11 Desember 2018
19:43 WIB
JAKARTA – Pelayanan Pelaksana Penempatan Tenaga Kerja Indonesia Swasta (PPTKIS) dinilai buruk. Penilaian tersebut didasari oleh pemantauan Institute of Education Development, Social, Religious and Cultural Studies (Infest) Yogyakarta dari sebuah kanal Pantau PJTKI (https://pantaupjtki.id).
Menurut Peneliti Infest Yogyakarta Nisrina Muthahari, penilaian tersebut diperoleh dari persepsi buruk mayoritas Pekerja Migran Indonesia (PMI) atau Tenaga Kerja Indonesia (TKI) yang terdata dalam kanal Pantau PJTKI. Ada 9.90% PMI yang menganggap pelayanan PPTKIS sangat buruk. Sisanya, 29.18% menilai buruk, 43.92% biasa, 15.57% baik, dan 1.44% sangat baik.
“Jika digabungkan maka persepsi buruk dan sangat buruk terhadap PPTKIS sejumlah 39.07%,” tegas Nisrina sebagaimana keterangan tertulisnya, Selasa (11/12).
Ihwal yang menguatkan hal tersebut, lanjutnya, adalah persepsi atas kesesuaian kontrak kerja dengan kondisi sebenarnya saat di luar negeri. Berdasarkan data Nisrina menyebut, hingga kini sebanyak 7.63% PMI menganggap hal itu sangat buruk, 25.57% buruk, 42.68% sebagai sesuatu yang biasa, 22.78% baik. Hanya 1.34% yang menilainya sangat baik.
Dikatakan Nisrina, masih banyak pula PMI yang mengeluhkan pelanggaran-pelanggaran yang kerap mereka rasakan dari PPPTKIS. Masih banyak PMI, yakni 13.40% yang tidak diikutkan dalam Pembekalan Akhir Pemberangkatan (PAP).
“37.84% yang menyatakan tidak menerima penjelasan tentang perjanjian penempatan yang memuat hak dan kewajiban PPTKIS dan calon pekerja,” katanya.
Lebih lanjut, Nisrina menerangkan ditemukan juga PMI yang tidak memegang kontrak salinan kontrak kerja. Berdasarkan data, jumlah mereka mencapai 53.71%. Selain itu, adanya pelanggaran dalam bentuk pembiayaan penempatan yang dibebankan oleh PPTKIS kepada mereka.
“Dari 86 PMI, 97% PMI menyatakan membayar biaya penempatan sekitar Rp 24.000.000. Hanya 2.4% (2 orang) yang membayar sesuai dengan ketentuan Peraturan Menteri tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor 98 Tahun 2012 tentang biaya penempatan PMI ke Hong Kong,” jelasnya
Sementara, praktik pembebanan biaya berlebih (overcharging) juga terjadi pada PMI yang ditempatkan oleh 36 PPTKIS ke Hong Kong pada 2014. Dari 80 orang PMI, rata-rata mereka membayar senilai Rp 24.300.000.
Perlu diketahui, Pantau PJTKI merupakan kanal yang diinisiasi oleh Infest Yogyakarta berkolaborasi dengan Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) dan Yayasan Tifa sejak 2013.
Kanal ini berfungsi sebagai sumber informasi pembanding bagi Pekerja Migrant Indonesia (PMI) mengenai profil perusahaan perekrutan yang terdaftar oleh pemerintah.
“Fungsi lainnya adalah sebagai wadah aspirasi yang berwujud ulasan oleh pengguna PMI atas layanan yang diwajibkan kepada perusahaan perekrutan oleh pemerintah,” ungkapnya.
Ulasan dari PMI tersebut kemudian dapat berfungsi sebagai sumber rujukan informasi. Bagi calon dan/atau PMI lainnya yang akan mendaftar ke luar negeri melalui perusahaan perekrutan tertentu, nantinya dapat melihat secara jelas dalam konteks informasi atau langkah-langkahnya.
Selain itu, kanal ini juga dapat menampung keluhan para PMI di seluruh Indonesia. (Fadli Mubarok)