25 Juni 2025
20:58 WIB
Warkop DKI, Aktivisme Di Jalan Komedi
Tak sekadar melucu, Dono, Kasino, dan Indro menggugat keadaan. Seperti banyak pemuda terpelajar pada masa itu, mereka memosisikan diri sebagai pelaku aktivisme, yang capai dengan situasi masa Orba.
Penulis: Andesta Herli Wijaya
Editor: Andesta Herli Wijaya
(kiri ke kanan) Kasino, Indro dan Dono dalam film Maju Kena Mundur Kena (1983). Sumber foto: YouTube/ Rumah Film Indonesia.
JAKARTA - Jika berbicara tentang Warkop DKI, hal pertama yang terbayang adalah komedi, humor, atau gelak tawa. Namun, jika diingat lagi lebih jauh, Warkop DKI juga adalah suara rakyat yang bergema pada masa pemerintahan otoriter Orde Baru (Orba).
Film-film Warkop DKI selalu kaya akan sentilan-sentilan sosial, politik, hingga yang menyasar pemerintahan. Hal ini langsung terbaca hanya dengan mencermati judul-judul film mereka, mulai dari Setan Kredit (1982), Pokoknya Beres (1984), hingga Bisa Naik Bisa Turun (1992).
Sentilan Warkop DKI bisa ditemukan pada berbagai sisi, mulai dari cerita, lagu-lagu yang dinyanyikan, hingga dialog-dialog Dono, Kasino, dan Indro yang beresonansi dengan realitas sosial masa itu.
Misalnya, salah satu kata-kata paling terkenal dari Kasino, "Memang begitu anak orang kaya, lagunya suka tengil. Kayak duit bapaknya halal aja" dalam film tahun 1980 bertajuk Gengsi Dong.
Di film lainnya, CHIPS (1983), trio Warkop mengkritisi budaya suap dan korupsi. Kasino sebagai petugas pelayan sosial swasta, memergoki atasannya sedang berduaan dengan perempuan muda di semak-semak. Si bos harus mengeluarkan uang untuk menutup mulut Kasino. Di film inilah, istilah 'jangkrik bos', ungkapan untuk meminta uang tutup mulut, kemudian lekat dengan Warkop DKI.
Muatan kritik dalam film-film Warkop DKI, meski dalam balutan komedi, adalah sesuatu yang lahir sebagai representasi keresahan pada zamannya.
Pada tahun 1970-an, dekade pertama Warkop DKI hadir di industri hiburan, masyarakat hidup dalam bayang-bayang otoritarianisme pemerintahan militer. Kehidupan rakyat sulit, korupsi dan kolusi di mana-mana, dan suara protes dibatasi.
Wakil Rakyat cenderung menjadi perpanjangan tangan Suharto, sehingga masyarakat tak punya pilihan selain bertahan dan diam. Kalangan pemuda, terutama kalangan terpelajar, menjadi pemberi warna, menghidupkan asa akan perubahan.
Para intelektual muda mencoba menggugat keadaan dengan mengkritik pemerintahan, budaya birokrasi yang penuh intrik, juga represi. Di tengah ancaman teror hingga pemenjaraan, komedi menjadi salah satu media populer bagi anak muda untuk menyampaikan kritik.
Sujoko dalam Perilaku Manusia Dalam Humor (1982) mengemukakan bahwa di Indonesia, kalangan mahasiswa di masa-masa itu gemar menggunakan humor sebagai sarana kritik sosial. Kritik yang disampaikan secara tertulis sering menimbulkan bencana, berbeda jika kritik disajikan dalam bentuk humor.
Protes sosial dalam humor tidak mungkin ditanggapi serius karena yang menyuarakan sama sekali tidak bertanggung jawab. Tanggung jawab dalam protes sosial berupa humor sudah diambil kolektif sehingga kolektifan lah yang bertanggung jawab.
Dono, Kasino, dan Indro berada dalam gelombang pemuda masa itu. Dono dan Kasino sebagai mahasiswa Fakultas Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia (UI), sedangkan Indro yang masih duduk di bangku SMA, menjadikan komedi sebagai media menyalurkan kritik. Tak hanya untuk pemerintah, namun juga kritik terhadap budaya dan praktik-praktik negatif yang berkembang di tengah-tengah masyarakat.
Aktivis Pilih Jalan Komedi
Indro, anggota termuda yang kini mewarisi nama besar Warkop DKI, bercerita kalau Dono dan Kasino sejatinya adalah aktivis mahasiswa. Perjalanan mereka dengan Warkop berawal pada tahun 1973.
Warkop mula-mula digawangi Kasino Hadiwibowo dan Nanu Moeljono, yang 'ditemukan' oleh produser Radio Prambors di acara perkemahan mahasiswa di Cibubur.
Indro menjelaskan bahwa perkemahan mahasiswa itu sejatinya adalah konsolidasi untuk demonstrasi anti Jepang dan anti pembangunan Taman Mini Indonesia Indah yang dicetuskan Ibu Negara, Tien Soeharto.
"Jadi, sebetulnya memang mereka Mas Dono dan Mas Kasino, waktu itu Mas Nanu juga, sebetulnya mereka aktivis. Ketika itu mereka dilihat oleh programer Radio Prambors yang kebetulan dia juga adalah aktivis KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia). Jadi memang mereka dari kalangan aktivis," ungkap Indro berbincang dengan Validnews di Jakarta, Minggu (26/6) lalu.
Kelucuan Kasino dan Nanu saat itu menarik perhatian produser radio yang juga alumni UI itu, hingga keduanya diminta untuk mengisi acara "Obrolan Santai Di Warung Kopi", bersama Rudy Badil yang di kemudian hari dikenal sebagai jurnalis.
Setahun acara itu berjalan, hingga kemudian Wahjoe Sardono alias Dono bergabung. Setelah itu, giliran Indro yang bernama lengkap Mahatkarta Indrodjojo Kusumonegoro bergabung pada 1976.
Dalam acara ini, Rudy Badil sering berperan sebagai Mr. James; Nanu sebagai Poltak; Indro sebagai Mastowi dari Tegal hingga Paijo dari Purbalingga; Kasino sebagai Mas Bei dari Jawa hingga Acong Tionghoa; serta Dono yang lebih melekat dengan karakter Slamet dari Jawa.
Warkop Prambors segera menjadi begitu populer di masyarakat. Obrolan dan sentilan-sentilan mereka yang jenaka dan relevan dinilai mengena terhadap apa yang dirasakan masyarakat.
Bagi banyak pendengar kala itu, Warkop menarik karena lucu. Namun, bagi sebagian kalangan terpelajar, Warkop menjadi perhatian karena kelincahan mereka membangun komedi bermuatan kritik.
Indro mengungkapkan, Dono, Nanu, dan Kasino banyak memengaruhi pemikirannya yang ketika itu masih duduk di bangku SMA. Selain juga dipengaruhi oleh situasi masa itu yang secara tidak langsung "menggembleng" anak muda untuk mengkritik atau bahkan berontak.
"Kritik-kritik Warkop itu dorongannya dari mereka itulah, Mas Dono, Mas Kasino. Kalau saya, karena masih anak SMA, ya awalnya cuma senang aja karena diajak gabung. Bukannya karena memang pas visi saya dengan Mas Dono dan Mas Kasino sama, tapi ya situasinya waktu itu begitu, membuat anak muda seperti punya kegelisahan bersama, itu masa otoriter kan, banyak yang hilang," kenang Indro.
Setelah beberapa tahun menghibur di radio, Warkop mulai banyak mendapat tawaran lawakan panggung, tur, hingga kemudian muncul di layar lebar pertama kali pada 1980, lewat film Mana Tahaan, diarahkan oleh sutradara Nawi Ismail.
Di film pertama ini, Dono, Kasino, Indro, dan Nanu tampil memerankan karakter yang merujuk peran mereka di radio, yaitu Slamet, Sanwani, Paijo, dan Poltak. Barulah pada film kedua, Gengsi Dong, mereka tampil memakai nama masing-masing. Sejak film kedua ini pula, Nanu absen. Kemudian, Warkop resmi menjadi trio Dono, Kasino, dan Indro.
Dari situ, nama Warkop DKI makin populer ke seantero Indonesia. Puluhan film kemudian dibuat, berikut serial televisi Warkop DKI dan Warkop Milenium di periode akhir 1990-an hingga 2000-an. Pada era yang lebih baru, masyarakat mengenal Warkop DKI lewat sejumlah film, termasuk seri film Warkop DKI Reborn yang diproduksi Falcon Pictures.
Film-film Warkop DKI memiliki karakter jenaka yang berbeda dengan sajian-sajian komedi lain pada masanya. Film-film mereka konsisten menyampaikan kritik sosial lewat cerita, lelucon, hingga lagu-lagu yang dinyanyikan dalam film. Kritik-kritik tersebut menyasar berbagai soal, mulai sindiran tentang militerisasi, maraknya gelar sarjana asing, fenomena penampilan "malaikat" tapi kelakuan jahat, dan banyak lagi.
Nyentil, Tapi Bukan Mau Usil
Warkop DKI terkenal dengan tagline, "tertawalah, sebelum tertawa itu dilarang". Kalimat itu jelas menggambarkan suasana represi pada masa Warkop DKI lahir dan berkembang menjadi populer. Selain itu, pemilihan nama Warkop yang berarti Warung Kopi juga berhubungan kuat dengan konteks zamannya.
Indro menjelaskan, nama Warkop dipilih karena para anggota Warkop ketika itu merasa bahwa hanya di warung kopi sajalah, semua orang bisa bebas berbicara. Pada masa represi, orang-orang tak bisa asal bicara di sebarang tempat, karena "tembok pun bisa mendengar".
"Mereka menganggap hanya di warung kopi itu ada demokrasi. Di negara ini nggak ada demokrasi. Kalau di warung kopi, orang berdebat itu biasa, nggak berantam, nggak pakai dilarang-larang," tutur Indro.
"Terus, di luar itu tertawa susah banget. Maka muncullah tagline 'tertawalah sebelum tertawa itu dilarang'. Karena kita hanya tertawa, kenapa harus dianggap berbahaya?" imbuhnya.
Warkop juga punya lagu yang ikonik, yaitu "Obrolan Warkop" atau dikenal juga dengan judul "Ngobrol Di Warung Kopi". Lagu yang menjadi bagian dari album Warkop Prambors berjudul Pingin Melek Hukum (1983) ini menjelaskan bagaimana warung kopi menjadi ruang paling merdeka di tengah rezim otoriter.
"...Nyentil sana dan sini/sekadar suara rakyat kecil/ bukannya mau usil," begitu dinyanyikan Dono, Kasino, dan Indro.
Indro menjelaskan, kesadaran akan situasi pemerintahan dan sosial ketika itu, menjadi perhatian bagi dirinya, Dono, dan Kasino. Keresahan mereka tuangkan ke dalam film dengan kesadaran bahwa mereka memiliki ruang untuk menyampaikan suara rakyat, yaitu lewat komedi, lewat sentilan, ataupun cerita yang disajikan di film.
Indro menekankan, meski kental akan kritik, sentilan-sentilan Warkop DKI bukan sekadar sentilan sakit hati. Ada riset yang dilakukan untuk melahirkan sentilan-sentilan tersebut. Bahkan, Warkop didukung oleh banyak "kontributor ide", utamanya berasal dari mahasiswa dan para aktivis yang dekat dengan mereka.
Menurut Indro, sentillan-sentilan Warkop DKI adalah sentilan yang tak menyinggung orang lain secara langsung. Mereka tak menyentil secara verbal, namun dengan "jurus" satire. Warkop DKI tak pernah menyebut nama, namun para penonton tahu apa atau siapa yang sedang mereka parodikan atau bicarakan.
"Sentilan-sentilan kita, itu amat sangat dipertimbangkan. Ini saya ambil kesimpulan ya, setelah saya pikirkan lagi ya. Bahan-bahan kita itu dulu salah satunya dari kontributor, itu adalah para aktivis di luar sana," ujar Indro.
Sebagai grup lawak, Warkop DKI berkomitmen menepatkan diri sebagai penyampai suara rakyat. Kritik adalah sah, kata Indro, itu adalah ranahnya rakyat. Terlebih, mereka menyadari, sebagai entitas komersial, Warkop DKI dihidupkan oleh masyarakat, karena itu pula, mereka harus berdiri di sisi "rakyat".
"Yang kasih kami kerjaan ya rakyat. Gila aja, rakyat yang kasih kita makan, masa kita tidak bersuara untuk mereka," ucapnya.
Menurut Indro lagi, kritik Warkop DKI di film-film sejatinya lebih sedikit dibandingkan kritik mereka saat di panggung atau radio. Kritik yang ditampilkan di film-film itu hanyalah kritik umum dan ringan, menurut Indro. Itu berbeda dengan kritik-kritik mereka di panggung, yang umumnya bisa lebih tajam dan menjurus ke pihak atau lembaga tertentu.
Misalnya, di panggung, Indro bersama dua seniornya bisa membuat lelucon tentang militer. Mereka bercerita soal adanya mumi dari masa yang jauh yang ditemukan di suatu negara, namun tak ada satupun ahli dari penjuru dunia yang mampu mengungkap usia dan asal mumi tersebut.
Sampai tiba saatnya mumi itu dibawa ke Indonesia untuk diteliti. Tak butuh waktu lama, Indonesia bisa mengungkap semua data asal-usul mumi tersebut. Dunia tercengang, bagaimana ahli Indonesia bisa sehebat itu?
Ternyata, mumi itu dibawa ke Kopkamtib, Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban bentukan Orde Baru.
"Sampai ke gerbang saja, itu mumi sudah mengaku semuanya karena kepalang ketakutan," Indro menjelaskan letak satir pada cerita tersebut.
"Riset kita waktu itu, memang kalau film, film nasional itu miliknya kalangan menengah ke bawah. Nah, strateginya, kita nggak ingin membebani dengan kritik yang berat-berat, atau justru menimbulkan keresahan. Jadi kritik kita di film itu cuma auto kritik sebenarnya. Yang lebih kuatnya paling gila ya di panggung sama radio," tuturnya.

"Musuh" Pemerintah
Jika di jalanan ada sosok Soe Hoek Gie dan para aktivis lainnya yang menjadi "musuh pemerintah", di layar lebar dan panggung-panggung pertunjukan ada Warkop DKI. Karenanya, Dono, Kasino, dan Indro juga harus mengalami masa berkiprah di bawah bayang-bayang ancaman.
Indro mengatakan, ancaman pembunuhan atau ditakut-takuti saat akan manggung, itu sudah biasa bagi trio Warkop. Mereka tak sedikit pun takut karena yakin telah bertindak "aman". Bagaimanapun, materi-materi komedi mereka tak menyinggung nama tertentu secara spesifik.
"Dulu kan Warkop memang galaknya minta ampun ya, pokoknya nggak suka-lah pemerintah. Tapi kita komitmen, kita harus berani, kita harus bawa suara rakyat," ujar Indro.
Warkop DKI pernah masuk dalam daftar pihak yang diawasi pemerintah, menurut Indro. Nama mereka ada dalam "map kuning" di markas militer, berdasarkan informasi yang dibocorkan oleh seorang tentara kepada Indro dan kawan-kawan. Menurut Indro, map kuning mungkin menunjukkan tingkat ancaman "sedang" bagi ketertiban versi pemerintah, sehingga diawasi.
"Saya nggak tahu ya. Mungkin kalau map merah, itu orang-orang yang hilang itu," ucap Indro.
Ancaman paling serius menurut Indro justru bukan ancaman terkait keselamatan atau dari pihak militer, melainkan ancaman dalam bentuk uang. Pada tahun 80-an, Warkop DKI pernah ditawari oleh salah satu kelompok golongan terbesar di masa itu dengan uang Rp1 miliar, untuk manggung dalam tur kampanye keliling Indonesia.
Tawaran manggung justru dimaknai teror oleh trio warkop, mengingat posisi mereka ketika itu adalah "musuh" kelompok kuat dan berkuasa. Mengambil tawaran itu bisa bermakna langkah tunduk terhadap pihak-pihak tersebut.
"Ini teror terbesar menurut saya, Rp1 miliar untuk satu bulan keliling kampanye, waduh gila itu. Kalau ancaman mau dibunuh, surat kaleng, surat pakai cap tangan darah, wah yang begitu banyak banget," cerita Indro.
Indro bersama Dono dan Kasino bertahan di tengah berbagai ancaman era Orde Baru itu dengan keyakinan bahwa kritik adalah salah satu marwahnya Warkop DKI. Dalam konteks itu, mereka merasa harus berguna bagi bangsa ini, menjadi corong suara rakyat yang harus didengar oleh negara. Keyakinan itu dipegang hingga akhir, hingga Kasino berpulang pada 1997, kemudian menyusul Dono pada 2001, dan juga hingga kini ketika hanya Indro sendiri yang melanjutkan Warkop DKI.
Moral Warkop DKI
Menurut Indro, Warkop DKI bisa begitu karena para anggotanya adalah orang-orang yang hidup dengan berkesadaran baik. Indro mengaku belajar banyak dari Dono dan Kasino yang memang secara usia lebih tua darinya.
"Mereka itu (Dono dan Kasino) seniman yang masih mempertahankan moral mereka. Kita bisa saja bikin banyak film supaya untung gede, tapi coba lihat, film kita paling banyak hanya dua dalam setahun. Itu karena kita berpegang pada moral tadi, bahwa kita adalah seniman, kita bukan orang yang serakah," kata Indro.
"Bahkan kita itu punya satu pemikiran. Bahwa kita ingin menjadi seniman yang hidup dengan apa yang ada. Memang ada kesadaran begitu, kita nggak mau serakah. Kalau kita kejar terus misalnya sisi komersial ini, kita jadi serakah, terus apa gunanya kita mengkritik orang-orang di lingkaran penguasa ketika itu," ujarnya lagi.
"Aktivis 98"
Sikap kritis para personil Warkop DKI pada akhirnya membuat mereka dicatat sebagai salah satu grup lawak paling menonjol di Indonesia. Tak banyak yang tahu kalau di balik sentilan-sentilan jenaka Warkop DKI, ada sosok manusia-manusia yang memang spritualis, sangat peka, serta cerdas.
Terutama sosok Dono, yang diketahui juga pernah menjadi dosen di almamaternya. Dia juga banyak menulis opini di berbagai media. Dono adalah anggota Warkop yang terbilang paling aktif mengamati, mengkritisi, dan ikut dalam gerakan masyarakat di masa Orba.
Tak banyak pula yang tahu bahwa Dono sejatinya salah satu sosok penting di sekitar peristiwa demonstrasi mahasiswa tahun 1998. Indro mengungkapkan kalau Dono berperan penting dalam aksi mahasiswa yang menduduki Gedung DPR-MPR ketika itu dan kemudian menggulingkan Soeharto.
"Mas Dono itu adalah satu-satunya alumni yang dipercaya oleh mahasiswa untuk mengatur, siapa-siapa saja yang boleh maju dan berorasi. Kan semua orang ingin maju ya, nah, itu lewat Mas Dono," ungkap Indro.
Dono seharusnya dicatat sebagai salah satu aktivis dalam gelombang demonstrasi penggulingan Soeharto tahun 1998.
"Dia ada dalam rapat-rapat penting masa itu. Sebagai pribadi ya, dia menekankan itu kepada kami. Bahwa keterlibatan dirinya memang tidak membawa nama Warkop," jelas Indro.