c

Selamat

Minggu, 16 November 2025

NASIONAL

16 November 2023

16:45 WIB

50% Lahan Gambut Indonesia Alami Kerusakan

Pembukaan lahan, budaya ladang berpindah, perambahan liar oleh kelompok masyarakat juga menjadi penyebab kerusakan lahan gambut.

Editor: Rikando Somba

50% Lahan Gambut Indonesia Alami Kerusakan
50% Lahan Gambut Indonesia Alami Kerusakan
Warga memancing ikan di kanal lahan gambut bekas kebakaran, Puding, Muarojambi, Jambi, Jumat (11/10/ 2019). Antara Foto/Wahdi Septiawan

JAKARTA- Sekitar 13 juta hektare lahan gambut yang ada, kini dalam kondisi rusak. Lahan gambut yang rusak itu tersebar di tujuh provinsi mulai dari Jambi, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah, Papua, Riau, dan Sumatera Selatan. Tim Badan Restorasi Gambut dan Mangrove (BRGM) menyatakan saat ini, lahan gambut yang rusak mencapai 50% dari lahan gambut yang ada di tanah air.  

"Jumlah yang rusak itu merupakan 50 persen dari total lahan gambut kita saat ini, 2,6 juta hektare," kata Kepala Kelompok Kerjasama, Hukum, dan Hubungan Masyarakat BRGM Didy Wurjanto di Jakarta, Kamis (16/11).

Tim lapangan BRGM menemukan kerusakan lahan gambut di tujuh daerah tersebut yang paling umum disebabkan oleh kebakaran, dan aktivitas industrialisasi. Industrialisasi yang dimaksud seperti perluasan perkebunan kelapa sawit yang membuat air di kawasan gambut semakin kering.

Disebutkan juga, ada beberapa faktor lain seperti pembukaan lahan budaya ladang berpindah, perambahan liar oleh kelompok masyarakat juga menjadi penyebab kerusakan lahan gambut. Tetapi, untuk lahan gambut yang rusak karena sebab ini, persentasenya terbilang kecil.

Ia mengakui upaya restorasi gambut belum maksimal karena sebagian besar berada di dalam konsesi perusahaan. BRGM membutuhkan penguatan melalui pengaturan ulang beberapa regulasi untuk merestorasi lahan gambut tersebut.

Dikutip dari Antara,  Peneliti Pusat Riset Hukum BRIN Laely Nurhidayah mengungkapkan bahwa ekspansi perkebunan skala besar seringkali menyebabkan kebakaran hutan dan lahan gambut. Ini ditemukan  seperti di Desa Lukun dan Temusai, Provinsi Riau, yang telah ada aktivitas perkebunan skala besar. Pembukaan lahan oleh perusahaan ini menyebabkan terjadinya perubahan hidrologi air di Kesatuan Hidrologis Gambut (KHG).

Laely menyebutkan bahwa warga desa setempat pun mengakui ekosistem gambut yang telah mengalami perubahan menimbulkan kekeringan dan rawan terjadi kebakaran. "Walaupun mungkin di sisi lain mereka menyebutkan bahwa sawit itu menguntungkan bagi mereka secara ekonomi," kata dia.

Pemadaman
Di kesempatan berbeda, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menegaskan upaya pemadaman kebakaran lahan gambut terus dilakukan di Desa Jungkal, Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan.

Lokasi kebakaran itu berada di areal PT Waringin Agri Jaya yang sekarang statusnya sudah pailit. KLHK menegaskan perusahaan tetap harus bertanggung jawab dan tidak bisa membiarkan gambut yang berada di wilayah konsesi terbakar.

Menteri LHK Siti Nurbaya mengatakan pemadaman kebakaran gambut di Desa Jungkal, Kecamatan Pampangan sudah dilakukan selama 68 hari akibat gambut yang dalam dan luas. “Sumatera Selatan memiliki wilayah gambut yang luas, yang terbakar ini adalah wilayah konsesi yang pailit," ujarnya dalam keterangan di Jakarta, Senin.

Dari total 109.000 hektare hutan dan lahan terbakar di Sumatera Selatan sepanjang Januari-Oktober 2023, kejadian terparah ada di Desa Jungkal. Sementara. operasi pemadaman sudah dimulai sejak 9 September 2023. Namun, kebakaran tetap meluas hingga mencapai 6.000 hektare.

Kebakaran gambut di Desa Jungkal menyumbang polusi asap terbesar di Sumatera Selatan, terutama ke Palembang dan sekitarnya. Bahkan, asap mencapai provinsi tetangga, seperti Jambi dan Riau.

Siti mengatakan harus ada pengamanan lebih lanjut, tidak cukup hanya melakukan pemadaman kebakaran saja. KLHK menilai, harus ada aspek tata kelola lahan yang perlu lebih ketat dikontrol.

KLHK memiliki tiga aspek dalam pengendalian untuk mencegah secara permanen kebakaran hutan dan lahan yang telah dilakukan sejak tahun 2020. Aspek pertama, pengendalian dan analisis iklim atau cuaca dengan memantau pergerakan cuaca, lalu dikembangkan dalam analisis wilayah di lokasi rawan kebakaran hutan dan lahan untuk menentukan lokasi operasi modifikasi cuaca alias hujan buatan.

Kedua, melakukan pengendalian operasional melalui satgas terpadu yang melibatkan KLHK, BNPB, BRIN, BMKG, TNI, Polri, Kemendagri, pemerintah daerah serta komunitas masyarakat setempat.

Sedang yang ketiga adalah melalui pengendalian dan pengelolaan landscape atau peruntukan lahan, melakukan pembinaan kepada pemilik konsesi lahan, dan bisnis kehutanan. Pengendalian dan pengelolaan lahan itu juga termasuk merangkul pertanian tradisional yang kerap melakukan pembakaran saat membuka lahan atau setelah panen.


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar