung, persyaratan yang terbilang jauh lebih mudah juga menjadi alasannya. Setidaknya diutarakan Nabila (26), mahasiswa yang bisa sekolah di luar negeri gratis dengan beragam fasilitas yang telah disiapkan negara.

Nabila penerima beasiswa atau awardee LPDP reguler tahun 2016. Setelah lulus kuliah S1 pada tahun 2014, dirinya mantap memutuskan untuk langsung mencari beasiswa. Persiapan yang dilakukan Nabila tidak main-main. Satu tahun lamanya Nabila mempersiapkan diri sebelum mendaftar beasiswa.

Dalam waktu satu tahun itu, Nabila fokus untuk mempersiapkan diri guna bertarung meraih beasiswa LPDP. Tiga bulan digunakan untuk magang di sebuah perusahaan, sambil terus memantau informasi beasiswa. Di luar itu, dirinya juga mempertajam kemampuan bahasa Inggrisnya dengan mengikuti kursus sebelum ujian IELTS.

Sebenarnya, kata Nabila kemampuan bahasa Inggrisnya saat duduk di bangku kuliah tidaklah buruk. Namun, guna meningkatkan rasa percaya diri menghadapi ujian beasiswa LPDP, dirinya meluangkan waktu untuk meningkatkan kemampuan Inggrisnya itu.

Nabila sadar betul, dibandingkan beasiswa lainya, LPDP paling banyak diincar karena syarat yang diperlukan terbilang lebih mudah. Salah satu faktornya, tidak diperlukan pengalaman kerja dalam persyaratannya. Menurutnya, hal ini sesuai dengan dirinya yang baru lulus kuliah dan baru memiliki pengalaman magang di salah satu perusahaan.

“Jadi ketika sudah mau lulus 2014, saya mencari beasiswa buat fresh graduate. Rata-rata beasiswa dari negara lain harus mewajibkan aku punya pengalaman kerja dua tahun, sedangkan aku baru lulus,” kata Nabila, saat dihubungi Validnews, Rabu, (24/4).

Tahun 2015, Nabila mengikuti tes LPDP. Persiapan matang yang dilakukan pun berbuah manis. Dirinya diterima sebagai awardee pada jurusan Environmental Science (Ilmu Lingkungan) di Wageningen University and Research di Belanda dengan durasi selama 2 tahun.  

Nabila bisa melewati tahapan seleksi dengan relatif mulus. Sejumlah tahapan yang harus dipenuhinya, yakni tahapan seleksi pemberkasan dan tes substantif. Tes ini berupa wawancara, focus group discussion dan essay on the spot. Terkait pemberkasan, lebih ke aspek academic record, seperti ijazah, transkrip nilai dan sertifikasi bahasa Inggris.

“Sama ada surat kesehatan yang menyatakan bebas TB (tuberculosis),” serunya

Hal yang perlu diperhatikan lainnya dalam tahapan pemberkasan adalah pada berkas esai dan surat rekomendasi. Surat rekomendasi dapat diperoleh dari supervisor jika pelamar beasiswa sedang bekerja atau dari dosen yang mengetahui rekam akademik semasa kuliah sarjana.

“Kalau aku ambilnya dari dosen karena beliau adalah supervisor skripsi aku, dia paling tahu progres aku selama menjalankan skripsi dan universitas apa yang mau aku ambil,” jelasnya.

Pengaruh Lingkungan
Sementara untuk penulisan esai, Nabila diminta menuliskan esai tentang kesuksesan terbesar yang pernah dicapai dan kontribusi terhadap negara, dulu, sekarang dan akan datang. Kemudian diperlukan juga esai soal rencana studi.

Esai ini menjadi hal yang paling krusial dalam seleksi pemberkasan. Pelamar perlu mempersiapkan esai ini dengan matang, seperti dengan melakukan riset terlebih dahulu saat menulisnya. Meski dalam esai para pelamar diminta menuliskan rencana kontribusinya setelah lulus, namun kata Nabila, sifatnya tak mengikat.

