08 Oktober 2025
16:30 WIB
Yuyun Ismawati Drwiega, Pengubah Sampah Jadi Peluang
Yuyun Ismawati Drwiega merupakan insinyur lingkungan penerima Goldman Prize. Dia merupakan pelopor pengubah sampah jadi peluang, juga advokat penghapusan merkuri di Indonesia dan dunia.
Penulis: Besyandi Mufti
Editor: Rikando Somba
Potret Yuyun Ismawati Drwiega saat diangkat menjadi Co-Chair IPEN (International Pollutants Eliminat ion Network). LinkedIn/IPEN (International Pollutants Elimination Network).
Dalam dunia sains dan rekayasa, ilmu pengetahuan sejatinya bukan sekadar kumpulan rumus dan teori di buku, atau dalam pembelajaran di ruang-ruang kelas. Sains akan baru memiliki makna ketika mampu menjawab persoalan nyata di tengah masyarakat. Sains dapat dimulai dari hal-hal sederhana yang terkesan printilan dan remeh-temeh.
Sains bisa diterapkan pada pengelolaan air bersih, pengendalian limbah, hingga menjaga kualitas lingkungan hidup di keseharian. Justru, sains yang hanya berhenti di ruang kelas membuatnya terasa kaku dan jauh dari realitas.
Sementara itu, seorang insinyur sejati adalah mereka yang mampu menjembatani teori dengan praktik, mengubah pengetahuan teknis menjadi solusi konkret yang membawa manfaat sosial, ekonomi, dan lingkungan bagi banyak orang. Ini yang ada di benak Yuyun Ismawati Drwiega, seorang insinyur lingkungan asal Indonesia yang namanya lekat dengan penggunaan sains untuk pengelolaan lingkungan yang lebih baik.
Yuyun berfokus pada pengelolaan sampah berbasis masyarakat, perlindungan anak dari paparan merkuri, dan advokasi kebijakan lingkungan di Indonesia. Mulai dari teknis rekayasa hingga kampanye kebijakan internasional, dilakoninya.
Kiprahnya membentang luas. Dampaknya pun nyata dirasakan tak hanya di desa-desa, tetapi juga di kota kecil hingga meja negosiasi internasional.
Berawal dari Teknik Air
Yuyun Ismawati Drwiega lahir pada tahun 1964. Saat ini, ia menjadi salah satu insinyur lingkungan, dengan fokus utama pengelolaan sampah, sanitasi, dan isu-isu toksik, seperti merkuri dan bahan kimia berbahaya.

Ia dikenal luas sebagai pendiri organisasi yang awalnya bernama BaliFokus dan sekarang menjadi Nexus3 (Nexus for Health, Environment, and Development). Organisasi tersebut merupakan lembaga independen yang berfokus pada perlindungan kesehatan dan lingkungan masyarakat.
Yuyun menempuh pendidikan sarjana di bidang Teknik Lingkungan, Institut Teknologi Bandung (ITB). Inilah yang menjadi fundamen dalam penguasaan teknis, yang kelak digunakannya untuk merancang sistem air bersih, sanitasi, dan pengelolaan limbah yang sesuai konteks lokal.
Awalnya, Yuyun bekerja untuk mendesain sistem pasokan air perkotaan dan pedesaan. Tak disangkanya pula, pekerjaan teknis ini kemudian membawanya berhadapan langsung dengan realitas sosial. Semuanya membawanya ke sebuah kesadaran, bahwasanya banyak layanan publik yang tidak menjangkau kelompok miskin dan kawasan permukiman padat.
Dari situ, Yuyun terdorong memperluas peran, dari sekadar insinyur menjadi fasilitator perubahan sistem. Dia menggabungkan rekayasa dengan pendekatan partisipatif komunitas.
Tak puas hanya menyediakan solusi teknis, Yuyun menghendaki solusi yang dimiliki untuk dioperasikan dan memberi manfaat ekonomi bagi komunitas lokal. Langkah itulah yang menjadi landasan pengembangan model pengelolaan sampah berbasis masyarakat yang kelak diadopsi lebih luas.
