c

Selamat

Rabu, 19 November 2025

KULTURA

21 Juni 2024

16:56 WIB

Yadnya Kasada, Sebuah Ritual Rasa Syukur Masyarakat Bromo Tengger

Umat Hindu Tengger selalu merayakan Yadnya Kasada setiap tahunnya, sebuah ritual yang ada sejak lama sebagai ungkapan rasa syukur. Tahun ini digelar 21-24 Juni.

Penulis: Siti Nur Arifa

Editor: Satrio Wicaksono

<p>Yadnya Kasada, Sebuah Ritual Rasa Syukur Masyarakat Bromo Tengger</p>
<p>Yadnya Kasada, Sebuah Ritual Rasa Syukur Masyarakat Bromo Tengger</p>

Yadna Kasada Upacara Adat Suku Tengger. Bromo, Indonesia (28/06/2019). Sumber: Shutterstock/Adillasyar

JAKARTA - Kemolekan lanskap kawasan Gunung Bromo yang dikelilingi lautan pasir serta sajian keindahan pemandangan saat sunrise, menjadikannya sebagai destinasi wisata yang tidak pernah sepi pengunjung. Seakan tak pernah lelah untuk menyambut wisatawan, baik lokal maupun mancanegara.  

Namun kali ini, tepat di tanggal 21-24 Juni, kawasan Gunung Bromo akan rehat dari kunjungan wisata. Penutupan ini dilakukan sehubungan dengan digelanya ritual Yadnya Kasada. Penutupan ini sekaligus untuk pemulihan ekosistem dan pembersihan kawasan pasca menerima banyak kunjungan.

"Bagi sahabat yang akan ke Gunung Bromo dan sekitarnya (Penanjakan, Bukit Kedaluh, Bukit Cinta/Lemah Pasar, Mentigen, Laut Pasir, dan Savana) dapat kembali berwisata ke kawasan TNBTS pada tanggal 25 Juni 2024 pukul 00.00 WIB," tulis keterangan resmi.

Ritual Ungkapan Syukur
Mengenal lebih dalam tentang Yadnya Kasada, istilah ini merupakan ritual adat tahunan umat Hindu Tengger. Dikenal juga dengan sebutan Kasada Bromo, ritual ini digelar oleh orang-orang Tengger yang berasal dari empat kabupaten di Jawa Timur, yakni Pasuruan, Malang, Lumajang, dan Probolinggo. 

Umumnya digelar pada hari ke-15 dalam bulan Kasada atau bulan ke-12 dalam penanggalan orang Tengger. Ritual dilakukan dengan masyarakat yang berkumpul di hamparan pasir (segara wedhi) kaki gunung. Dari kaki gunung, umat Tengger akan berjalan kaki membawa berbagai sesajian menuju kawah. Sesajian yang dimaksud dapat berupa buah buahan, sayuran, hewan ternak, dan hasil bumi lainnya. 

Jika digali lebih dalam, sesajian dan ritual ini memiliki simbol pengabdian pada Sang Hyang Widhi, pengorbanan, penyucian diri, rasa syukur, penjagaan hubungan harmonis dengan alam, dan penghormatan pada leluhur mereka.

Sebenarnya ritual Yadnya Kasada terbuka untuk umum dan seluruh orang Tengger dari agama apa pun, meski upacara ini kental dengan ritual dan ajaran agama Hindu. Namun bagi orang Tengger, berkah yang diperoleh nantinya tidak hanya untuk orang-orang Hindu, tetapi juga untuk semua orang.

Dikutip dari Inventarisasi Komunitas Adat Tengger karangan Nicolaas Warouw dkk, Yadnya Kasada memiliki tiga tahapan besar. Pertama, pengambilan air (mendhak tirta) yang diikuti oleh tradisi tidak tidur secara bergantian sampai pembukaan Kasada (makemit) dan menyucikan sarana dan alat Kasada (melasti).

Kedua, pembukaan Kasada berupa pertunjukan sendratari dan ketiga membuang sesaji ke kawah secara beriringan dan berbaris. Setelah upacara selesai, sesaji dibawa dari kaki Gunung Bromo ke atas kawah. Setelah itu, mereka melemparkannya ke dalam kawah, sebagai simbol pengorbanan yang telah dilakukan oleh nenek moyang masyarakat Tengger sejak dulu.

Legenda dan Asal Usul Orang Tengger
Di saat bersamaan, eksistensi orang atau masyarakat adat Tengger sendiri menarik untuk diulik, tak sekadar pesona alamnya yang mendunia. Konon, orang Tengger telah menggelar Yadnya Kasada sejak kehadiran mereka di Tengger pada masa Kerajaan Majapahit sekitar abad ke-13 M.

Sebenarnya ada banyak versi tentang asal-usul orang Tengger. Salah satunya Sudiro yang menjelaskan asal-usul ini dalam Legenda dan Religi Sebagai Media Integrasi Bangsa di jurnal Humaniora, Vol. 13 No. 1 (2001). Disebutkan ada dua versi, yaitu legenda dan sejarah.

Dalam versi legenda, orang Tengger diyakini berasal dari gabungan nama dua leluhur mereka, yakni Rara Anteng (Teng), putri Raja Brawijaya, dan Joko Seger (Ger), putra seorang Brahmana Kediri. Keduanya menikah dan hidup di sekitar wilayah Penanjakan, tak jauh dari Gunung Bromo. Tapi mereka tak punya anak untuk waktu lama. Hingga akhirnya mereka berdoa kepada Sang Hyang Widhi Wasa dan berjanji jika punya anak, salah satu anaknya akan dikorbankan.

Tak lama kemudian, Rara Anteng hamil dan melahirkan hingga memiliki sebanyam 25 anak. Setelah lahir, salah seorang anak mereka yakni Raden Kusuma menghilang. Namun kemudian, mereka mendengar suara Raden Kusuma keluar dari kawah Gunung Bromo.

“Keturunan Rara Anteng dan Joko Seger atau masyarakat Tengger dapat hidup aman sejahtera bila pada waktu-waktu tertentu mereka memberi korban ke kawah Gunung Bromo,” tulis Sudiro.

Sementara itu jika diulik dari sisi sejarah sebenarnya tak jauh berbeda dari legenda, di mana menurut sejumlah prasasti di sekitar pegunungan Bromo dan Negarakertagama, orang Tengger juga diyakini telah bermukim di kawasan Tengger sejak masa Majapahit.

Adapun maksud dari 'memberi korban' ke kawah Gunung Bromo adalah mendermakan sebagian hasil panen dan ternak ke kawah Bromo, dan pemahaman ini yang menjadi asal-usul upacara Yadnya Kasada. 


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar