08 Juli 2020
17:29 WIB
Editor: Agung Muhammad Fatwa
JAKARTA – Pengawasan terhadap anak dalam menggunakan media digital, harus kian ketat. Jaringan terorisme kini mulai merekrut anak-anak melalui media digital.Asisten Deputi Perlindungan Anak Berhadapan dengan Hukum dan Stigmatisasi Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Hasan, Rabu (8/7) mengungkapkan, perekrutan dan pembaiatan dilakukan teroris melalui berbagai platform digital.
"Cara baru mereka adalah menggunakan website, media sosial, dan social messenger. Perekrutan dilakukan terbuka dan pembaiatan melalui media," kata Hasan dalam seminar daring yang diadakan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak di Jakarta, Rabu.
Hasan mengatakan perekrutan melalui keluarga, pertemanan, ketokohan, dan lembaga keagamaan dengan perekrutan secara tertutup dan pembaiatan secara langsung adalah cara-cara lama jaringan terorisme merekrut anak. Ada beberapa faktor yang menyebabkan anak terlibat radikalisme dan jaringan terorisme. Yang pertama adalah faktor yang paling dekat dengan anak, yaitu keluarga.
"Ada orang tua atau anggota keluarga lain yang mengajarkan paham radikalisme dan terorisme kepada anak," tuturnya.
Faktor berikutnya berasal dari lingkungan, yaitu lingkungan pertemanan dan tetangga yang mengajarkan radikalisme dan terorisme kepada anak. Pada saat sama, kemiskinan juga bisa menjadi faktor lain yang menyebabkan anak terlibat radikalisme dan terorisme.
"Mereka dijanjikan gaji, hal-hal berbau materi, atau jaminan seumur hidup agar tertarik masuk ke dalam jaringan terorisme," katanya.

Tanggung Jawab Semua Elemen
Dia menyerukan, anak harus dicegah agar tidak terlibat radikalisme dan terorisme supaya tidak menjadi pelaku tindak pidana terorisme. Paham radikalisme dan terorisme juga berpengaruh buruk pada tumbuh kembang anak, terutama dari sisi karakter kehidupan bermasyarakat, pemahaman agama, nilai-nilai nasionalisme, dan ideologi.
Sementara, Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Komjen Pol. Boy Rafli Amar pada kesempatan berbeda mengatakan, penanggulangan terorisme di Indonesia adalah tanggung jawab semua pihak, termasuk aparat pertahanan dan keamanan dari unsur TNI/Polri.
"Diperlukan sinergitas TNI/Polri pada aspek pencegahan dalam konteks deteksi intelijen," kata Boy Rafli Amar dalam sambutannya pada acara silaturahmi dalam rangka peningkatan kerja sama BNPT dengan instansi lain dalam penanggulangan terorisme di Kantor BNPT, kompleks IPSC Sentul, Kabupaten Bogor, Selasa.
Boy Rafli menegaskan bahwa BNPT selama ini lebih banyak berfokus pada upaya pencegahan, sebagaimana amanat Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018 tentang Penanggulangan Terorisme.
“Dalam UU tersebut ada tiga kewajiban pemerintah dalam melaksanakan penanggulangan terorisme, yaitu kesiapsiagaan nasional, kontra radikalisasi, dan deradikalisasi,” kata mantan Wakil Kepala Lembaga Pendidikan dan Latihan (Waka Lemdiklat) Polri ini.
Dia menerangkan, UU No.5/2018 juga mengakomodasi peran dari TNI dan perpres mengenai pelibatan TNI tersebut masih dalam proses. Kementerian Hukum dan HAM, kata dia, saat ini sedang berkonsultasi dengan DPR. “Jadi, pelibatan TNI ini dalam UU tersebut diatur di dalam Pasal 43 Huruf I, ada peran TNI di dalamnya, baik dalam pencegahan maupun dalam penindakan," kata mantan Kapolda Papua ini.
Dia menambahkan, pasukan khusus TNI dan Polri siap mendukung dan bersinergi bersama BNPT dalam melaksanakan berbagai penugasan dalam penanggulangan terorisme di berbagai hal pencegahan. Dan terhadap hal ini, Danjen Kopassus Mayjen TNI I Nyoman Cantiasa menyatakan Kopassus siap dilibatkan dan mendukung BNPT dalam penanggulangan terorisme untuk menjaga keselamatan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
“Ancaman terorisme ke depan makin dinamis. Aksi terorisme ini bukan hanya bersifat penyanderaan ataupun pembajakan saja, melainkan kita lihat dalam dinamika global ini mereka sudah melakukan penyerangan secara masif. Mau tidak mau, suka atau tidak suka, negara harus hadir," kata Mayjen I Nyoman Cantiasa, dikutip dari Antara. (Rikando Somba)