Selain bekerja pada level komunitas, Yuyun aktif di kancah global. Dia merupakan Co-chair atau pemimpin bersama dari Internasional Pollutans Elimination Network (IPEN), jaringan NGO internasional yang bergerak melawan polutan berbahaya, serta terlibat dalam upaya penghapusan merkuri dalam skala internasional.
Kiprahnya dalam area internasional membuatnya kerap hadir dalam forum-forum internasional terkait racun, limbah plastik, dan praktik pertambangan skala kecil. Jaringan ini bukan lah 'kaleng-kaleng'. Di IPEN, dia memimpin jaringan global lebih dari 600 organisasi nonpemerintah dari 130 negara untuk menghapus polutan beracun dan bahan kimia berbahaya dari lingkungan.
Karya dari hasil jerih payah Yuyun terhadap komunitas mendapatkan pengakuan luas. Puncaknya saat mendapatkan Goldman Environmental Prize pada tahun 2009.
Penghargaan itu merupakan sebuah pengakuan bergengsi untuk aktivis lingkungan pada tingkat grassroot. Penghargaan tersebut memberikan visibilitas internasional pada model pengelolaan sampah berbasis komunitas yang dikembangkan Yuyun serta timnya.
Selain Goldman Prize, Yuyun juga tercatat sebagai Ashoka Fellow dan LEAD Fellow, sebuah status yang menegaskan peranannya sebagai social enterpreneur dan pemimpin dalam isu lingkungan serta pembangunan berkelanjutan.
Dia berkontribusi juga pada banyak kebijakan nasional. Penyusunan strategi nasional pengelolaan sampah adalah salah satunya.
Peraih gelar magister sains dari Universitas Oxford dalam bidang Manajemen dan Perubahan Lingkungan ini membantu menggeser narasi kebijakan dari solusi merusak lingkungan, misalnya pembakaran/insinerasi skala besar tanpa kontrol, menuju alternatif yang lebih aman dan berbasis masyarakat.
Yuyun dikenal sebagai pragmatis, empatik, dan berorientasi pada hasil. Ini dimanifestasikan dengan menggabungkan keahlian teknis dengan pendekatan partisipatif. Dia tak datang hanya menawarkan “baju jadi” berteknologi tinggi, tetapi yang ditawarkannya merupakan ide, sebuah desain yang disesuaikan dengan kondisi sosial-ekonomi lokal. Pendekatan tersebut melibatkan pelatihan, fasilitator, dan pengembangan model bisnis sosial sehingga solusi tersebut dapat berkelanjutan secara finansial.
“Saya sama sekali tidak menyangka mendapat penghargaan ini. Selama ini saya melakukan apa yang menjadi perhatian khusus saya saja,” katanya saat menerima Goldman Prize.
Hal ini menggambarkan kerendahan hati serta fokus pada kerja nyata ketimbang pencarian penghargaan. Dalam berbagai wawancara, Yuyun menekankan pentingnya pemberdayaan masyarakat dengan gagasan bahwa pemerintah harus memberdayakan rakyat agar mereka mampu mengelola solusi untuk diri mereka sendiri.
Yuyun juga secara tegas memperingatkan konsekuensi kesehatan merkuri dan tambang emas skala kecil pada anak dan lanskap. Dia menyatakan perlunya menghentikan penggunaan merkuri dan memberikan prioritas perlindungan bagi kelompok rentan.
Mengapa Beralih dari Air ke Sampah dan Sanitasi?
Dalam perjalanan kariernya, Yuyun menyadari bahwa desain sistem air saja tak cukup jika lingkungan hidup di sekitarnya tercemar oleh sampah dan limbah berbahaya. Sebagai contoh, yaitu Bali, yang merupakan daerah wisata dengan tekanan limbah yang tinggi.
Bali dijadikan Yuyun sebagai laboratorium bagi pendekatan baru. Di sana, dia mengubah sampah menjadi sumber ekonomi dan layanan yang dapat dikelola oleh masyarakat sendiri. Konsep ini menantang model sentralisasi layanan publik yang kerap hanya menjangkau area mampu bayar.
Gagasan dasarnya sederhana. Gagasan tersebut membantu masyarakat memisah, mengolah, dan memanfaatkan sampah pada tingkat lokal (misal kompos, daur ulang bahan bernilai), sehingga volume sampah yang masuk ke tempat pembuangan akhir (TPA) berkurang drastis, dan sekaligus juga memberikan penghidupan baru bagi warga yang sebelumnya bergantung pada kegiatan informal di TPA.
Hasilnya, tak hanya membuat lingkungan yang lebih bersih. Sampah ini jadi punya nilai ekonomi baru serta peningkatan kesehatan masyarakat.
Setiap upaya perubahan dalam sistem selalu menghadapi sebuah resistensi. Begitu pula dengan perjuangan Yuyun Ismawati Drwiega. Inisiatif berbasis komunitas yang didorong sering kali harus menembus tembok birokrasi yang rumit, berhadapan dengan persaingan pasar, hingga kepentingan bisnis yang diuntungkan dari praktik lama seperti impor sampah atau pembangunan insinerator tanpa kontrol emisi yang memadai. Yuyun berulang kali mengingatkan bahwa solusi yang berhasil tidak datang secara instan, komunikasi efektif agar pelaku kebijakan berani mengambil keputusan berpihak pada rakyat dan lingkungan.
Tantangan lain yang dihadapinya adalah masalah skala. Model pengelolaan sampah berbasis komunitas yang sukses di desa atau kota kecil tidak serta merta bisa diterapkan di kota besar yang lebih kompleks. Dari pengalaman tersebut lahir pembelajaran berharga, bahwa setiap program harus diuji, diukur, lalu diadaptasi sebelum diperluas.
Pendekatan iteratif semacam ini menjadi ciri khas Yuyun dan timnya, membangun prototipe di sejumlah lokasi, menghitung dampaknya dengan data, lalu menyusun rekomendasi kebijakan berbasis bukti. Cara kerja ini membuat program yang digagasnya tak hanya bertahan, tetapi juga direplikasi di banyak daerah dengan hasil nyata.
Program Besutan Yuyun Untuk Masyarakat
Kiprahnya dalam solusi persoalan lingkungan dimanifestasikan dalam 3 program, yaitu BaliFokus (Kemudian menjadi Nexus3), SANIMAS, dan Model Temesi. Ketiga program ini sangat berdampak baik bagi masyarakat.
Dimulai pada tahun 2000, Yuyun mendirikan BaliFokus, pilot project awalnya. BaliFokus memulai program pengelolaan sampah berbasis komunitas. Program ini memiliki fokus pada kawasan wisata dan komunitas lokal di Bali. Dalam gerakannya, model ini menempatkan warga sebagai pemilik usaha pengelolaan sampah, dari memilah, mengolah organik menjadi kompos, dan menjual bahan daur ulang. Model tersebut juga melibatkan kerja sama dengan pelaku pariwisata setempat, yang memberi sumber bahan dan insentif pasar.
Setelah itu, Yuyun membuat proyek Temesi di Gianyar, Bali, sebuah studi kasus yang sering dikutip. BaliFokus bekerja sama dengan Rotary Club setempat untuk membangun fasilitas pengolahan sampah yang dimiliki dan dioperasikan oleh desa. Dalam pelaksanaannya, proyek ini berhasil merangkul ratusan rumah tangga, sekitar 500 partisipan pada fase tertentu.
Proyek ini berhasil mengurangi volume sampah rumah tangga di area partisipan hampir 50%. Sementara fasilitas pemulihan di lokasi juga mencatat penyerapan tenaga kerja lokal (lebih dari 40 orang) juga tercatat sebagai sumber pendapatan dari penjualan hasil daur ulang serta kompos.
Kedua proyek semacam ini menjadi blueprint yang mudah direplikasi oleh orang lain.
Ada juga model kegiatan SANIMAS atau Sanitasi Oleh Masyarakat . Di model ini, dia bersama kolega-koleganya membantu memecahkan masalah sanitasi di kawasan padat dan miskin. Pendekatan SANIMAS menekankan solusi sanitasi sederhana, terjangkau, dan dikelola oleh komunitas, bukan bergantung sepenuhnya pada solusi sentral yang mahal, kurang terjangkau, dan sulit diakses. Konsep ini selanjutnya diadopsi di banyak lokasi di Indonesia dan menjadi bagian dari upaya meningkatkan akses sanitasi yang adil.
Perjuangan Melawan Merkuri
Seiring berkembangnya pengalaman di pengelolaan sampah dan sanitasi, Yuyun memperluas fokusnya kepada isu toksik yang memiliki kerumitan lebih tinggi. Termasuk merkuri dalam praktik pertambangan emas skala kecil atau Artisanal & Small-scale Gold Mining (ASGM).
Di beberapa daerah tambang, penggunaan merkuri yang tak terkendali menyebabkan kasus keracunan serius, terutama pada anak-anak. BaliFokus/Nexus3 melakukan survei, monitoring, dan advokasi yang menyorot dampak kesehatan dan sosial dari praktik ini.
Banyak temuan di lapangan yang diangkat oleh Yuyun dan timnya membantu mendorong perhatian nasional serta internasional terhadap masalah merkuri. Perhatian tersebut mulai dari deteksi kasus penyakit “tidak umum” akibat merkuri, sampai advokasi kebijakan kontrol, pelarangan impor/ekspor merkuri, dan dukungan bagi komunitas untuk beralih ke praktik penambangan yang tidak menggunakan merkuri.
Upaya ini sangat relevan terhadap proses negosiasi perjanjian internasional tentang merkuri dalam Minamata Convention dan upaya penghapusan penggunaan merkuri di ASGM.
Filosofi kunci dari banyaknya karya Yuyun yaitu memperkuat kapasitas komunitas agar mereka menjadi aktor utama dalam pengelolaan lingkungan mereka sendiri. Pendekatan tersebut mengutamakan pemecahan masalah dari bawah (bottom-up) dan kolaborasi antar pemangku kepentingan seperti pemerintah, swasta, dan masyarakat sipil, merupakan beberapa kunci keberhasilan agar program berjalan dengan baik.
Apa yang dilakukan Yuyun Ismawati Drwiega bisa kita tiru. Mulai dari merancang solusi sesuai konteks sosial ekonomi lokal agar berkelanjutan, memberdayakan perempuan dan kelompok rentan melalui pelatihan serta peluang usaha, juga memastikan setiap langkah dibuktikan dengan data nyata seperti pengurangan volume sampah atau penciptaan lapangan kerja, adalah hal yang bisa dilakukan meski tidak mudah.
Yuyun juga menempatkan kesehatan publik sebagai prioritas utama, terlebih melindungi anak-anak dari paparan racun berbahaya seperti merkuri. Untuk perjuangan yang meluas, dia membangun aliansi lintas pihak, dapat dari komunitas lokal, pemerintah, organisasi sosial seperti Rotary Club, hingga jaringan internasional seperti IPEN. Dari gerakan bersamaa ini, yang digagasnya tak hanya kuat di grassroot saja, tetapi juga mampu memengaruhi kebijakan nasional dan internasional.
Bagi generasi muda pegiat lingkungan, kisah Yuyun merupakan pelajaran bahwa seorang insinyur tidak hanya bisa menjadi pemecah masalah teknis. Sebaliknya, mereka juga bisa menjadi aktivis sosial yang memperjuangkan keadilan lingkungan dengan bukti, keberanian, dan solidaritas.