c

Selamat

Minggu, 16 November 2025

KULTURA

19 Juni 2023

15:08 WIB

“The (Famous) Jung Jung-Te Jung Dance”, Menceritakan Sejarah Tari Igel

Tak seperti pementasan tari biasanya, “The (Famous) Jung Jung-Te Jung Dance” yang menceritakan sejarah tari Igel dibawakan secara atraktif di Teater Salihara.

Penulis: Andesta Herli Wijaya

Editor: Satrio Wicaksono

“The (Famous) Jung Jung-Te Jung Dance”, Menceritakan Sejarah Tari Igel
“The (Famous) Jung Jung-Te Jung Dance”, Menceritakan Sejarah Tari Igel
Pertunjukan karya “The (Famous) Jung Jung-Te Jung Dance”, dalam rangkaian Helatari 2023 di Teater Salihara, Jakarta, Jumat (16/6). Dok: Validnews/ Andesta.

JAKARTA - Seniman pertunjukan asal Bali, Wayan Sumahardika memboyong proyek pertunjukan terbarunya, “The (Famous) Jung Jung-Te Jung Dance” ke Jakarta. Karya ini ditampilkan dalam rangkaian Helatari 2023 yang digelar Komunitas Salihara Juni ini.

Jacko Kaneko, Tri Ray Dewantara dan Wayan Agus Wiratama merupakan tiga penampil dalam pertunjukan ini. Dengan busana khas penari Bali, mereka dengan piawai menari dalam gestur jongkok, bergerak gemulai sembari sesekali berdialog untuk penonton.

Layar di belakang panggung menampilkan video hitam putih, arsip tari Igel Jongkok dari awal abad ke-20 silam. Video dari Arsip Bali 1928, menampilkan maestro tari Bali I Wayan Sampih, dengan iringi Gong Peliatan, membawakan gerakan tari Igel Jongkok karya gurunya, I Ketut Marya.

Tari Igel Jongkok yang menjadi nyawa pertunjukan “The (Famous) Jung Jung-Te Dance” adalah tari tradisional di Bali. Tari ini lebih dikenal dengan nama Kebyar Duduk, untuk menunjukkan ciri khas gerakan dalam tari.

Wayan Sumahardika atau akrab disapa Suma, mengatakan bahwa “The (Famous) Jung Jung-Te Dance” adalah sebuah upaya pembacaan dan pemaknaan atas tari Igel Jongkok karya I Ketut Marya (lebih dikenal dengan nama dalam penyebutan gaya Barat, Mario).

Sosok Mario dianggap sebagai salah satu penari paling penting di Bali, yang aktif berkarya di era kolonial silam. Mario adalah seorang pembaharu, yang memulai ‘tradisi’ kreasi tari di zamannya, ketika para seniman segenerasinya masih terpaku pada tari-tari tradisional yang berorientasi pada ritual.

“Mario itu adalah sosok yang monumental di zamannya. Tapi tidak banyak orang yang tahu sejarah Mario seperti apa. Itu yang mendorong saya ingin memperkenalkan Mario dan Igel Jongkok. Karena sebenarnya ada yang hilang tentang karya ini, yaitu narasi yang hadir di balik itu apa, semangatnya apa,” ungkap Suma saat ditemui di Teater Salihara, Jakarta Selatan, Jumat (17/6).

Judul karya, ‘Jung Jung-Te Jung’ sendiri adalah sebuah penyingkapan sejarah. Tari Igel Jongkok sempat dinamakan ‘Jung Jung-Te Jung’ oleh masyarakat. Pada era 1960-an, berkat banyaknya interaksi karya ini dengan para pelancong Barat, karya tari ini mulai diidentifikasi secara luas dengan nama ‘Kebyar Duduk’.

Lewat pilihan judul itu,  Suma ingin menunjukkan bagaimana masyarakat di Bali lazimnya merespons tari, dengan memberi penamaan-penamaan yang khas.

“Di masyarakat, tari lazim dinamakan berdasarkan bunyi-bunyi gamelannya, misalnya. Kemudian kan karena berkembangnya zaman, ada hal-hal yang lambat laun jadi berubah, termasuk dalam konteks penamaan,” ucapnya.

Untuk menyingkap sisi kesejarahan Igel Jongkok lebih jauh, Suma bertolak pada Arsip Bali 1928 dan sejumlah literatur lainnya tentang tari ini. Kemudian, Suma meramu hasil risetnya dalam bentuk karya tari yang cair dan memadukan berbagai disiplin seni.

Penonton melihat ketiga penari meniru secara persis gerakan di video arsip tarian Sampih, namun tidak penuh karena ada juga pelambatan gerakan. Para pemain juga banyak mengambil jeda untuk menyampaikan dialog yang menjelaskan tentang tari Igel Jongkok, mulai soal pola geraknya hingga sejarah tari ini dari masa penciptaannya hingga perkembangannya dalam masyarakat bali dari era ke era.

“Konteks kami ingin mempercakapkan tari ini dan arsipnya. Ada jeda, ada pelambatan, itu untuk penonton bisa melihat tari ini secara lebih detail, agar kita mudah mengidentifikasi struktur Igel Jongkok ini,” tutur Suma.

Para penari bahkan sempat berdialog langsung dengan penonton, mengajak penonton untuk mencoba gerakan tari jongkok tersebut. Sayang, tak ada penonton berani mencoba naik ke atas panggung. Para penonton tampaknya paham, betapa sulit menggerakkan badan dalam posisi seperti itu.

Tapi itu tak menjadi soal karena para seniman pertunjukan sudah terbiasa untuk beradaptasi dengan situasi pemanggungan. Pertunjukan terus berlanjut dengan para penari yang bergerak lincah, sembari kadang-kadang mengambil jeda, menjelaskan tentang gerakan, dan memaknai bentuk-bentuk gerakan di dalam 

Pemanggungan yang Segar
 Sekitar satu jam, pertunjukan “The (Famous) Jung Jung-Te Jung Dance” menyuguhkan sesuatu yang sangat segar. Sebagai karya tari, pertunjukan ini tidak sepenuhnya dibangun oleh koreografi, tapi juga oleh unsur teater dan yang diperkaya dengan eksplorasi teknologi digital.

Tapi yang lebih menonjol adalah dalam aspek pemanggungan yang berbeda. Karya ini tak terasa sebagai pertunjukan, tapi seperti sebuah presentasi tari dalam suatu ruang workshop. Tak ada lagi batas tegas antara pertunjukan dengan laku menonton, karena penonton menjadi bagian dari pertunjukan tersebut.

Wayan Sumahardika lewat karya ini menampilkan pertunjukan tipikal seni kontemporer, yang semakin ke sini semakin menipiskan batas antar disiplin seni, serta melipat jarak antara penampil dan penonton.

Menurut Suma, gaya pemanggungan seperti itu dipilih demi bisa menyampaikan narasi dengan lebih baik kepada penonton. Lewat dialog-dialog, para penari bisa menjelaskan banyak hal. Misalnya, tafsir atas gerakan tangan penari igel Jongkok yang membentang dan meliuk-liuk.

Gerakan itu, diimajinasikan sebagai nyiur yang melambai disapu angin. Semua tahu, pemandangan yang sejuk dan bernuansa romantis seperti itu sangat identik dengan alam Bali.

Dalam hal ini Suma dan para penari sedang memberi pembacaan, mengenai kemungkinan-kemungkinan sumber inspirasi Mario dalam menciptakan tari Igel Jongkok.

“Tentu perkenalannya dengan tidak menarikan secara gamblang saja. ya. Kemudian alih-alih hanya ingin menunjukkan tarian Igel jongkok, justru saya ingin memberikan pembacaan atas Igel Jongkok, itu apa sih. Tari tidak lahir dari ruang kosong, pasti ada konteks alam dan zaman yang mendasarinya,” terang Suma.

Lebih jauh, lewat karya “The (Famous) Jung Jung-Te Jung Dance”, Suma juga mengetengahkan pembacaan atas laku jongkok yang sejatinya lekat dengan keseharian masyarakat di Bali, dari era kerajaan yang jauh hingga era sekarang ini.

Jongkok adalah laku yang identik dengan penghormatan, ketakziman pada raja-raja. Pada masa kolonial, jongkok malah memiliki citra yaitu ketundukan yang bernada muram. Tapi di luar itu, jongkok juga adalah laku dalam berbagai aktivitas keseharian, semisal dalam peribadatan, bahkan jongkok juga adalah laku yang lazim saat orang menyantap makanan.

“Jadi jongkok dalam konteks Bali, pada titik tertentu itu jadi sangat beragam pemaknaannya. Itu saya curigai bahwa karena itu pula Mario menciptakan tari Igel Jongkok ini jadi sangat cair ya,” ucap Suma.

Lewat pertunjukan ini, Suma berharap bisa memantik pembicaraan secara kritis atas tari Igel Jongkok. Ia berharap, masyarakat mengenal tari ini tidak sebagai karya tari monumental saja, tapi juga mengenalnya sebagai bentuk ekspresi artistik yang menandai konteks zaman ketika tari ini diciptakan.

Tari Igel merupakan pengembangan dari proyek pertunjukan “The Famous Squatting Dance” oleh Mulawali Performance Forum. Karya tari ini ditampilkan untuk publik pada Sabtu dan Minggu, 17 dan 18 Juni 2023, di Teater Salihara, Jakarta.

 


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar