05 September 2022
20:57 WIB
Penulis: Andesta Herli Wijaya
Editor: Rendi Widodo
JAKARTA - Karya seni rupa bagi sebagian kalangan adalah juga perwujudan respon langsung atas realitas sosial dan budaya di sekelilingnya. Banyak seniman yang mencoba membicarakan suatu persoalan, mengkritik realitas sosial bahkan politik dan pemerintahan lewat karya-karyanya.
Fenomena karya sebagai ‘perlawanan’ telah menjadi bagian dari perkembangan seni rupa di tanah air sejak lama. Seni rupa yang membawa fungsi kritik itu ikut membentuk wajah seni rupa Indonesia dari masa ke masa.
Namun, karya seni rupa juga tidak harus melulu membicarakan realitas yang spesifik. Bagi sebagian kalangan, seni rupa lebih diposisikan sebagai media ekspresi artistik tanpa harus memuat wacana sosial-politik tertentu. Dalam hal ini, seni rupa hadir sebagai hasil penjelajahan kreatif untuk menghadirkan keindahan dengan cara-cara yang baru.
Tulus Warsito adalah salah satu yang berada dalam arus itu. Sebagai seniman yang juga akademisi doktor ilmu politik, ia tentunya memiliki pemahaman sosial dan politik yang mendalam. Namun, hal itu tidak membuatnya lantas menjadikan karya sebagai ‘kendaraan’ untuk merespon realitas politik.
Alih-alih merujuk ke ‘luar’, Tulus lebih terobsesi untuk menyelam ke dalam seni rupa itu sendiri. Karya-karyanya tidak berusaha merespon sesuatu di luar dirinya, namun memperlihatkan penggalian estetika yang khusuk, menghadirkan bentuk-bentuk yang mengundang ketertarikan secara visual.
Bagi Tulus, seni rupa terlalu terbatas untuk membicarakan realitas politik yang kompleks.
“Seni rupa saya, saya batasi tidak masuk ke politik. Kalau untuk berbicara politik, saya bisa kemana mana. Kalau ada isu politik saya mendingan menulis atau berdiskusi di seminar. Saya pingin ini murni berseni rupa saja. Bagaimana menjaga agar tidak tergoda untuk memanfaatkan seni untuk kendaraan politik,” ungkap Tulus ditemui di Galeri Nasional Indonesia, beberapa waktu lalu.
Ya, selain melukis dan bergiat di lingkungan akademis, tulus juga dikenal aktif menulis, baik artikel lepas maupun buku. Hingga saat ini, Tulus sudah menerbitkan sekitar 20-an buku yang memuat pemikiran-pemikirannya di bidang sosial dan politik.
Tulus mengatakan tujuannya menekuni seni rupa semata adalah untuk kegembiraan hati, baik bagi dirinya sendiri maupun publik yang menikmati karya-karyanya. Meski terdengar sederhana, nyatanya karya-karya Tulus tidak sederhana, dan memperlihatkan penjelajahan artistik yang kuat dengan gagasan-gagasan visual yang selalu segar.
Terlihat misalnya dalam karya-karya terbaru Tulus yang dipamerkan di Galeri Nasional Indonesia. Pameran sebulan penuh, mulai 23 Agustus hingga 23 September 2022 ini adalah pameran tunggal Tulus, dengan tajuk “Dimensions”.
Karya-karya Tulus banyak mengeksplorasi kemungkinan ruang-ruang dimensional yang bisa terbentuk dari permainan warna, serta permainan garis dengan bayang-bayang yang dihadirkan. Seolah ada wujud tiga dimensional, namun sebenarnya hanyalah lukisan (dua dimensi).
Tema Dimensions pada pameran ini menegaskan bahwa apa yang digauli Tulus adalah berbagai dimensi rupa, tidak hanya dua dimensional. melainkan juga berbagai ‘lapis’ dimensi yang lain seperti kedalaman, perspektif, matra-warna, geometrika, maupun ilusi optik lainnya.
Tulus lewat karya-karyanya, memainkan logika yang saling bertabrakan; antara yang datar (flat) dengan citra ruang ilusif; sapuan-sapuan ekspresif hingga lapis-lapis ruang yang dihasilkan oleh garis-garis yang membekaskan bayangan.
Bagi Tulus, melukis merupakan laku yang membebaskan. Ia tak ingin dibebani dengan wacana realitas tertentu, namun bermain di antara realitas dengan imajinasi, mentransformasikan kenyataan menjadi realitas yang lain lewat berbagai usaha penggalian estetika atau bentuk.
Tulus memilih fokus dengan penjelajahan rupa, bukan pada tataran wacana di luar karya. Apalagi memadankan teks politik ke dalam karya seni rupa yang baik, menurutnya bukanlah sesuatu yang mudah untuk dilakukan.
Tak sedikit, menurut Tulus, karya-karya seni rupa yang mencoba berpolitik, tapi luput menghadirkan kualitas seni rupa yang layak.
Meski begitu, Tulus selalu berpegang pada nilai “kebebasan”. Karena itu, ia pun tak menyalahkan seniman-seniman lainnya yang membawa isu politik ke dalam karya mereka.
“Boleh saja seni rupa berbicara tentang realitas politik. Tetapi yang mau saya katakan adalah bahwa tidak semua seni rupa yang membawa wacana politik itu baik dalam hal rupa maupun dalam hal politik. Tapi ada juga yang baik, ada juga yang enggak.” Tutur Tulus.
“Jadi berpolitik yang baik dalam seni rupa itu nggak mudah menurut saya. Apalagi berpolitik dan menyampaikannya dalam konteks kerupaan yang baik,” pungkasnya.