30 November 2019
15:56 WIB
JAKARTA – Waktu sudah menunjukkan pukul 16.00, pada Rabu (27/11). Waktu bagi Ida Zubaedah (45) untuk pulang ke rumahnya. Bergegas, staf pendidikan Kependudukan Lingkungan Hidup (PKLH) di Kantor Wali Kota Jakarta Utara ini meninggalkan ruang kerja.
Sebelum meninggalkan area gedung tempat dia bekerja, Ida terlebih dahulu menuju satu ruangan yang masih di dalam Kantor Wali Kota Jakarta Utara. Sesampai di pintu di ruangan yang dia tuju, seorang anak kecil segera menyambut Ida dengan raut wajah gembira.
Anak kecil itu adalah anak kandung Ida yang dititipkan di tempat penitipan anak (TPA) di Kantor Wali Kota Jakarta Utara. Sejak Februari 2019, tempat itu memang disediakan bagi orang tua di lingkup pemerintahan setempat untuk menitipkan anak mereka, selama mereka bekerja. Seperti Ida, ia menitipkan buah hatinya yang berusia tiga tahun saat dia bekerja, sejak Februari 2019.
Setelah berpamitan dengan para guru TPA, Ida langsung menggandeng anaknya menuju tempat parkir kendaraan. Di sana, Sang Kakek sudah menunggu Ida dan anaknya di atas sepeda motor.
Menurut Ida, keberadaan TPA Yos Sudarso cukup membantu dirinya. Pasalnya, dengan adanya TPA tersebut, dirinya bisa bekerja dengan nyaman.
"Karena di TPA ini aman dan nyaman bagi anak saya. Saya juga jadi nyaman bekerja. Anak bisa sewaktu-waktu saya lihat. Kualitas gurunya juga bagus," ujar Ida kepada Validnews.
Karena itu, setelah mendengar informasi TPA itu dibuka, tanpa pikir panjang Ida langsung menitipkan anak bungsunya. "Saya dan suami sayakan bekerja, tadinya saya mencari-cari di mana tempat penitipan anak yang layak, ternyata ada info TPA ini. Waktu pertama kali dititipkan, anak saya umurnya baru 2 tahun 3 bulan," jelasnya.
Ia mengaku lebih memilih menitipkan anaknya di TPA dibanding harus diasuh oleh asisten rumah tangga (ART). Ia menilai, terlalu berisiko jika anak diasuh ART.
"Kalau ART tahulah sekarang ini risikonya seperti apa. Kalau di TPA kan bisa dididik oleh tenaga terampil. Anak saya dari nggak bisa ngomong, sekarang alhamdulillah, cerewet banget," kata Ida.
Menitipkan anak di TPA, lanjutnya, banyak keuntungan yang didapatkan dirinya dan anaknya. Di antaranya, Sang Anak bisa bersosialisasi dengan teman-temannya. Aktivitasnya pun teratur dan tak mengganggu mood dari anak itu sendiri.
"Rencananya saya mau menitipkan anak saya sampai masuk SD lah. Saya juga sudah percaya dengan guru-guru di sini," jelasnya.
Tak hanya Ida yang lega akan kehadiran TPA di tempat dia bekerja. Hal serupa diungkapkan Umi Masudah, salah satu guru di tempat itu. Dia mengaku senang mengambil kesempatan menjadi guru di TPA yang merupakan hal baru bagi dirinya.
"Sebelumnya saya mengajar di PAUD yang hanya beberapa jam, kalau di TPA harus full dari pagi sampai sore," serunya.
Guru di TPA, lanjut Umi, terus menemani anak-anak beraktivitas di tempat penitipan. Bahkan jika ada orang tua yang telat menjemput anaknya, guru-guru terus menemani anak sampai benar-benar bertemu dengan orang tuanya.
"Kami hampir setiap hari ketemu dari pagi sampai sore, jadinya sudah seperti keluarga. Sabtu dan Minggu libur," kata Umi.
Meski demikian, ia menyarankan, kerja guru masih perlu dilengkapi dengan alat penunjang. Menurutnya, guru-guru di TPA Yos Sudarso masih perlu dibekali butuh Alat Permainan Edukatif (APE).
Pekerja Wanita
Sekadar gambaran, TPA Yos Sudarso terletak di Blok R, Kantor Wali Kota Jakarta Utara. Dengan luas 40 meter persegi, TPA tersebut tak ubahnya seperti taman kanak-kanak pada umumnya. Dindingnya bertempelkan gambar-gambar bertemakan anak-anak berwarna-warni di dindingnya.
Saat ini, kata Penilik PAUD dan Dikmas Jakarta Utara Wilayah I Rida Listiyowati, TPA diisi oleh dua orang guru dan satu orang operator.
"Ada pun muridnya sudah mencapai 15 anak," serunya.
Guru-guru yang mengajar pun, kata Rida, tidak sembarangan. Menurut Rida, guru-guru yang mengajar di TPA Yos Sudarso memiliki latar belakang Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan merupakan Sarjana Pendidikan. TPA sendiri buka setiap hari kerja dengan jam operasional pukul 07.30-16.00 pada Senin-Kamis. Sementara, pada Jumat beroperasi pukul 07.30-16.30.
"Sebanyak 14 anak merupakan anak dari pegawai yang bekerja di Kantor Wali Kota Jakarta Utara, dan 1 anak berasal dari luar, yakni anak seorang guru yang sering berkunjung ke TPA ini," jelasnya.
Orang tua yang menitipkan anaknya pun tak dikenakan biaya sepeser pun, karena semua fasilitas ditanggung oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Tempat penitipan anak sendiri dibuat berdasarkan instruksi Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan yang ingin ada TPA di setiap kantor pemerintahan di lingkungan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta.
"Di sini gratis tidak dipungut biaya. Namun orang tua menyiapkan sendiri kebutuhan anaknya, seperti makanan, susu, dan baju ganti. Karenakan setiap anak berbeda kebutuhannya. Kebetulan juga belum ada anggaran untuk itu. Bantuan Uang Operasional (BOP) sedang diproses," lanjutnya.

Sebelumnya, Pemerintah Kota DKI Jakarta telah membuka TPA di kantor Balai Kota sejak September 2018. Gubernur Anies Baswedan pun ingin setiap kantor Wali Kota di Jakarta terdapat TPA. Teranyar, Gubernur Anies Baswedan meresmikan keberadaan TPA di kantor Wali Kota Jakarta Barat yang bernama TPA Negeri Bale Belajar Pelangi, pada 2 Oktober 2019.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah penduduk di DKI Jakarta pada tahun 2019 mencapai 10,5 juta jiwa. Proporsinya pun cukup seimbang untuk laki-laki dan perempuan, dengan masing-masing jenis kelamin memiliki jumlah sekitar lima juta jiwa. Sementara, angkatan kerja perempuan berdasarkan data BPS DKI Jakarta di 2018, jumlahnya hampir dua juta orang.
Artinya, banyak ibu dan atau calon ibu yang harus difasilitasi untuk menyusui atau merawat anak-anaknya di tempat kerja. Inilah yang memunculkan banyaknya jasa penitipan anak di kota-kota besar di Indonesia seperti di Jakarta.
Hal itu juga yang dialami Juanita. Perempuan berusia 31 tahun asal Kebayoran Lama Jakarta Selatan ini, mempunyai buah hati laki-laki berusia 5 tahun yang masih dititipkan di daycare hingga saat ini.
Kepada Validnews, Kamis (28/11), ia bercerita bagaimana dirinya mengalami dilema dalam mengasuh anak. Menurutnya, menitipkan anak ke daycare adalah pilihan tepat, karena dia dan suaminya sama-sama bekerja.
"Daripada saya titip ke ART, lebih milih ke daycare karena lebih aman. Selepas cuti hamil dan pas anak umur dua bulan, waktu itu awalnya titip anak di daycare gedung kantor," ujarnya.
Namun, Juanita menuturkan, setelah anaknya berumur setahun, ia memutuskan untuk mencari daycare yang lebih sesuai kemauannya. Salah satunya, yang memiliki lahan outdoor sebagai taman bermain sang anak.
Setelah beberapa hari meriset sana-sini, akhirnya Juanita memutuskan untuk menitipkan anaknya ke salah satu daycare di bilangan Senopati, Jakarta Selatan. Di daycare tersebut, Juanita merasa cocok dengan fasilitas yang tersedia.
"Karena daycare itu tadinya rumah tinggal yang disulap jadi daycare, jadi ada dua halaman yang cukup luas di depan dan di belakang, cukup buat anak bermain outdoor seperti berlarian dan bersepeda. Jadi anak nggak terlalu bosan," tuturnya.
Selain itu, rasio anak dan pengasuh di daycare tersebut menurutnya juga tepat, yakni satu pengasuh mengasuh dua anak. Dengan rasio itu, sang anak mendapatkan perhatian yang memang dibutuhkan.
