19 April 2021
16:49 WIB
JAKARTA – Ketua Perkumpulan Endokrinologi Indonesia, Ketut Suastika menyebut, angka penduduk dengan pradiabetes di Indonesia tertinggi ketiga di dunia, yaitu sekitar 29,1 juta orang. Data dari International Diabetes Federation ini dinilainya sangat besar dan mengkhawatirkan.
"Ini angka yang mengerikan sebenarnya, angka yang memerlukan kewaspadaan begitu penting, begitu besar. Fokus kita harus kita tujukan kepada pradiabetes ini," kata Ketut dalam webinar bertajuk 'Peringatan Hari Diabetes Nasional', Senin (19/4).
Angka tersebut diukur dari jumlah orang usia 20–79 tahun yang dengan Impaired Glucose Tolerance (IGT). Dijelaskan bahwa 50% dari orang-orang pradiabetes ini akan menjadi calon penderita diabetes jika tidak ditangani setelah kurun waktu 10 tahun ke depan.
Ketut menuturkan, angka prevalensi diabetes pada orang dewasa di Indonesia cukup tinggi dan cenderung terus meningkat. Tanpa upaya penanganan yang baik, angka kejadian ini akan meningkat di masa mendatang, sekaligus meningkatkan penyakit kardiovaskuler.
Pasalnya, komplikasi kerap kali sudah terjadi pada masa pradiabetes sehingga makin parah ketika positif diabetes. Komplikasi terjadi baik di pembuluh darah besar (makrovaskuler), seperti pada jantung, otak dan tungkai, maupun pada pembuluh darah kecil.
"Di sisi lain adalah bahwa dua pertiga dari pasien-pasien kita dengan diabetes ini tidak menyadari mempunyai diabetes. Ini risiko yang paling besar bahwa pasien-pasien tersebut biasanya datang sudah dengan komplikasi," ungkap Ketut.
Dia menjelaskan, komplikasi akibat diabetes itulah yang menyebabkan mahalnya biaya pengobatan penderita diabetes selama ini. Terutama bagi mereka yang telah jatuh pada komplikasi ke penyakit jantung, sebab akan membutuhkan pemasangan ring (stent).
"Karena sering sekali orang-orang diabetes itu kelainan jantungnya agak berbeda, lebih berat biasanya. Jadi tiga pembuluh darah bisa buntu, sehingga ring saja tidak cukup ya harus bedah atau pintas pembuluh darah," ucapnya.
Di sisi lain, sebagian besar penderita diabetes masih tidak patuh terhadap pengobatan. Hal ini, menurut Ketut, yang menyebabkan ada lebih dari dua pertiga pasien pasien-pasien diabetes yang sasaran kendali gula darahnya masih belum sesuai dengan yang diinginkan.
Oleh karena itu, Ketut menegaskan bahwa pencegahan menjadi upaya yang lebih primer untuk dilakukan. Salah satunya adalah dengan mengenali ciri-ciri obesitas, sebab obesitas merupakan cikal bakal dari diabetes atau sindrom metabolik.
Ada dua cara mengukur penumpukan lemak yang berlebihan di dalam tubuh. Pertama, mengukur lingkar perut atau pinggang. Laki-laki dinyatakan termasuk obesitas jika lingkar perutnya lebih dari 90 sentimeter, sedangkan perempuan lebih dari 80 sentimeter.
Cara kedua adalah mengukur indeks massa tubuh, dengan rumus berat badan dibagi tinggi badan pangkat dua. Dikatakan masih normal jika hasilnya 18,5–23, dikatakan overweight atau praobesitas jika hasilnya 23-25, dan dikatakan obesitas jika di atas 25.
"Bagi mereka-mereka yang sudah merasa mulai obesitas, maka harus mengintervensi dirinya masing-masing agar bisa diperbaiki, baik lingkar perut maupun indeks massa tubuhnya," tegas Ketut.
Menurut dia, sebenarnya pengukuran lingkar perut lebih penting daripada indeks massa tubuh karena mencerminkan obesitas sentral yang lebih berkaitan dengan penyakit. Sementara, pengukuran indeks massa tubuh terkadang dikelabui massa otot yang besar.
Ketut mengatakan saat ini satu dari tiga orang dewasa di Indonesia mempunyai obesitas, atau 35,4% yang setara dengan 68 juta orang. Sementara pada anak usia 5–12 tahun, angka kejadian obesitas di Indonesia adalah satu dari lima anak atau sekitar 20%.
"Orang-orang obesitas ini adalah calon orang pradiabetes dan calon orang diabetes kalau kita tidak mengintervensinya. Anak-anak tidak kalah pentingnya juga. Karena kalau obesitas terjadi sejak anak-anak, maka umumnya ini akan dibawa pada saat dewasa," kata dia. (Wandha Nur Hidayat)