“LPDP tidak menuntut kita harus sesuai sama yang kita tulis di esai. Karena menurutku ini terkait sama karier kita ke depannya. Selama kita menempuh kuliah pasti banyak lesson learned. Jadi kalau buat aku sekarang masih mencoba untuk tetap sesuai dengan bidang yang aku jalani,” bebernya.

Nabila yang baru-baru ini menyelesaikan studi magister jurusan ilmu lingkungan di Wageningen University and Research di Belanda mengaku, dalam waktu dekat akan bekerja sesuai dengan bidang ilmunya. Dirinya juga tak menutup kemungkinan jika nantinya akan menjadi dosen.

Sementara untuk tahapan substantif, ada tiga sesi yang harus dilalui oleh para pelamar. Nabila saat itu mendapat tugas untuk mengerjakan essay on the spotyang disesuaikan dengan tujuan universitas. Karena ia mendaftar untuk kuliah di luar negeri, esai yang ditulisnya menggunakan bahasa Inggris. Untuk sesi lain yang harus dijalaninya, yakni focus group discussion (FGD) dan wawancara.

Dia mengatakan, essay on the spot dan FGD menjadi tahapan yang baru ada pada seleksi tahun 2015. Meski begitu, proporsi nilai untuk tahapan wawancaramenjadi komponen yang paling besar dalam penilaian.

Nabila yang merupakan mahasiswa teknik lingkungan dari Universitas Indonesia (UI) tahun 2010 ini sebelumnya telah banyak tahu informasi beasiswa dari kampusnya. Banyak senior dan temannya yang terlebih dahulu mendapat beasiswa sehingga banyak informasi yang dapat diperolehnya.

“Lingkungan buat kita dapat banyak informasi LPDP. Banyak senior aku yang sudah dapat LPDP jadi informasi mudah didapat. Banyak juga teman seangkatan aku yang mencoba LPDP di periode sebelumnya, jadi aku nanya-nanya pengalaman dia. Istilahnya aku punya banyak informan untuk dapat informasi beasiswa LPDP,” bebernya.

Alasannya ikut beasiswa LPDP ini juga karena tak terlepas dari pengaruh lingkungan keluarganya. Kedua orang tuanya mendorong anak-anaknya untuk terus kuliah ke jenjang yang lebih tinggi.  Sedari kecil ia sendiri memang ingin kuliah di luar negeri. Hanya saja kondisi ekonomi keluarga yang terbatas membuatnya harus memburu beasiswa untuk mewujudkan keinginanya tersebut.

“Dari aku masih S1, orang tua ku udah mendorong buat S2. Kalau di Indonesia orang tua masih bisa support, kalau di luar negeri harus cari sendiri biayanya,” cetusnya.

Pengalaman lainnya memburu beasiswa datang dari Anggita (26). Awardee LPDP tahun 2016 ini, mendapatkan beasiswa berkuliah di The University of Adelaide, Australia tahun 2016.

Meraih mimpi untuk bisa bersekolah di luar negeri menjadi perjuangan tersendiri buat Anggita. Anggita sempat gagal saat mengikuti seleksi pertama tahun 2015. Namun, dirinya tidak pantang menyerah untuk kembali berjuang di jalur yang sama setahun kemudian.

Evaluasi Kelemahan
Langkah pertama yang dilakukan Anggita yakni menelusuri kelemahan dirinya yang membuat terpental sebagai calon penerima beasiswa S2. Sarjana Ilmu Komunikasi Universitas Indonesia tahun 2015 ini menelusuri hasil evaluasi seleksi dengan menghubungi pihak LPDP. Para peserta yang gagal diperbolehkan menerima hasil evaluasi dari panitia seleksi beasiswa.

“Di LPDP ada transparansi untuk tahu kenapa tidak lolos seleksi. Aku minta ke pihak LPDP buat evaluasi pribadi biar tahu kurangnya dimana,” jelas kepada Validnews.

Hasil evaluasi LPDP ini menjadi lubang utama yang diperbaiki. Dirinya mengetahui kalau passing grade yang diperoleh dalam ujian itu di bawah batas yang ditetapkan. Perbaikan pun dilakukan dengan fokus pada titik terlemah yang dialaminya saat seleksi.

Anggita menyebutkan untuk passing grade jurusan yang bukan prioritas alias peminatnya terbatas, justru semakin tinggi dibandingkan dengan jurusan favorit.

Passing grade-nya semakin yang bukan (jurusan) prioritas semakin tinggi. Dan (ilmu) sosial enggak begitu (prioritas) karena kuotanya sedikit. (Prioritas) Pertama itu seperti teknik kesehatan atau sains. Sosial yang terakhir, jadi passing grade nya lebih tinggi,” jelasnya.

Anggita, yang saat itu memilih melanjutkan pekerjaannya setelah gagal, tetap optimistis dirinya bisa menggapai cita-cita sekolah di luar negeri. Pilihan bekerja setelah kuliah yang dijalani Anggita itu merupakan masukan dari dosen pembimbing yang memberikan rekomendasi pada dirinya.

Usaha kerasnya pun tak sia-sia. Niat kuat dan membagi waktu antara bekerja dan mempersiapkan diri untuk tes membuahkan hasil maksimal.

Pada seleksi keduanya, Anggita lulus. Jadi, dirinya tercatat sebagai penerima beasiswa LPDP tahun 2016. Ia pun selesai meraih gelar S2 pada tahun 2018.

Ia mengutarakan alasan dirinya ingin kuliah di luar negeri, semata karena pertimbangan kualitas. Pendidikan di luar negeri, dinilainya tetap lebih baik daripada di dalam negeri. Ia melihat, lingkungan pendidikan di luar negeri, berbeda dengan di Indonesia.

Menurutnya, sistem perkuliahan di Universitas Indonesia, tempatnya menempuh gelar S1, sebenarnya sudah terbilang oke. Akan tetapi jika dibandingkan dengan kampus di luar negeri, harus diakuinya masih kalah jauh.

“Di UI aja sudah oke dibanding universitas lain di Indonesia. Tapi di luar itu lebih suportif, dari dosennya kalau tidak mengerti (materi) dia siap buka ruangannya untuk konsultasi, ngajarin sampai mengerti. Akses internet dan jurnal itu lebih leluasa. Terus ada mental health, kayak buat yang mau exam biar tidak stres,” terangnya.

Diakuinya, penerima beasiswa LPDP juga bisa hidup makmur. Sebab, banyak komponen yang ditanggung oleh pemberi beasiswa. Dia menyebutkan, seperti biaya pendidikan, buku, asuransi, conference, tiket pesawat pulang-pergi, biaya hidup (living cost), settlement, dan tunjangan keluarga (family allowance).

“Kalau sudah menikah dulu untuk (jenjang) master, di semester kedua boleh bawa keluarga. Cuma, sekarang hanya (jenjang) PhD saja, dan itu di tahun kedua,” ujarnya.

Meskipun dalam perjalanannya sebagai penerima beasiswa relatif lancar, Anggita tetap memiliki catatan tersendiri. Ia menyoroti soal kontrak atau kesepakatan yang sebelumnya menyebut tak ada keharusan untuk kembali ke Indonesia. Namun, kini, ketentuan kontrak itu sudah berubah. Bagi penerima beasiswa tahun berikutnya, mereka sudah terikat kontrak untuk mengabdi ke negara selama 3 tahun.

“Sepertinya, kalau yang sekarang baru ada 2(n)+1. Waktu aku yang bentuknya kontrak kayak gitu tidak ada, jadi terserah dapat uang mau gimana,” serunya.

Karenanya, hal ini menurutnya masih menjadi catatan yang perlu diperbaiki oleh LPDP.

