c

Selamat

Jumat, 17 Mei 2024

NASIONAL

07 Februari 2023

15:00 WIB

500 Ribu Ternak Babi Di NTT Mati Akibat Virus ASF

Pada tahun 2020 penularan cepat virus ASF di NTT mengakibatkan kematian lebih dari 500.000 ekor babi dan kerugian ekonomi yang sangat besar bagi peternak. Kondisi ini diharap tak berulang saat ini

Editor: Faisal Rachman

500 Ribu Ternak Babi Di NTT Mati Akibat Virus ASF
500 Ribu Ternak Babi Di NTT Mati Akibat Virus ASF
Ilustrasi - Ternak babi milik warga di Kabupaten Nagekeo, NTT. Antara/Fransiska Mariana Nuka

KUPANG - Program kemitraan pembangunan Australia Indonesia menyebutkan 500.000 ternak babi di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT), mati karena paparan virus African Swine Fever (ASF) saat pertama kali mewabah di daerah itu pada 2020. Hal ini menimbulkan kerugian ekonomi bagi peternak.

"Pada tahun 2020 penularan cepat virus ASF di NTT mengakibatkan kematian lebih dari 500.000 ekor babi dan kerugian ekonomi yang sangat besar bagi peternak," kata CEO Promoting Rural Incomes through Support for Markets in Agriculture (PRISMA) Nina FitzSimons di Kupang, Selasa (7/2)

Nina FitzSimons mengatakan, hal itu, saat melakukan penyerahan tiga unit alat diagnostik Loop Mediated Isothermal Amplification (LAMP), untuk deteksi virus African Swine Fever (ASF) atau demam Babi Afrika dari pemerintah Australia senilai Rp1,4 miliar. Hal ini diperlukan guna mendukung penanganan pencegahan penularan ASF di NTT.

Dia mengatakan, ketiga alat deteksi virus ASF itu untuk mendukung Pemerintah NTT, dalam upaya pemulihan sektor peternakan babi di NTT yang merupakan daerah dengan populasi ternak babi terbesar di Indonesia.

Menurut dia, ketiga alat senilai Rp1,4 miliar ini merupakan alat diagnostik Loop Mediated Isothermal Amplification (LAMP) dan reagen terkait yang dikirimkan sebagai bagian dari paket, dapat mendeteksi virus ASF pada Babi yang ditempatkan di tiga lokasi yaitu Pulau Flores, Sumba dan Timor.

"Alat ini diharapkan dapat mendukung Pemerintah NTT dalam upaya pemulihan usaha sektor Babi di Provinsi NTT mengingat diagnosis dapat dilakukan lebih cepat, sehingga tindakan pengendalian dapat segera dilakukan," kata Nina FitzSimons.

Dia mengingatkan, penularan cepat virus ASF di NTT mengakibatkan kematian lebih dari 500.000 ekor babi dan kerugian ekonomi yang sangat besar pada tahun 2020, jangan sampai terulang. 

Karena itu, saat  virus Babi Afrika kembali terjadi NTT belakangan ini, perlu dilakukan berbagai upaya pencegahan penularan.

"Wabah baru virus ASF yang terjadi pada 2023 ini kembali membuat NTT menjadi daerah yang paling terdampak di Indonesia baik secara ekonomi maupun budaya," tegasnya.

Selain penyerahan LAMP, Pemerintah Australia melalui “Program Australia Indonesia Partnership for Promoting Rural Incomes through Support for Markets in Agriculture” (PRISMA) dan Program Kemitraan Australia Indonesia untuk Ketahanan Kesehatan (AIHSP), juga akan melakukan kegiatan peningkatan kapasitas (bimbingan teknis), Lokakarya, dan training of trainers (ToT) dengan sasaran petugas lapangan veteriner dan teknisi laboratorium.

Dorongan Ekonomi
Selain membantu produsen ternak, dampak dari penggunaan LAMP juga diharapkan dapat memberikan dorongan ekonomi bagi pelaku pasar yang terlibat dalam perdagangan ternak dan produk turunannya.

“Kami sangat bahagia petani skala kecil dan pengusaha yang terlibat dalam pengembangan sektor Babi akan mendapatkan akses terhadap fasilitas pengujian penyakit hewan yang tersedia di Pulau Sumba, Flores dan Timor. Hal ini akan membuat ternak babi milik peternak aman dan pendapatannya terlindungi, selagi sektor Babi ini pulih dari Virus Demam Babi Afrika,” kata Nina FitzSimons.

Wakil Gubernur NTT Josef A. Nae Soi di Kupang, menuturkan, Pemerintah Provinsi NTT mengaku sangat berterima kasih kepada lembaga Prisma dan AIHSP lembaga kemitraan Indonesia-Australia, dalam bidang ketahanan kesehatan yang telah memberikan bantuan tiga unit alat deteksi virus ASF di NTT.
 
Sebanyak tiga unit alat deteksi virus melalui Prisma, lembaga kemitraan Australia-Indonesia dan AIHSP, lembaga ketahanan kesehatan Australia akan digunakan untuk mendeteksi virus ASF atau demam Babi Afrika yang akan ditempatkan di tiga lokasi, yaitu Pulau Flores, Timor, dan Sumba. Hal ini guna mendukung Dinas Peternakan dalam pemeriksaan sampel dugaan virus ASF.
 
Dia menjelaskan babi jenis ternak yang dibutuhkan masyarakat NTT karena erat kaitan dengan kegiatan budaya sehingga upaya pencegahan penularan ASF penting. 

"Setelah adanya tiga alat ini maka pemeriksaan sampel untuk pendeteksian virus ASF menjadi lebih mudah, sehingga upaya pencegahan penularan virus ASF lebih cepat dilakukan," kata Josef.
 
Direktur Program Kemitraan Indonesia-Australia dalam bidang ketahanan kesehatan (AIHSP) Jhon Leigh mengatakan, ada peningkatan kasus penularan ASF yang signifikan di beberapa kabupaten di NTT. Dia menjelaskan penyakit ini merupakan virus yang menular, sedangkan NTT provinsi yang memiliki populasi ternak babi terbesar di Indonesia.
 
Dia mengatakan, penularan virus ASF pertama kali menimpa ternak babi di NTT pada 2020 yang menyebabkan puluhan ribu babi mati sehingga merugikan peternak di daerah ini. 

"Penularan virus ASF yang begitu cepat tentu secara ekonomi merugikan para peternak babi di NTT," tuturnya.
 
Dia mengatakan, belum ada vaksin untuk mencegah penyebaran virus ASF sehingga salah satu upaya pencegahan dengan melakukan deteksi dini melalui diagnosa penyakit secara akurat.
 
"Diagnosa lebih awal yang cepat dan akurat sangat membantu pemerintah dalam mengambil keputusan sebagai upaya penanganan penularan ASF," tegasnya.
 
Pemprov NTT selama ini kesulitan dalam penanganan kasus ASF dengan cepat karena harus mengirimkan sampel virus ASF untuk dilakukan pemeriksaan di Bali, sehingga membutuhkan waktu lama untuk mendapatkan hasilnya.

Dia berharap, dengan adanya tiga alat diagnostik LAMP bisa membantu pemprov setempat dalam penanganan penularan ASF secara lebih cepat.


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar