26 Juni 2019
20:02 WIB
JAKARTA – Aplikasi platform video streaming berbayar digital atau video on demand (VOD) kini banyak digandrungi masyarakat. Para pelanggan video streaming ini rela mengeluarkan ratusan ribu rupiah per bulannya demi memenuhi jelajah tontonan favoritnya, kapanpun dan dimanapun. Film ini juga bisa dinikmati melalui gadget.
Di tengah keunggulan kualitas video streaming ini, ada sedikit keresahan pelanggan. Utamanya adalah soal konten yang dianggap masih belum ramah anak. Film yang kebanyakan produksi internal itu masih menampilkan tayangan kekerasan dan adegan seks.
Hanna Aurelia (19), pelanggan platform video streaming berbayar yang mengaku berlangganan lebih dari satu. Kesibukan dirinya sebagai mahasiswi tidak lagi menjadi soal untuk memenuhi hobinya menonton film. Selain tayangan beragam, kualitas juga menjadi alasan bagi Hanna untuk berlangganan. Ia rela merogoh koceknya untuk beralih dari televisi.
Mahasiswi perguruan tinggi di Negeri Jiran itu pun menyebutkan bahwa beberapa alasan lain memilih tayangan video streaming ini. Salah satunya adalah bisa menikmati film sesuai dengan keinginannya. Berbeda dengan film di televisi yang mengharuskan dirinya menyesuaikan dengan jadwal tayangan tersebut.
“Layanan VoD ini dapat dengan otomatis menawarkan acara-acara yang sesuai dengan minatnya. Dan aplikasinya ini punya analytics yang merekomendasi tayangan sesuai selera (behavior) saya, kalau di televisi kan tidak ada,” kata Hanna, kepada Validnews, Sabtu (22/6).
Hanna menyebutkan beberapa judul film favoritnya, seperti Lucifer TV Series, yang bergenre horor. Tayangan film berseri yang mengangkat cerita sebuah komik itu merupakan film populer di Netflix. Satu lagi dirinya menyebutkan judul film laga SWAT dari HOOQ.
Hanna berlangganan Netflix, dan HOOQ. Mahasiswi yang tengah menempuh kuliah di Malaysia ini sejak tahun 2017 sudah berlangganan video streaming berbayar. Ia menghabiskan sekitar Rp200 ribu untuk berlangganan dua aplikasi streaming sekaligus.
Untuk Netflix per bulan dia harus membayar sekitar 51 RM atau Rp170 ribu, sedangkan HOOQ dikenakan biaya Rp1.000 per hari. Soal berlangganan tayangan streaming berbayar ini dirinya punya cerita sendiri. Sebenarnya, di rumahnya itu sudah memasang TV kabel.
Untuk bisa mengakses film streaming berbayar, Hanna terlebih dulu mengunduh aplikasi Netflix secara gratis. Hanya saja untuk bisa menikmati tayangan, dirinya harus berlangganan Netflix dan HOOQ. Menurutnya, tiap layanan aplikasi film streaming berbayar memiliki program unggulan.
Hanna menceritakan kebiasaan dirinya mengakses film streaming berbayar kala sudah berada di apartemennya. Setelah berjibaku dengan kesibukan kuliahnya, ia melepas lelah sambil menyaksikan tayangan streaming berbayar favoritnya.
Tak tanggung-tanggung, kalau sudah di depan tablet atau gadgetnya, biasanya Hanna lupa diri karena terbawa dengan cerita film yang dinikmatinya. Durasi tiga jam serasa kurang lama baginya.
Agar tak mengganggu jadwal kuliahnya, Hanna menyiapkan waktu khusus untuk menikmati film streaming berbayar ini. “Biasanya waktu malam hari dan weekend,” ujarnya.

Komentar berbeda terlontar dari Fira Darsil (24), wiraswasta yang juga pelanggan Netflix sejak dua tahun lalu. Penggila film ini mengaku berkorban keluar uang lebih demi kepuasan dirinya menikmati film yang diunduh sesuai seleranya.
Sebenarnya, lulusan Universitas Bina Nusantara (Binus) Jakarta ini menyebutkan bisa saja nonton film streaming di website. Akan tetapi, ia tak puas akan kekurangan kualitasnya. Fira mengaku membayar sekitar Rp139 ribu per bulannya demi serial yang dinantinya.
“Sebenarnya bisa saja nonton streaming di website, tapi ada kurangnya, misal subtitle-nya kadang beda,” tuturnya saat diwawancarai Validnews, Jumat (21/6).
Fira mengaku sudah mencoba beberapa platform film streaming berbayar, akan tetapi Netflix menjadi pilihan favoritnya. Kualitas suara dan gambar sudah pasti jempolan. Menurutnya, kualitas video yang ditampilkan oleh layanan film streaming berbayar lebih bagus.
Seperti Netflix yang menawarkan video dengan kualitas HD sehingga pengguna akan menyaksikan acara favoritnya dengan kualitas gambar yang bagus. Dan menurutnya, yang membuat dirinya jatuh hati pada Netflix karena banyak koleksi film dari Hollywood.
Meski begitu, Fira juga meninggalkan catatan tebal pada platform idolanya itu. Baginya, tak semua konten aman disaksikan semua usia. Pasalnya adegan yang mengandung kekerasan dan seks lumrah ditemui pada film barat yang sejatinya diperuntukkan untuk usia dewasa. Tentu saja, orang tua menjadi khawatir tayangan ini terpapar kepada anak yang masih di bawah umur.
“Para orang tua tentu khawatir bila putra-putrinya terpapar tayangan yang mengandung unsur konten dewasa,” ujarnya.
Kekhawatiran ini yang dirasakan Dian Purnama (34). Ibu satu ini menjaga betul agar film streaming berbayar itu tidak tersentuh oleh anaknya yang genap berusia 6 tahun. Alasannya, tidak ingin adegan itu ditiru oleh sang anak. Dian yang merupakan pecinta drama Korea ini pernah menggunakan aplikasi Viu. Adegan ciuman atau kissing menjadi hal lazim yang dijumpai dalam tiap episode drama Korea.
Selain itu, ada pula adegan kekerasan yang dilepas begitu saja tanpa sensor. Biasanya adegan tak lazim ini muncul dalam drama bergenre misteri (thriller) atau horor. Agar anaknya tak terpapar konten dewasa ini, Dian pun menyiasati waktu untuk menonton drama Korea.
“Khawatir, Azka melihat adegan yang dewasanya,” ungkapnya, kepada Validnews, Selasa (25/6).
Pecinta drama Korea ini pun memiliki trik tersendiri saat ingin menikmati film serial berbayar dari gadgetnya itu. Ia baru berani menonton drama Korea kalau putranya sedang tidur atau bermain dengan temannya. Saat menonton, ia pun tidak berani berada di lokasi terdekat dengan anaknya, lantaran khawatir sang anak tiba-tiba ikutan.
Fitur Anak
Sebenarnya Netflix telah mengantisipasi agar produknya itu bisa dinikmati sesuai usia. Ada fitur Kids Mode, khusus tayangan aman bagi anak-anak. Dalam mode ini, seluruh tayangan yang disajikan seputar anak. Jadi tayangan lainnya, atau khusus dewasa tidak akan bisa diakses dari fitur tersebut oleh anak-anak.
Kendati demikian, bukan tak mungkin bila anak-anak tetap dapat mengakses konten dewasa. Apalagi kini tidak sedikit anak-anak yang pandai mengoperasikan gadget. Seperti pengalaman Dian Purnama yang terkejut melihat putranya, Azka sudah bisa mengakses film di internet. Ternyata, saat ditanya Azka mengaku bisa mengakses itu setelah beberapa kali melihat saudaranya saat mencarikan tayangan film streaming melalui gadget.
“Sensor menjadi salah satu cara meminimalkan agar anak-anak tak terpapar konten dewasa, termasuk sensor pada tayangan acara di VoD,” ujar Dian.
Masalah sensor terhadap adegan berbau pornografi itu sudah dilakukan oleh Viu, platform film streaming berbayar dari Hongkong. Dalam keterangan resmi Viu kepada Validnews, Senin (24/6) disebutkan ada beberapa film dewasa telah diberikan label “R-21 dan Sexual Content” untuk film yang mengandung adegan seks.
Selain membubuhkan label, Viu juga melakukan sensor pada adegan ranjang, seperti pada film The Handmaiden (2016). Pasalnya, dalam film populer asal negeri Gingseng Korea Selatan ini mengandung adegan vulgar yang telah disensor. Viu berupaya mengikuti regulasi sensor di Indonesia.
Viu menyebutkan produk film yang dihasilkan lebih ramah karena menawarkan tayangan program-program Asia, baik drama, film dan reality show. Setidaknya hal ini menjadi keuntungan Viu yang tak banyak menampilkan konten dewasa, seperti film Eropa dan Amerika. Misalnya seperti pada adegan ciuman dalam drama Korea yang bagi Viu hal itu masih dalam batasan yang wajar. Kalaupun ada, hanya ada pada beberapa episode. Program-program Asia pun boleh dikatakan masih sejalan dengan budaya Indonesia.
Viu mengaku tak akan menayangkan drama atau film berbau konten dewasanya di Indonesia. Tayangan Viu di tiap negara berbeda-beda. Misalnya, ada konten tayangan yang ada di Hongkong, namun tak bisa ditemukan di Indonesia.
Di Indonesia, Viu termasuk salah satu aplikasi streaming online yang populer. Di Google Play Store Indonesia saja, Viu menjadi aplikasi streaming online paling laris dengan menduduki peringkat kedua setelah layanan V Live. Tercatat sudah ada lebih dari 50 juta pengguna ponsel Android yang mengunduh aplikasi Viu.
Terkait konten yang disaksikan pengguna, data dari Alphabeta terkait pertumbuhan menunjukkan jika 56% pengguna layanan VoD online kebanyakan menonton acara luar negeri. Sementara, 44 % lainnya menonton tayangan lokal melalui layanan VoD. Untuk rentan usianya, sebanyak 53 % kelompok dengan umur 18-29 tahun lebih banyak menonton tayangan luar negeri.
Di Indonesia tak hanya aplikasi Viu saja yang populer. Dilansir dari data Avia Report 2019, selain Viu, ada tiga aplikasi populer lainnya, yakni Netflix, i-Flix dan HOOQ. Di Indonesia, ada 38,6 % orang yang subscribe layanan seperti Netflix.
Potensi Jadi Terbesar
Indonesia sendiri termasuk negara dengan potensi pengguna layanan VoD terbesar di Asia Tenggara. Data dari Dataxis mengenai Subscriber VoD di kawasan Asia Pasifik tahun 2018 menunjukkan Indonesia termasuk dalam tiga besar negara yang menggunakan layanan VoD.
Dari data tersebut, Indonesia berada di urutan kedua setelah Malaysia. Setelahnya baru diikuti oleh Singapura.
Bagaimana keluhan para orang tua, sayangnya belum bisa sepenuhnya terakomodasi. Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo) mengaku belum ada regulasi khusus yang mengatur ketentuan dan keberadaan dari aplikasi digital. Pelaksana tugas (Plt) Kepala Biro Humas Kemenkominfo Ferdinandus Setu mengatakan, saat ini UU ITE menjadi acuan regulasi terkait aturan konten yang ditayangkan oleh layanan aplikasi film streaming berbayar atau VoD. Namun, hal ini disangkal oleh peneliti komunikasi.
Ferdinandus menjelaskan, dalam UU ITE mengatur larangan media elektronik menyebarkan konten asusila, judi, dan SARA. Jika aturan itu dilanggar, maka akan dikenai sanksi.
“Konten untuk video streaming sebenarnya harus patuh atau tunduk dengan UU ITE dimana video streaming itu termasuk dalam kategori informasi elektronik atau dokumen elektronik,” kata Ferdinandus, kepada Validnews, Rabu (27/6).
Ferdinandus yang biasa disapa Nando tak menampik adanya ancaman negatif dari keberadaan aplikasi video streaming, utamanya kepada anak-anak. Kendati demikian, pihaknya saat ini belum ada rencana untuk membuat regulasi khusus yang mengatur keberadaan aplikasi video streaming ini.
“Asalkan dia tidak melanggar ketentuan UU ITE kami tidak ada masalah,” jelasnya.
Nando mengaku selama ini belum ada aduan terkait persoalan konten aplikasi video streaming berbayar yang melabrak aturan. “Paling baru pandangan-pandangan umum saja di dunia maya, belum detail. Laporan yang benar kalau konten harus menunjukkan URL, screenshoot serta pelaporanya seperti apa baru kami tindak. Kalau hanya sekadar pandangan pribadi saja kita sulit ambil tindakan,” jelasnya.
Sejauh ini, menurutnya para pelaku bisnis aplikasi ini paham mengenai aturan sensor yang berlaku di Indonesia.
Regulasi Khusus
Akademisi dan peneliti komunikasi dari London School of Public Relations (LSPR) Jakarta Lestari Nurhajati mengatakan, sedianya UU ITE tak bisa dijadikan acuan oleh pelaku bisnis aplikasi VoD di Indonesia. Hal itu dikarenakan latar belakang pembentukan regulasi tersebut hanya untuk melindungi transaksi media online tidak ada kaitannya dengan persoalan penyiaran.
“UU ITE awalnya dibuat untuk melindungi transaksi melalui media online, tetapi sekarang jadi kemana-mana karena tidak ada undang-undang yang berkaitan dengan digitalisasi,” kata Lestari, kepada Validnews, Selasa (26/6).
Menurutnya, kalaupun dipaksakan memberi sanksi melalui undang-undang tersebut, tetap saja tidak memberikan solusi. Beleid itu tidak mewadahi persoalan dalam penyiaran digital. Lestari mengusulkan seharusnya pemerintah mengantisipasi potensi dampak dari keberadaan layanan aplikasi digital dengan membuat regulasi khusus terkait hal tersebut.
“Jadi pemerintah cenderung seperti pemadam kebakaran, kalau belum ada masalah dibiarkan, tetapi kalau sudah ada masalah besar baru dibuat regulasi,” ujarnya.
Lestari mendorong agar pemerintah segera mengeluarkan regulasi yang mengatur digitalisasi dalam media penyiaran, termasuk pada media yang berbayar seperti VoD. Dia menjelaskan, regulasi seperti ini sebenarnya sama seperti yang telah diatur pada UU Penyiaran.
Hanya saja undang-undang tersebut tidak bisa diterapkan karena regulasi yang disahkan saat itu belum mengatur media digital. UU Penyiaran yang berlaku saat ini pun juga belum memfasilitasi keberadaan aplikasi streaming berbayar yang mungkin saja menyajikan konten-konten yang melanggar nilai dan norma di Indonesia.
Lestari juga mengajak masyarakat lebih aktif mengawasi penyiaran. Dia mencontohkan misalnya dengan literasi media digital seperti yang dilakukan organisasi sosial atau kelompok masyarakat. Literasi media digital, kata dia upaya untuk menambahkan kesadaran seseorang dalam memproduksi, mengkonsumsi dan mendistribusikan pesan melalui media digital, termasuk soal VoD.
Selama ini, lanjut Lestari yang tergabung dalam Koalisi Nasional Reformasi Penyiaran (KNRP), tampak perbedaan batasan usia dan indikator konten sebagai pengingat kepada konsumen. Apalagi produk aplikasi tersebut dari luar negeri yang memiliki budaya dan aturan berbeda.
“Seharusnya di sebuah negara ada dewan rating yang berfungsi menentukan klasifikasi sebuah tontonan berdasarkan verifikasi usia,” katanya. (Dana Pratiwi)