"Rasionya bagus, bahkan karena hal itu, anak saya sampai-sampai selalu bilang kangen ke pengasuhnya. Cara pengasuh berkomunikasi dengan anak juga bagus menurut saya," ujar Juanita.
Terkait keamanan bagi sang anak, Juanita menuturkan, hal itu juga yang dinomorsatukan daycare tersebut, di mana sudah dilengkapi dengan kamera CCTV. Setiap orang tua pun bisa memantau langsung dari smartphone-nya masing-masing.
Kegiatan Positif
Menurut William J Goode, pelopor pendekatan modernisasi keluarga, menjelang akhir tahun 1960-an, sistem keluarga terkait dengan hubungan sebab-akibat dari berbagai fenomena sosial, seperti industri dan perkembangan ekonomi.
Salah satu fenomena yang terjadi pada perubahan tipe keluarga ditunjukkan oleh meningkatnya partisipasi perempuan di pasar tenaga kerja. Hasil penelitian OECD pada 2011 menunjukkan enam dari sepuluh ibu dengan anak usia 0-16 tahun merupakan ibu bekerja.
Psikolog Anak Endang Widyorini beranggapan, daycare memang menjadi solusi bagi para orang tua pekerja. Menurutnya, jika dibandingkan dengan pengasuh di rumah atau baby sitter dan nanny, daycare lebih banyak sisi positifnya.
"Sekarang yang saya lihat, orang tua lebih senang anaknya dititipkan di daycare dibanding menggunakan baby sitter. Karena kalau baby sitter banyak yang keluar masuk kerja, itu pasti jadi pikiran bagi orang tua," jelasnya, Jumat (29/11).
Belum lagi, kata dia, jika diasuh baby sitter di rumah, terkadang terjadi kejadian yang tidak diinginkan yang orang tua tidak bisa melihat. Seperti, tidak benar dalam memberikan makan, tidak aware terhadap kegiatan sang anak, dan lain-lain.
"Di daycare anak dapat makanan bergizi. Memang agak mahal. Tapi pas pulang itu anak sudah mandi, bersih, mandiri. Jadi sudah bisa makan sendiri," imbuhnya.
Selain itu, kata dia, sang anak juga bisa bersosialisasi dengan teman-temannya sehingga anak memiliki kosakata yang banyak. Segala kegiatan yang menyenangkan bagi anak menurutnya ada semua di daycare.
"Kalau di daycare, banyak kegiatan positif bagi anak seperti menggambar, bernyanyi, itu baik bagi tumbuh kembang anak. Makan dan tidur juga teratur," tuturnya.

Komisioner KPAI Retno Listyarti menuturkan, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan orang tua sebelum menitipkan anaknya di daycare. Menurut Retno, orangtua tidak boleh sembarangan memilih daycare yang akhirnya bisa berakibat buruk bagi anak.
Hal pertama yang mesti dilakukan orangtua, lanjutnya adalah meriset daycare tersebut.
"Pastikan daycare itu berizin resmi," serunya.
Setelah memastikan daycare memiliki izin resmi dan memiliki reputasi bagus, langkah selanjutnya adalah mengecek langsung ke lokasi. Orang tua harus mengecek langsung ke lokasi apakah daycare tersebut memiliki kualitas pengasuh yang baik atau tidak.
"Lalu cek apakah rasio jumlah pengasuh dan anak pas atau tidak, maksimal satu pengasuh memegang tiga anak," kata Retno.
Langkah selanjutnya, menurut Retno adalah daycare tersebut harus punya kurikulum yang sesuai dengan tumbuh kembang anak. Dan poin terakhir menurutnya adalah ada keterbukaan antara manajemen dan orang tua.
Namun, perlu diingat, suatu proses pendidikan akan berhasil ketika orang tua terlibat di dalamnya. Secara khusus keterlibatan orang tua berpengaruh terutama pada hasil akademik anak (Park et al. 2014).
Keputusan orang tua terlibat dalam pendidikan anak dipengaruhi oleh bentuk peran dari keterlibatan orang tua terhadap pendidikan anak. JL Epstein dalam bukunya School, Family and Community Partnerships (1995) menjelaskan tipe keterlibatan orang tua adalah pengasuhan (parenting), komunikasi (communicating), partisipasi (volunteering), pembelajaran di rumah (learning at home), pembentuk keputusan (decision making) dan kerja sama dengan masyarakat (collaborating with community). (Didi Kurniawan, James Manullang)