03 Mei 2025
14:14 WIB
Teman Tuli Menyuarakan Pembebasan Lewat Seni Di Momen Hari Pendidikan
Dunia pendidikan hingga masyarakat belum sepenuhnya menerima eksistensi teman tuli. Banyak di antara mereka masih menghadapi diskriminasi.
Penulis: Andesta Herli Wijaya
Komunitas Fantasi Tuli menampilkan pertunjukan teater musikal untuk merayakan Hari Pendidikan Nasional di Sunyi Coffee, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Jumat (2/5). Dok: Validnews/ Andesta.
JAKARTA – Komunitas tuli atau disebut teman tuli di Jakarta berkumpul untuk merayakan Hari Pendidikan Nasional 2025. Mereka memenuhi ruang temu di Sunyi Coffee di bilangan Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, pada Jumat (2/5) malam untuk menyaksikan pertunjukan musikal tuli oleh kelompok Fantasi Tuli.
Dimulai sekira pukul 20.30 WIB, pertunjukan musikal Fantasi Tuli menyajikan kembali karya musikal Senandung Senyap yang pernah mereka pentaskan sebelumnya dalam Festival Musikal Indonesia 2024. Namun kali ini dalam bentuk fragmen-fragmen, dengan berbagai penyesuaian dan pengembangan aspek penceritaan hingga set panggung.
Mula-mula lima teman tuli masuk ke panggung, berinteraksi satu sama lain. Tentu saja mereka tak berbicara, melainkan menggunakan bahasa isyarat. Pembicaraan mereka disuarakan oleh rekaman audio yang diputar sepanjang pertunjukan tersebut.
Salah satu pemain menyuarakan keresahannya sebagai seorang tuli. Hidupnya penuh tantangan karena selalu dituntut hidup dengan cara orang-orang kebanyakan. Sebagai orang tuli, dia harus belajar bicara dalam bahasa isyarat, lengkap dengan gestur yang bisa dipahami orang-orang yang bisa bicara dan mendengar. Sementara, orang-orang kebanyakan tak pernah dituntut untuk bisa memahami dunia orang tuli.
Lalu pemain lainnya melanjutkan bercerita tentang angan atau mimpi-mimpinya. Mimpi bisa bernyanyi dalam bahasa tuli, namun tetap bisa dinikmati oleh banyak orang.
Satu persatu adegan pun bergulir dengan diselingi tarian dan nyanyian yang disuarakan lewat audio panggung. Cerita bergeser ke berbagai topik. Pemain semakin banyak masuk ke dalam panggung untuk ikut bercerita. Mereka tampak fasih mengikuti ritme suara ataupun musik yang diperdengarkan, menandai matangnya proses latihan yang sudah dijalani.
Pertunjukan ini juga menyoal tentang sistem pendidikan untuk orang-orang tuli yang dianggap kurang memadai, baik di Sekolah Luar Biasa maupun sekolah-sekolah umum. Pertunjukan ini menyampaikan kritik tentang sistem pendidikan yang dianggap masih belum mengakomodir kebutuhan tuli, bahkan mendiskriminasi atau meremehkan kemampuan tuli untuk menyerap pelajaran.
Di sekolah, mereka banyak diajarkan pengetahuan-pengetahuan praktis, seperti menjahit hingga membuat kriya, yang mengindikasikan kalau sistem pendidikan hanya hendak memastikan para tuli bisa bekerja setelah sekolah. Padahal, menurut teman-teman tuli, mereka juga ingin dan mampu mempelajari ilmu teori, seperti kimia bahkan fisika.
Kritik teman tuli akhirnya ditutup dengan sebuah pernyataan penting, yang disampaikan lewat tuturan, tarian dan nyanyian mereka. Bahwa semua sama, orang-orang tuli dan orang-orang yang bisa berbicara dan mendengar—disebut orang dengar, sama-sama bisa berprestasi dalam berbagai hal. Mereka bisa sama-sama cakap.
Tuntutannya, mereka semestinya diposisikan dan diperlakukan dengan adil di lingkungan pendidikan, keluarga hingga lingkup sosial mereka. Sudah semestinya orang tuli tak ditekan stigma yang kerapkali memupus peluang mereka untuk tumbuh dan berkembang.
Pertunjukan pendek berdurasi 25 menit itu ditutup dengan tepuk tangan meriah oleh para penonton yang didominasi teman tuli. Tentunya bukan tepuk tangan orang-orang kebanyakan, melainkan tepuk tangan dalam bahasa isyarat. Tepuk tangan sunyi, namun entah mengapa terasa begitu riuh.
Sutradara Fantasi Tuli, Helga Theresia Manullang mengatakan, pertunjukan menjadi pernyataan kuat dari teman tuli bahwa mereka sejatinya berdaya. Ada banyak hal yang perlu didorong agar berubah, termasuk di antaranya mengubah pandangan umum tentang teman tuli yang kerap kali tak positif, bahkan diskriminatif. Di samping juga mereka menyoroti pentingnya dunia pendidikan mengakomodasi teman tuli.
“Ada beberapa isu yang kita angkat. Contoh, kita bahas tentang SLB, sistem pendidikan dan lain-lain. Misinya adalah karena pendidikan tuli di Indonesia itu masih sangat minim untuk diajarkan bahasa isyarat Indonesia,” ungkap Theresia ditemui usai pertunjukan.
“Lalu juga soal penerimaan masyarakat, bagaimana mereka didiskriminasi di masyarakat, dianggap bodoh, padahal mereka ketinggalan aja informasi sejak kecil,” imbuhnya lagi.
Pertunjukan ini menjadi bagian dari rangkaian kegiatan teman tuli untuk merayakan Hari Pendidikan Nasional. Sebelum pementasan fragmen musikal Senandung Senyap, mereka juga menggelar workshop bahasa isyarat serta workshop seni. Ada pula sesi wicara yang menghadirkan seniman tuli dan seniman dengar untuk berbagi pengalaman kreatif.