24 September 2022
14:29 WIB
Penulis: Arief Tirtana
Editor: Satrio Wicaksono
JAKARTA - Rendahnya kualitas teknologi penyimpanan makanan dinilai sebagai salah satu penyebab tingginya food waste dan food loss di Indonesia. Oleh karena itu, upaya untuk meningkatkan teknologi penyimpanan makanan harus dilakukan.
Sebagai sebuah lembaga yang membidangi urusan riset dan teknologi di tanah air, BRIN (Badan Riset dan Inovasi Nasional) cukup tanggap dengan melakukan sejumlah riset dalam rangka mengurangi food waste dan food loss.
“PRTPP baru saja memiliki kelompok riset pengawetan dan teknologi maju pangan, ruang lingkupnya melakukan kegiatan riset pengawetan pangan secara fisika dan kimia, kemasan aktif dan pintar, dan proses pangan serta minuman dengan iradiasi, plasma, sonikasi, desikan, pemanas tanpa api, pemurnian asap cair, enkapsulasi, dan membran,” ujar Kepala Pusat Riset Teknologi dan Proses Pangan (PRTPP) BRIN, Satriyo Krido Wahono.
Salah satu riset yang telah dilakukan PRTPP adalah terkait teknologi penyimpanan bahan boga bahari ,seperti ikan. Sebuah bahan pangan yang memiliki nutrisi tinggi dan bermanfaat bagi manusia terutama kandungan nutrisi protein, dan kerap dikonsumsi masyarakat Indonesia.
Menurut data KKP tahun 2018, produksi perikanan di Indonesia mencapai sekitar 23 juta ton. Bahkan konsumsi ikan rata-rata nasional meningkat setiap tahunnya, mencapai rata-rata 7,4% per tahun.
Namun seperti diketahui, ikan termasuk bahan pangan yang cepat mengalami kerusakan. Bahkan ketika masyarakat menggunakan kulkas untuk menyimpan ikan. Proses pembusukan ikan dapat dicegah dengan memperpanjang masa rigor mortis, dengan sistem rantai dingin suhu rendah sehingga pembusukan secara kimiawi dan enzimatis dapat diperlambat.
"Menyimpan ikan dalam kulkas dapat menghambat pembusukan. (Namun) yang menjadi pertanyaan ialah bagaimana suhu ikan jika disimpan dalam kulkas, mengingat kulkas memiliki suhu yang bervariasi dan berfluktuasi," kata Ahmat Fauzi, peneliti di kelompok riset Pengawetan dan Teknologi Maju Pangan PRTPP BRIN.
Pertanyaan Fauzi menjadi penting, Karena pada dasarnya suhu merupakan faktor penting yang mempercepat kerusakan serta menurunkan mutu dan kesegaran ikan. Maka dari itu, selain sekadar memasukan ikan di dalam kulkas, perlu juga untuk mempertahankan suhu dengan menggunakan bahan Phase Change Material (PCM) sebagai salah satu alternatif.
PCM dapat mempertahankan suhu dingin karena memiliki sifat sebagai Cold Thermal Energy Storage (CTES), dengan kemampuan penyimpanan panas laten. Selain itu, PCM juga berpotensi untuk mengurangi daya kompresor.
Melalui penelitiannya, Ahmat Fauzi bereksperimen dengan menambahkan PCM dalam kulkas. Hasilnya, susut bobot ikan dapat berkurang antara 0,22%-0,50% pada freezer, dan 0,51%-3,41% pada pendingin atau chiller. Sedangkan untuk kesegaran ikan, penambahan PCM berpotensi dapat turun sampai 2,5%.
Menurut Fauzi, penelitian PCM belum banyak dipelajari secara detail, khususnya terkait dengan aplikasi PCM itu sendiri. Oleh sebab itu, masih ada peluang untuk melakukan penelitian lebih lanjut demi mengetahui karakteristik suhu kulkas dan produk pangan. Serta pengaruh penggunaan PCM selama penyimpanan di dalam kulkas terhadap suhu, kestabilan suhu, kecepatan pendinginan, efek pada mutu produk, dan konsumsi energi.
Iradiasi Dan Asap Cair
Selain perlakuan suhu menggunakan PCM, teknologi iradiasi juga dapat dimanfaatkan dalam proses pengawetan pangan. Teknologi iradiasi sebenarnya telah dikenal sejak tahun 1950 dan digunakan untuk kesejahteraan masyarakat.
Termasuk di Indonesia, implementasi teknologi radiasi pangan dimulai sejak tahun 1964 dengan menggunakan irradiator gamma cell. Di mana teknologi iradiasi pangan sudah banyak dilakukan pada biji-bijian, hasil perikanan, buah dan sayuran, makanan tradisional, dan lain-lain.
"Iradiasi pangan mempunyai prospek dan potensi pengawetan makanan dalam menghadapi tantangan pasar global," kata Rindy Panca Tanhindarto, peneliti Pusat Riset Teknologi Proses Radiasi BRIN.
Menurut Rindy, iradiasi memiliki tujuan yang sama dengan cara pengolahan pangan lain. Diantaranya mengurangi kehilangan akibat kerusakan dan pembusukan, serta membasmi mikroba dan organisme lain yang menimbulkan penyakit karena terbawa makanan.
Penelitian iradiasi ini sendiri tidak terlepas dari manfaatnya, seperti meningkatkan sifat fungsional pangan, menurunkan kadar karsinogen dan alerge. Termasuk pada kacang-kacangan dan bebijian dimanfaatkan untuk menurunkan senyawa toksik dan antigizi, dan iradiasi gamma dapat menurunkan akrilamid.
"Penelitian iradiasi sangat terbuka untuk digabungkan dengan teknik pengawetan makanan yang lain," jelas Rindy.
Memanfaatkan Limbah
Selain melakukan riset agar bahan pangan bisa lebih tahan lama demi meminimalisir food waste dan food loss, PRTPP BRIN juga telah melakukan riset untuk bisa memanfaatkan limbah makanan menjadi sesuatu yang lebih bermanfaat.
Contohnya olahan pangan yang berasal dari sumber daya alam menghasilkan limbah biomassa, seperti limbah serabut kelapa, tempurung kelapa, ampas tepung, tandan kosong kelapa sawit, dan lain-lain.
Dalam riset PRTPP, tempurung kelapa sebagai limbah biomassa ternyata bisa dimanfaatkan oleh pengusaha sebagai sumber energi pemanasan.
Reka Mustika Sari, peneliti Post Doc di kelompok riset Pengawetan dan Teknologi Maju Pangan PRTPP BRIN menjelaskan, penelitiannya terhadap tempurung kelapa yang dibakar dan menghasilkan asap dalam jumlah cukup banyak, sehingga dapat mengganggu kesehatan pernapasan manusia. Ternyata bisa dimanfaatkan untuk menghasilkan asap cair.
"Asap cair adalah hasil dari produksi pyrolysis, berwarna antara hitam hingga cokelat kehitaman. Bentuk fase berawal dari air dan baunya unik yakni bau asap," papar Reka Mustika Sari.
Reka menjelaskan proses pembuatan asap cair secara singkat yakni tahap pertama biomassa dipotong menjadi ukuran kecil, dibakar pada suhu tertentu. Hingga kemudian asap dari pembakaran dikondensasi menjadi asap cair.
Melalui metode plyrolysis, terdapat tiga produk yang dihasilkan yakni produk padat, gas, dan cair. Padat akan menghasilkan arang, gas menghasilkan syngas, dan cair menghasilkan asap cair.
"Gas yang dihasilkan dari pembakaran terbagi menjadi dua yang sifatnya non-condensable dan condensable. Ada yang dapat dilakukan proses destilasi dan ada yang tidak. Untuk yang tidak, terdapat gas seperti metan atau CO2. Nantinya gas-gas yang dapat didestilasi disebut asap cair," jelasnya.
Terkait tantangan dari asap cair, Reka menyebutkan bahwa asap cair memiliki sifat yang tidak stabil. Sehingga jika didiamkan selama seminggu lebih, maka asap cair akan berubah dari jernih atau cokelat menjadi hitam.
Hal itu disebabkan asap cair memiliki kadar air, oksigen, dan tar yang tinggi karena reaksi polimerisasi dan isomerisasi. Untuk itu, asap cair perlu distabilkan agar dapat disimpan lebih lama.
"Untuk mengatasi tar yang ada dalam asap cair, maka dalam penelitian ditambahkan filter pada reaktor pembakaran untuk proses pemurnian," tutupnya.