“Ini yang missing dari LPDP, mungkin karena awardee-nya banyak, mereka gak bisa me-manage mau bagaimana setelah lulus. Ketika mereka sudah lulus mereka memang harus lapor kelulusan, dan lapor kelulusan itu, harus menyertakan pekerjaan sekarang seperti apa. Tapi ya sudah, that’s it,” cetusnya.

Dana Abadi
Di Indonesia sendiri, sejak tahun 2011 pemerintah melalui Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP), mengalokasikan anggaran untuk memberi beasiswa pasca sarjana di dalam maupun di luar negeri. Melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 252/PMK.01/2011, pemerintah menetapkan Organisasi dan Tata Kelola LPDP.

Putusan ini kemudian ditambah dengan Keputusan Menteri Keuangan (KMK) Nomor 18/KMK.05/2012 yang menyebut, LPDP merupakan instansi pemerintah yang menerapkan pola keuangan badan layanan umum (BLU).

Melalui LPDP, pemerintah berupaya meningkatkan kapasitas Dana Pengembangan Pendidikan Nasional (DPPN), dengan memperbesar dana abadi dan ditujukan untuk memperbesar manfaatnya di masa yang akan datang. Apalagi diprediksi akan ada bonus demografi di Indonesia, yakni kondisi dimana jumlah usia 15-64 tahun mencapai sekitar 70% dari total penduduk.

Dalam pelaksanaannya, LPDP mempunyai tugas melaksanakan tiga bisnis utama, yakni Investasi, Layanan Beasiswa, dan Layanan Riset. Dilansir dari Annual Report LPDP Tahun 2017, investasi yang dilakukan pengelolaan Dana Pengembagan Pendidikan Nasional (DPPN), sebagian besar ditempakna pada instrumen deposito dan surat berharga (obligasi) baik yang diterbitkan negara maupun BUMN.

Sementara untuk sumber dana di luar APBN, didapat melalui hibah, kerja sama dengan masyarakat atau perusahaan, optimalisasi dari komersialisasi hasil riset, serta hasil usaha lainnya. Untuk jumlah penerima beasiswa LPDP sendiri, per 1 Januari 2019 sudah mencapai 20.255 orang. Dari total itu, telah ada 7.108 orang yang menjadi alumni.

Untuk layanan beasiswa, ada sejumlah layanan yang ditawarkan oleh LPDP kepada masyarakat. Untuk beasiswa reguler diperuntukkan untuk umum. Ada pula beasiswa disertasi, beasiswa dokter spesialis, Beasiswa Unggulan Dosen Indonesia (BUDI), dan beasiswa afirmasi.

Khusus pada tahun 2018, pemerintah membuka program layanan beasiswa baru yakni program co-Founding. Program itu menerapkan sharing cost, yakni penerima beasiswa akan bersama-sama dengan LPDP dalam membiayai kuliahnya. Tujuannya agar memberikan kesempatan yang lebih luas untuk masyarakat lainnya.

Direktur Jenderal Perbendaharaan Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Marwanto Harjowiryono menjelaskan, dana abadi yang menjadi sumber pendanaan dan dikelola oleh LPDP itu dialokasikan dari APBN. Totalnya mencapai Rp47 Triliun.

“Sampai sekarang itu ada Rp47 triliun. Sekarang tugasnya LPDP dengan uang Rp47 triliun ini enggak boleh dipakai untuk apa-apa ini. Kemudian dia kelola, ada yang ditaruh di bank, ada yang diinvestasikan, akhirnya dapat return. Return­-nya ini, yang dipakai untuk beasiswa,” kata Marwanto, dalam wawancara dengan Validnews, Rabu, (24/4).

Moral Hazard
Sementara itu, Kepala Divisi Pengelolaan Alumni LPDP Ratna Prabandari mengatakan, penerima beasiswa LPDP memang sudah selayaknya diwajibkan untuk kembali ke Tanah Air. Hal itu katanya sebagaimana yang telah tercantum dalam kontrak. Lebih lanjut, LPDP pun menetapkan jangka waktu tertentu yang menjadi dasar bagi para awardee untuk mengabdi di Tanah Air.

