c

Selamat

Minggu, 16 November 2025

KULTURA

11 Desember 2024

17:04 WIB

Tantangan Menghadirkan Kebaruan Di Tengah Banyaknya Film Horor

Film horor mendominasi dengan lebih dari 50 judul dirilis, yang artinya kira-kira separuh dari total judul film yang tayang di bioskop hingga November tahun ini.

Penulis: Andesta Herli Wijaya

Editor: Rendi Widodo

<p>Tantangan Menghadirkan Kebaruan Di Tengah Banyaknya Film Horor</p>
<p>Tantangan Menghadirkan Kebaruan Di Tengah Banyaknya Film Horor</p>

Sesi konferensi pers film Hutang Nyawa di Epicentrum XXI, Setiabudi, Jakarta, Senin (9/12). Validnews/Andesta

JAKARTA – Industri film Indonesia sedang dibanjiri film-film horor. Bahkan, jenis film ini menjadi penggerak utama bagi industri perfilman tanah air dengan dominasi jumlah judul yang ditayangkan hingga raihan penonton di sepanjang 2024.

Dari segi jumlah rilisan, film horor mendominasi dengan lebih dari 50 judul dirilis, yang artinya kira-kira separuh dari total judul film yang tayang di bioskop hingga November tahun ini. Sementara dari perolehan penonton, film-film horor mendominasi daftar pendek film Indonesia terlaris di 2024.

Vina: Sebelum 7 Hari dan Kang Mak (from Pee Mak) menjadi dua judul teratas dari genre horor, yang keduanya menyumbang lebih dari 10 juta penonton tahun ini. Ada pula Badarawuhi di Desa Penari dan Siksa Kubur yang juga berada di daftar pendek film terlaris tahun ini.

Agak Laen yang menjadi film terlaris tahun ini, dengan 9 juta lebih penonton, juga adalah film dengan sentuhan horor, meski utamanya film ini mengusung komedi.

Banyaknya rilisan judul horor di satu sisi menunjukkan potensi genre tersebut untuk menjadi penopang utama pertumbuhan dan juga promosi sinema Indonesia di kancah dunia. Namun di saat bersamaan, hadir pula persoalan lainnya, yaitu tantangan menghadirkan kebaruan pada film-film horor.

Berbagai bentuk hantu telah divisualisasikan dalam film, dan berbagai cerita rakyat bertema horor telah dieksplorasi oleh para sineas. Pocong adalah salah satu wujud hantu yang paling populer, banyak menjadi sumber horor di film-film.

Tantangan memberikan kebaruan tentunya terarah kepada para sutradara yang membuat film horor. Ketika begitu banyaknya film horor yang rilis, bahkan beberapa film mengeksplorasi khazanah cerita horor dari konteks lokalitas yang sama, maka sutradara dituntut lebih kreatif dalam menghadirkan sesuatu yang baru dan berbeda. Agar, penonton tak bosan dengan film-film horor baru.

Tantangan ini disadari misalnya oleh Billy Christian, sutradara yang membuat seri The Sacret Riana, yang kini kembali membuat film horor berjudul Hutang Nyawa. Film yang diproduksi Visinema Pictures ini telah diumumkan untuk tayang 12 Desember 2024.

“Pastinya sebagai sutradara saya berusaha memberi experience baru, memikirkan kira-kira kengerian apa lagi yang kali ini bisa kita berikan ke penonton. Kalau penonton dikasih treatment yang sama, ‘oh jumpscare-nya gitu-gitu lagi’. Jadi tantangannya saya mikir, apa lagi yang bagusnya saya tampilin, ya. Jadi itu konsen saya,” ungkap Billy saat ditemui di Jakarta, beberapa waktu lalu.

Film Hutang Nyawa mengeksplorasi cerita horor yang berpusat pada sebuah pabrik tua—jenis latar yang lumayan klise. Namun, Billy mencoba menawarkan kebaruan lewat isu cerita serta visualisasi hantu di film tersebut.

Secara isu, film ini mengangkat persoalan sosial yang penting, yaitu tentang eksploitasi buruh pabrik. Isu itu disajikan lewat cerita perjuangan seorang perempuan yang menjadi ibu sekaligus juga anak bagi orang tuanya, yang kemudian harus bekerja di pabrik batik untuk menghidupi keluarga. Film ini menempatkan horor sebagai metafora atas keterhimpitan dan kelamnya dunia seorang tulang punggung keluarga.

Relevansi isu yang kuat, menjadikan Hutang Nyawa memiliki tawaran yang tak sekadar horor bagi penonton, namun juga motivasi hingga perenungan.

Di sisi lainnya, pada aspek sinematik, Billy mencoba memberi sentuhan dengan menghadirkan visualisasi tak biasa pada entitas pocong. Jika selama ini pocong digambarkan dalam balutan kafan putih, kali ini pocong dihadirkan berbeda, yaitu berbalut kain batik.

Kreasi itu diperkuat dengan memberi sentuhan kengerian pada pocong-pocong yang dihadirkan dengan tetesan darah, kehadiran yang intens dan juga memenuhi layar.

“Pocong selama ini diapa-apain aja di film-film Indonesia. Saya berpikir, ‘wah, saya harus kasih sesuatu yang berbeda nih’,” tutur Billy.

Tak sekadar kekuatan visual, pilihan menggambarkan pocong dengan batik juga memperkuat kesan tragis pada kisah hidup tokoh utama dalam cerita. Tokoh utama yang datang ke pabrik dengan niat untuk menghidupi keluarganya, justru berhadapan dengan kegelapan dan absennya kemanusiaan di pabrik tersebut. Ia justru menjadi tumbal bagi pabrik.

“Orang yang sebelum ditumbalkan, itu hidupnya udah kacau banget. Nah di sini, bahkan setelah mereka mati pun, mereka diperlakukan tidak layak. Darahnya bahkan dipakai untuk campuran batik,” tutur Billy.

“Jadi gambarannya di sana, ya, betapa sudah nggak ada harganya manusia di pabrik ini. Saya buat gambarannya keji sekali, di mana tubuh para buruh itu dipakai buat kain batik,” tambahnya lagi.

Selain pada penajaman isu dan penyegaran visual horor, Billy juga mencoba menawarkan perbedaan dengan melepaskan konteks horor dalam filmnya dari referensi manapun yang mungkin akrab bagi masyarakat. Di film ini, hantu yang menjadi sumber teror utama (selain mayat yang dijadikan pocong batik) digambarkan dalam wujud yang tak familiar.

Penonton tak bisa mengidentifikasi apakah hantu itu adalah wewe gombel, kuntilanak, atau lainnya. Sebab, Billy menciptakan sosok horor yang terlepas dari konteks cerita lokal manapun, sehingga apa yang terlihat adalah sesuatu yang benar-benar baru.

“Justru ketika bermain di area abu-abu, menurut saya itu lebih menyeramkan. Kita nggak tahu pasti itu apa,” pungkas Billy.


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar