21 Agustus 2025
20:05 WIB
Usulan Penambahan Gerbong Khusus Merokok, Sembrono
Di tengah upaya untuk menekan angka perokok aktif, muncul usulan penambahan gerbong khusus merokok di rangkatan kereta jarak jauh.
Penulis: Gemma Fitri Purbaya
Penumpang menunggu kedatangan kereta api di Stasiun Surabaya Gubeng, Surabaya, Jawa Timur, Senin (3/ 3/2025). AntaraFoto/Didik Suhartono
JAKARTA - Belakangan ini ramai diperbincangkan mengenai usulan anggota DPR Nasim Khan agar PT KAI menyediakan gerbong khusus merokok di kereta jarak jauh. Nasim berargumen kalau gerbong rokok akan lebih menguntungkan dan bermanfaat.
Padahal saat ini Indonesia tengah krisis kesehatan akibat rokok dan berupaya membangun transportasi publik yang sehat dan modern. Ketua Indonesian Youth Council for Tactical Changes (IYCTC), Manik Marganamahendra menilai, usulan tersebut sebagai salah satu ide paling sembrono.
"Usulan gerbong khusus merokok di kereta adalah kemunduran kebijakan. Merokok di ruang publik melanggar hak dasar atas udara bersih. Alih-alih memberi ruang untuk merokok, pemerintah seharusnya memperkuat layanan berhenti merokok dan melindungi transportasi publik sebagai kawasan tanpa rokok," tegas Manik dalam keterangan tertulisnya.
Manik menekankan, seharusnya pejabat publik belajar dari tragedi yang pernah ada. Pada 1973 misalnya, pesawat Varig 820 jatuh karena puntung rokok dan menewaskan 123 orang. Semenjak itu, dunia pun melarang rokok di penerbangan.
Tahun ini, publik juga sempat dikejutkan dengan kasus penumpang yang nge-vape di kabin pesawat Garuda hingga meresahkan penumpang lain. Kasus serupa turut ditemui di peron stasiun, di mana masih banyak aktivitas merokok di area peron dan membuat partikulat rokok menempel di baju penumpang lain, termasuk anak-anak dan lansia.
"Membiarkan rokok di ruang transportasi umum adalah bom waktu. Sejarah sudah membuktikan bahwa tragedi bisa terjadi hanya karena puntung rokok. Kerugian ekonomi yang ditimbulkan oleh konsumsi rokok di Indonesia sudah sangat nyata. Oleh karena itu, menambah gerbong khusus untuk merokok di kereta hanya akan menambah beban negara, bukan memberikan keuntungan," lanjut Manik.
Selain itu dari sisi operasional, penambahan gerbong khusus rokok akan menambah beban biaya bagi KAI. Apalagi membersihkan residu asap dan puntung rokok di ruang tertutup bukan pekerjaan sederhana. Kursi, dinding, lantai, sampai sistem pendingin harus disterilisasi rutin.
Biaya perawatan yang naik, umur peralatan menjadi lebih pendek, dan KAI harus mengeluarkan anggaran tambahan hanya untuk melayani mereka yang adiksi terhadap rokok, bukan pelayanan publik. Imbasnya, beban ini bisa berujung pada penumpang melalui kenaikan tarif atau ke negara lewat subsidi.
Sementara dari sisi lingkungan, rokok adalah penyumbang emisi karbon dan limbah puntung beracun yang mencemari tanah dan air. Dari sisi keselamatan, asap bisa memicu kebakaran dan gangguan sistem ventilasi kereta.
Tidak hanya itu, dari sisi kesehatan ancaman thirdhand smoke tetap berbahaya bahkan setelah penumpang turun. Ini juga mencederai hak anak, lansia, dan penumpang rentan atas transportasi yang aman dan nyaman.
"Transportasi publik harusnya mencerminkan kepentingan masyarakat, bukan sebaliknya. Itu hanya sekadar mengakomodasi adiksi, bukan kebutuhan rakyat. DPR seharusnya tidak membandingkan layanan yang mendorong produktivitas dengan layanan yang memperparah ketergantungan," tutup Pengurus Harian IYCTC, Nalsali Ginting.