“Tapi kita tidak tentukan mengabdinya di mana. Di aturan internal kita, boleh internship, boleh magang di luar negeri dengan izin kita, itu maksimal 1 tahun. Setelah 1 tahun magang, mereka dapat pengalaman, mereka harus pulang,” kata Ratna, saat ditemui Validnews, Rabu (24/4).

Ratna tak menampik bila ada penerima beasiswa yang mangkir dari kewajibannya itu. Dia mengakui, pihak LPDP memang agak ‘kebobolan’ lantaran telanjur menerima awardee yang sekadar memberikan retorika belaka berupa kata-kata manis saat seleksi.

“Namanya hidden agenda kan enggak bisa kami (ketahui), kadang enggak bisa kami baca di awal. Tadinya bilang “saya mau balik ke Indonesia bla bla bla,” ternyata ada hidden agenda (agenda tersembunyi) kan kita enggak pernah tau,”ucapnya.

Guna mengantisipasi persoalan seperti itu, Ratna mengingatkan, LPDP punya aturan soal penalti bagi para awardee yang tak menunaikan kewajiban kontrak mereka itu. Bila mereka mengabaikan peringatan yang telah diberikan LPDP, mereka diwajibkan untuk membayar sebanyak dua kali lipat dari nominal yang sudah LPDP berikan.

Sekadar informasi, pada dasarnya, beasiswa LPDP ini merupakan beasiswa yang terbuka untuk umum. Beasiswa ini tak pandang bulu dan membandingkan pelamar yang berasal dari perguruan tinggi negeri (PTN) atau perguruan tinggi swasta (PTS). “LPDP terbuka, kami enggak peduli dia dari PTN/PTS. Selama akreditasinya bagus, itu boleh melamar LPDP, enggak ada batasan untuk itu,” imbuhnya.

Untuk universitas yang menjadi tujuan pelamar, LPDP telah menentukannya. Pelamar hanya bisa memilih universitas yang masuk dalam jajaran lembaga peringkat dunia, seperti, seperti QS World atau Times Higher Education (THE). Ratna mengungkapkan, universitas yang berasal dari United Kingdom (UK) jadi tujuan yang paling diminati.

Terbukti, dalam laporan tahunan LPDP per 31 Desember 2017, UK menjadi negara paling laris dibidik oleh para pelamar beasiswa. Jumlah mahasiswa on going-nya saja mencapai 895 orang.  Kemudian disusul dengan Australia dan Belanda yang masing-masing hanya sebanyak 829 orang dan 684 orang.

“Kalau tujuan favorit ya bisa jadi juga. Karena di UK itu lebih cepat, 1 tahun magister, dan list-nya juga banyakkan di situ (UK). Mulai dari 2014 sampai sekarang kebanyakan di UK karena rankingnya diolah berdasarkan itu,” lanjut Ratna.

Ratna mengaku pihaknya telah menentukan panitia seleksi yang mumpuni untuk menguji kelayakan calon penerima awardee. Mulai dari kalangan akademisi, psikolog, sampai tokoh yang mampu melacak semangat nasionalisme mereka.

Menurutnya, para penguji itu dipilih oleh komite reviewers yang terdiri dari tokoh-tokoh penting, seperti mantan Gubernur Bank Indonesia Agus Martowardojo; akademisi muslim Azyumardi Azra; mantan Wakil Menteri Agama Nasaruddin Umar, dan masih banyak lagi.

“Akademisi itu menguji tentang kesiapan dia belajar. Psikolog menguji (ketahanan) resilient-nya dia, dia siap enggak untuk sekolah. Nah, yang nasionalisme ini menguji nasionalismenya dia sejauh mana,” tuturnya.

Setelah lolos seleksi, awardee akan menandatangani kontrak dengan LPDP. Soal kontraknya, Ratna menjelaskan bila para penerima beasiswa ini punya tanggung jawab akademik, seperti wajib menyelesaikan pendidikan tepat waktu, pastinya dengan batas minimal indeks prestasi mahasiswa (IPK) yang telah ditentukan.

Terkait prospek kerja para penerima beasiswa, Ratna menyebutkan, dari total 7.108 alumni, setidaknya ada 30% alumni yang terjun ke badan usaha milik swasta. Kemudian disusul dengan pilihan karier sebagai dosen dan peneliti sebanyak 21%.

Akan tetapi, masih ada sekitar 20% dari alumni LPDP yang tercatat belum terserap dalam bursa kerja. Menurutnya mereka masih masuk dalam fase masa melamar kerja.

“Masa tunggu aja, fresh graduated kan. Enggak bisa bilang berapa yang belum terserap, ya itu kan berubah terus masanya. Ternyata yang tadinya belum bekerja, dia ternyata tahun besok sudah (bekerja),” lanjutnya.

Adanya alumni yang belum terserap dunia kerja, bagi LPDP seperti bentuk investasi jangka panjang. Artinya, Kontribusi mereka belum bisa dilihat dalam waktu yang singkat.

“Karena ini investasi jangka panjang, enggak bisa kemudian kita mengharapkan “sekarang ini sudah jadi apa?” itu enggak bias karena mereka memang masih dalam proses merintis,” tutur Ratna.

Terlebih, penerimaan beasiswa LPDP pun baru dimulai tahun 2013, dan baru mencetak lulusan pada tahun 2014.

“Sekarang 2019, baru 5 tahun. Misalnya PhD mulai 2014, sekarang baru pada lulus. Nah, mostly mereka baru mulai meniti karier. What I can see, sekarang teman-teman, mereka sedang berusaha untuk mengaplikasikan ilmunya pada bidangnya masing-masing, dengan caranya sendiri-sendiri,” pungkasnya.

Kuota Kurang
Sejauh ini, keberadaan LPDP dirasa memang sangat perlu untuk mengembangkan sumber daya manusia (SDM) Indonesia. Peneliti Pendidikan Pusat Penelitian Kependudukan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Anggi Afriansyah menilai, program LPDP ini dapat memberi kesempatan bagi masyarakat untuk dapat kuliah pascasarjana, bahkan sampai ke luar negeri.

Penawaran beasiswa sendiri mulanya hanya dari negara tujuan atau penyelenggara. Sepengetahuannya, untuk jatah pelajar Indonesia sendiri terbilang masih kurang karena masih ada anggapan Indonesia sebagai negara yang tertinggal.

“Program ini mendobrak paham setiap orang menjadi memiliki kesempatan untuk kuliah di luar negeri. Itu kesempatan yang relatif masih jarang terjadi sebelum ada LPDP yang bersumber dari pajak negara,” kata Anggi, kepada Validnews, Rabu, (24/4).

Anggi juga mengapresiasi upaya-upaya pengembangan program yang dilakukan LPDP. Seperti program beasiswa afirmasi, yakni beasiswa dari LPDP khusus bagi pelajar di daerah 3T (tertinggal, terdepan dan terluar), penyandang disabilitas, dan Indonesia Timur. 

Berdasarkan pengamatannya dan cerita dari beberapa teman, penerima beasiswa ini juga cukup puas dengan layanan yang diberikan. “Mereka dapat perhatian yang lebih baik misal dari pembiayaan kuliah dan sehari-hari. Untuk yang berkeluarga juga terakomodir dan mekanisme pembayarannya pun relatif tepat waktu,” serunya.

Kendati demikian, menurut Anggi masih diperlukan sejumlah perbaikan yang dilakukan oleh LPDP sebagai lembaga baru pemberi layanan beasiswa untuk masyarakat. Setidaknya, ada beberapa kritikan yang berkembang di media sosial yang menurutnya menjadi catatan bagi LPDP.

Misalnya kuota untuk isu ilmu sosial yang lebih sedikit dari ilmu sains-teknologi dan wawancara yang tidak substantif dan cenderung menanyakan hal pribadi. Selain itu, ada pula kritik yang menyebut, banyak almuni LPDP yang ketika kuliah di luar negeri sibuk membagikan kegiatan jalan-jalannya, sampai tidak kembali balik ke Indonesia.

“Padahal di esai awal, ada pernyataan kontribusi apa yang akan mereka lakukan setelah lulus. Jadi, kritik-kritik itu juga harus didengar. Kritik-kritik masyarakat sebagai pembayar pajak harus diperhatikan,” terangnya.

Terkait keluhan penguji, menurut Anggi penyelenggara harus selektif juga terhadap orang yang menguji para kandidat. Menurutnya, pengelola harus lebih tahu orang yang tepat untuk mejadi pewawancara. Pertanyaan yang diujikan pun seharusnya juga pertanyaan yang dapat mengeksplorasi kemampuan para kandidat.

“Namanya wawancara memang subjektif. Tapi, subjektifitas itu yang harus dibatasi. Sehingga eksplorasinya lebih pada riset apa yang ingin dilakukan misalnya. Dari situ bisa dilihat mana orang yang sudah siap atau hanya ingin sekadar sekolah,” terangnya.

Anggi berharap, untuk masalah kuota jurusan bidang antara ilmu sosial dan sains-teknologi, juga harus berimbang. Apalagi, saat ini ada persoalan, masih sedikit riset terkait ilmu sosial tentang Indonesia yang ditulis sendiri oleh orang Indonesia.

“Harus ada perimbangan kuota, tetap saya akan melihat memang ilmu alam akan lebih besar kuotanya karena pemerintah akan melihat sisi pragmatisnya terkait apa yang bisa dihasilkan. Sedangkan ilmu sosial lebih abstraksi teori. Tetapi yang jadi persoalan sekarang juga publikasi terkait Indonesia itu lebih banyak orang asing,” paparnya.

Tak hanya itu, Anggi mengatakan, pemerintah juga harus memperhatikan lulusan para penerima beasiswa ini, utamanya untuk pembangunan Indonesia. Menurutnya, para lulusan beasiswa ini memang bisa berkontribusi dari luar negeri, misal melalui riset di sana. Hanya saja menurutnya, tetap perlu ada ikatan yang jelas ketika mereka telah selesai studi.

“Jadi jangan hanya dibiayai, kemudian setelah dibiayai ya sudah itu. Karena bagaimanapun ini pajak dari negara, kita bayar pajak kemudian mereka (penerima beasiswa) punya previlage untuk mendapatkan pendidikan yang baik, dan kemudian “bayaran” yang mereka berikan ya berupa kontribusi itu untuk bangsa ini,” terangnya.

Para penerima beasiswa harus menyadari betul bahwa uang yang mereka terima adalah uang negara dari pembayar pajak. Kesadaran itu perlu dimiliki oleh para penerima beasiswa ini supaya mereka memiliki tekad untuk berbakti pada nusa dan bangsa. Menurut Anggi, jangan sampai esai rencana kontribusi mereka hanya sekedar tulisan dalam kata-kata semata.

“Meskipun itu telah ter-capture pada esai yang sudah buat, mereka harus menghayatinya juga bukan hanya sekedar tulisan semata tetapi juga sebagai catatan pengabdian mereka di masa depan,” ujarnya.

Anggi juga menyoroti soal sosialisasi beasiswa yang dinilai hanya bisa diakses oleh masyarakat tertentu alias belum menyentuh pada semua kalangan. Apalagi, masyarakat di pedalaman yang akses internetnya masih terkendala.

Menurut Anggi, sosialisasi ini seharusnya tidak melulu mengandalkan internet, melainkan perlu mekanisme lain agar semua masyarakat dapat mengakses informasi sekolah ke luar negeri secara gratis.

“Setiap ada pembukaan beasiswa bisa dipasang di tempat yang mudah diakses publik,” jelasnya. (Dana Pratiwi, Shanies Tri Pinasthi, Monica Balqis)


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar