04 Maret 2025
10:10 WIB
Waspadai AMS Dan Hipotermia Saat Mendaki Gunung
Acute Mountain Sickness (AMS) terjadi akibat kekurangan oksigen, biasanya di atas ketinggian 2.500 M. Sedang hipotermia, terjadi karena suhu tubuh turun di bawah 35° C, akibat paparan dingin
Ilustrasi. Petugas SAR mengevakuasi seorang perempuan yang mengalami hipotermia saat mendaki Gunung Klabat di Provinsi Sulawesi Utara. (ANTARA/ Kantor SAR MANADO
JAKARTA - Para pendaki disarankan mewaspadai gangguan kesehatan yang disebut Acute Mountain Sickness (AMS) dan hipotermia saat mendaki gunung tinggi. Kewaspadaan ini perlu kembali digaungkan menyusul meninggalnya dua perempuan pendaki, Lilie Wijayanti Poegiono dan Elsa Laksono di Carstensz Pyramid atau Puncak Jaya di Papua Tengah, Sabtu (1/3).
Dokter spesialis penyakit dalam dari Rumah Sakit Universitas Indonesia (RSUI) dr. Faisal Parlindungan Sp.PD menyampaikan, kedua, bauik AMS maupun hipotermia sama-sama bisa berbahaya jika tidak segera ditangani dengan baik.
"Keduanya bisa berbahaya jika tidak ditangani dengan baik, terutama dalam kondisi ekstrem di gunung," kata dokter lulusan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia itu saat dihubungi ANTARA pada Senin (3/3).
Dia menyampaikan, penyebab, gejala, dan penanganan kondisi AMS dan hipotermia berbeda. Menurut dia, AMS terjadi akibat kekurangan oksigen di daerah ketinggian, biasanya di ketinggian di atas 2.500 meter.
"Tubuh tidak terbiasa dengan kadar oksigen rendah, sehingga muncul gejala seperti sakit kepala dan mual. Kondisi ini disebut juga sebagai altitude sickness," katanya.
Sedangkan kondisi hipotermia, ia mengatakan, terjadi karena penurunan suhu tubuh akibat paparan dingin dalam waktu lama. "Hipotermia terjadi akibat paparan suhu dingin dalam waktu lama, menyebabkan suhu tubuh turun di bawah 35° celcius," jelasnya.
Faisal menjelaskan, gejala AMS utamanya sakit kepala, mual, muntah, kehilangan nafsu makan, lemas dan kelelahan, susah tidur, serta pusing atau rasa melayang. Sedangkan kondisi hipotermia, ia melanjutkan, menyebabkan tubuh menggigil hebat, kulit pucat dan dingin, bicara kacau, kebingungan, tidak responsif, serta denyut jantung dan pernapasan melambat.
Menurut dia, orang yang mengalami gejala AMS sebaiknya turun dari ketinggian, beristirahat, menghindari aktivitas fisik berlebihan, minum banyak air, dan menghindari minuman beralkohol. Sedangkan orang dengan gejala hipotermia, ia melanjutkan, harus dipindahkan ke tempat yang lebih hangat serta dihangatkan.
"Beri pakaian hangat atau selimut, minum cairan hangat dan berkalori tinggi, serta hindari pemanasan mendadak," katanya.
Guna mencegah risiko AMS, ia menyarankan para pendaki melakukan aklimatisasi, mencukupkan asupan cairan, dan naik secara bertahap selama pendakian. Sedangkan untuk kondisi hipotermia, ia melanjutkan, antara lain bisa dicegah dengan menggunakan pakaian hangat berlapis saat melakukan pendakian.
"Hindari kondisi basah atau angin kencang," katanya.
Meminimalisasi Peluang
Ia pun menyampaikan langkah-langkah yang dapat dilakukan untuk meminimalkan peluang mengalami kondisi hipotermia saat mendaki gunung. Kondisi yang rentan dihadapi oleh para pendaki saat menghadapi penurunan suhu drastis dan cuaca buruk daerah pegunungan itu, menurut dia, bisa ditekan kemungkinan terjadinya dengan persiapan yang baik.
"Dengan persiapan yang baik, risiko hipotermia saat mendaki gunung bisa diminimalkan, sehingga perjalanan tetap aman dan nyaman," serunya.
a juga menekankan pentingnya para pendaki mengecek prakiraan cuaca pada masa pendakian serta mempersiapkan rencana perjalanan. "Hindari perjalanan saat cuaca ekstrem. Jangan mendaki sendirian, dan pastikan anggota tim tahu cara mengatasi hipotermia jika terjadi keadaan darurat," katanya.
Ia menyarankan para pendaki menyiapkan bekal pakaian berlapis untuk menghadapi cuaca dingin. Lapisan pertamanya bisa berupa pakaian berbahan dry-fit atau wol yang bisa menyerap keringat dan menjaga tubuh tetap kering, lapisan kedua berupa jaket bulu atau jaket bawah untuk menjaga panas tubuh, dan lapisan ketiga dapat berupa jaket tahan air serta tahan angin untuk melindungi tubuh dari hujan dan angin.
"Hindari (pakaian berbahan) katun, karena menyerap air dan sulit kering," kata dokter Faisal.
Ia menyampaikan, perlengkapan tambahan seperti sarung tangan, kaos kaki wol, syal, serta topi atau tudung juga diperlukan untuk mencegah kehilangan panas melalui kepala dan ekstremitas. Dokter Faisal mengemukakan pentingnya menghindari penurunan suhu tubuh selama melakukan pendakian.
"Jika berkeringat sesuaikan pakaian dengan melepas atau menambah lapisan agar tidak terlalu panas atau dingin. Gunakan raincoat atau ponco saat hujan," katanya.
Selain itu, dia menyarankan para pendaki memastikan kebutuhan kalori tubuh tercukupi selama melakukan pendakian di daerah dengan suhu rendah. Makanan tinggi kalori seperti cokelat, kacang-kacangan, dan makanan berlemak dapat dikonsumsi untuk membantu tubuh menghasilkan panas.
La pun menyampaikan, para pendaki sebaiknya cukup minum air untuk menghindari dehidrasi serta tidak mengonsumsi minuman beralkohol dan berkafein yang bisa mempercepat hilangnya panas tubuh.
"Tetap bergerak untuk menjaga sirkulasi darah. Jika harus berhenti, cari tempat yang terlindung dari angin dan gunakan lapisan tambahan untuk mencegah kehilangan panas," katanya.
Langkah Pertolongan
Ia melanjutkan, gejala hipotermia bervariasi tergantung pada tingkat keparahannya. Gejala hipotermia ringan (suhu tubuh 32-35°C), menurut dia, antara lain tubuh menggigil, kulit pucat dan dingin, bicara melambat atau cadel, serta denyut jantung dan pernapasan sedikit meningkat.
Dokter yang juga berpraktik di Rumah Sakit Abdi Waluyo Jakarta itu menyampaikan, orang yang mengalami hipotermia ringan juga bisa mengalami kebingungan ringan dan kesulitan berkonsentrasi. Orang yang mengalami kondisi hipotermia sedang (suhu 28-32°C), menurut dia, menggigilnya bisa mulai berkurang atau berhenti karena tubuh kehilangan kemampuan menghasilkan panas.
Tanda kondisi hipotermia sedang lainnya adalah denyut nadi dan pernapasan melambat, kelemahan otot, koordinasi buruk, kesulitan berjalan, disorientasi, kebingungan, bicara tidak jelas, tidak responsif, dan menunjukkan perilaku aneh seperti melepas pakaian meskipun kedinginan.
Orang dengan kondisi hipotermia berat (suhu kurang dari 28°C), menurut dokter Faisal, biasanya tidak sadarkan diri dan mengalami gangguan irama jantung. "Pernapasan dan denyut jantung sangat lambat atau sulit dideteksi dan pupil melebar dan tidak bereaksi terhadap cahaya," serunya
Langkah pertama yang dapat dilakukan untuk menolong pendaki yang mengalami hipotermia yakni memindahkannya ke tempat yang lebih hangat dan terlindung dari angin, hujan, atau salju serta membantu menghangatkan kembali tubuhnya.
"Jika seseorang mengalami hipotermia saat mendaki gunung, langkah pertama yang harus dilakukan adalah segera menghentikan kehilangan panas dan membantu tubuhnya kembali hangat," kata dokter Faisal.
Jika ada tenda, lanjutnya, segera masukkan orang tersebut ke dalamnya. "Jika tidak ada tempat berlindung, buat penghalang dari tas atau benda lain untuk melindungi dari angin," ia menambahkan.
Kalau orang yang mengalami hipotermia pakaiannya basah, maka sebaiknya segera diganti dengan pakaian yang kering. "Kalau tidak ada baju ganti, bungkus tubuhnya dengan jaket atau sleeping bag," kata dokter Faisal.
Menurut dia, selimut darurat yang dapat membantu menahan panas tubuh dan kompres hangat bisa digunakan untuk menghangatkan kembali tubuh penderita hipotermia.
"Isi botol dengan air hangat dan letakkan di area ketiak, leher, atau selangkangan, tempat di mana pembuluh darah besar berada, agar panas lebih cepat menyebar," katanya.
Apabila orang yang mengalami hipotermia masih dalam keadaan sadar, ia melanjutkan, makanan tinggi kalori dan minuman hangat non-alkohol dan non-kafein bisa diberikan untuk membantu menghangatkan kembali tubuhnya.
"Minuman hangat seperti teh manis atau cokelat panas. Makanan tinggi kalori seperti cokelat atau kacang juga bisa membantu tubuh menghasilkan panas," katanya.
Setelah upaya untuk membantu menghangatkan kembali tubuh dilakukan, dokter Faisal menyarankan kondisi penderita hipotermia diperiksa, untuk mengetahui apakah suhu tubuhnya sudah kembali ke kisaran normal (36-37°C). Menurut dia, denyut jantung, tekanan darah, dan pernapasannya juga sebaiknya diperiksa.
"Hipotermia bisa menyebabkan gangguan ritme jantung (aritmia) dan tekanan darah rendah. Amati apakah ada tanda gangguan kognitif seperti kebingungan atau bicara tidak jelas, yang bisa menunjukkan cedera akibat dingin atau komplikasi lainnya," kata dia.
Ia menyampaikan resusitasi jantung dan paru-paru atau pijat jantung harus segera dilakukan kalau orang yang mengalami hipotermia sudah tidak merespons, bernapas sangat pelan, atau bahkan tidak bernapas. Dalam kondisi yang demikian, orang yang bersamanya harus berusaha secepat mungkin meminta pertolongan dari tenaga profesional.