c

Selamat

Minggu, 16 November 2025

KULTURA

04 Juni 2025

21:00 WIB

Tan Joe Hok, Pejuang Yang Penuh Kesederhanaan

Tan Joe Hok dan Ferry Sonneville mewakili Indonesia di All England 1959. Mereka bertemu di final dan Tan Joe Hok keluar sebagai pemenang, menjadi orang Indonesia pertama yang memenangkan All England.

Penulis: Arief Tirtana

Editor: Rikando Somba

<p dir="ltr" id="isPasted">Tan Joe Hok, Pejuang Yang Penuh Kesederhanaan</p>
<p dir="ltr" id="isPasted">Tan Joe Hok, Pejuang Yang Penuh Kesederhanaan</p>

Legenda bulu tangkis Indonesia, Tan Joe Hok (Foto: PB Djarum).

JAKARTA - Dalam kalimat terakhirnya pada sebuah program wawancara di televisi nasional bulan Januari  lalu, Tan Joe Hok mengungkapkan rasa cintanya kepada Indonesia. Negeri yang menjadi tempat lahirnya, tumpah darahnya, hingga kelak ia berkeinginan untuk menghembuskan nafas terakhirnya.

"Karena ini tanah air saya, saya lahir di sini, nanti saya pulang juga di sini, dari sini, that's it," tegasnya dengan intonasi dalam.

Sekitar empat bulan berselang, janji setianya itu benar-benar terbukti. 

Tan Joe Hok, sang legenda bulu tangkis Indonesia, menghembuskan nafas terakhirnya sekitar pukul 10.52 WIB di Rumah Sakit Medistra, Jakarta, dalam usia 87 tahun, Senin (2/6).

Kepergian pria kelahiran Bandung 11 Agustus 1937 itu jelas menjadi salah satu bukti nyata betapa setianya ia kepada Merah Putih sampai akhir hayatnya. Kendati dalam sejarah hidupnya, penuh dengan kisah-kisah perjuangan agar benar-benar bisa diakui sebagai Warga Negara Indonesia (WNI) seutuhnya.

Sekalipun sebagai seorang atlet bulu tangkis, ia telah memberikan segalanya buat Tanah Air. Bahkan, jauh lebih besar dari yang bisa diberikan banyak atlet bulu tangkis lainnya di negeri ini.

Ya, Tan Joe Hok bukanlah atlet bulu tangkis biasa. Namanya mungkin tidak dikenal luas oleh generasi saat ini, tetapi buat generasi 60 hingga 70-an, namanya pasti dikenal sebagai salah satu atlet bulu tangkis terbaik Indonesia. 

Bahkan, Tan mungkin satu yang terbaik, sebab ia merupakan atlet bulu tangkis Indonesia pertama yang berhasil meraih gelar juara All England di tahun 1959.

Juga, dia merupakan salah satu yang pertama meraih gelar kejuaraan bulu tangkis beregu paling bergengsi, Piala Thomas, tahun 1958, serta peraih medali emas bulu tangkis pertama Indonesia di Asian Games 1962.

Karier Tan Joe Hok

Dalam kariernya, Tan Joe Hok dikenal sebagai salah satu dari tujuh pebulu tangkis terbaik Indonesia di era tahun 50-60-an. Namanya masuk dalam nama-nama terbaik yang dikenal sebagai "The Magnificent Seven", bersama Ferry Sonneville, Eddy Choong, Tanjung King Gwan, Njoo Kiem Bie, Seno Djojo, Tjeng Sing Boen.

Ketujuh nama tersebut merupakan atlet bulu tangkis yang mewakili Indonesia saat pertama kali turut serta di kejuaraan Thomas Cup 1958. Di mana Tan Joe Hok menjadi yang paling muda saat itu, dalam usia 22 tahun.

Meski yang paling muda, ia bisa dikatakan menjadi yang paling diandalkan, karena masuk ke dalam bagian tim Thomas Cup Indonesia saat itu. Di masa beberapa tahun kemudian, nama Tan Joe Hok benar-benar mampu menarik perhatian publik bulu tangkis Indonesia, bahkan dunia, lewat sejumlah prestasinya.

Semua bermula pada tahun 1954, ketika ia yang saat itu sudah cukup sering memenangkan pertandingan lokal di Bandung bersama klubnya Blue White, berkesempatan tampil di kejuaraan nasional di Surabaya.

Di luar prediksi banyak pihak saat itu, Tan Joe Hok, yang berusia 17 tahun, berhasil keluar sebagai juara. Ia mengalahkan pebulu tangkis yang sedang sangat terkenal saat itu, dengan kemampuan smash yang mematikan, Njo Kiem Bie.

Dari situ nama Tan Joe Hok  mulai dikenal luas publik bulu tangkis Tanah Air. Bahkan ia berhasil kembali membuktikan kualitasnya, ketika di kejuaraan nasional dua tahun berikutnya, tahun 1956, kembali bisa mengalahkan seniornya yang telah punya nama besar, Eddy Jusuf.

Pasca kembali menjadi juara di tingkat nasional pada tahun 1956 itu, Tan Joe Hok mulai mendapatkan kesempatan untuk unjuk gigi di panggung bulu tangkis dunia. Diawali di kejuaraan India Championships 1957, di saat dengan luar biasanya ia berhasil mengalahkan unggulan tuan rumah, Amrit Dewan, untuk keluar sebagai juara. Setahun setelahnya, giliran Eddy Yusuf yang kembali ia kalahkan di laga final, untuk memboyong gelar juara East India Championships 1958.

Namanya semakin melambung saat bersama The Magnificent Seven membuka mata dunia lebih luas lagi, bahwa Indonesia memiliki jago-jago bulu tangkis yang mampu membawa negaranya menjadi yang terbaik di Thomas Cup 1958. Padahal saat itu, Indonesia hampir saja tidak bisa ikut serta di kejuaraan tersebut, karena terkendala biaya. Ide awal agar Indonesia ikut serta di Thomas Cup 1958 sendiri datang date Eddy Yusuf, meski kemudian ide tersebut dimentahkan PBSI karena masalah biaya.

Bahkan Ketua PBSI saat itu, Dick Sudirman menilai bahwa keikutsertaan Indonesia ke Piala Thomas saat itu belum waktunya, masih terlalu dini. Karena selain masalah biaya, Dick juga menilai potensi Indonesia untuk meraih juara sangat kecil, melihat lawan-lawan yang akan dihadapi di kejuaraan itu yang sudah punya nama besar.

Masalah tersebut akhirnya bisa cukup teratasi setelah atas izin PBSI, Tan Joe Hok dan kawan-kawan melakukan penggalangan dana, yang hasilnya mencapai Rp40.545,80. 

Hasil penggalangan dana yang juga didukung oleh majalah Star Weekly itu memang terhitung sangat minim, terlebih Indonesia masih harus melakoni babak penyisihan atau intra-zone terlebih dulu, dengan melawan Selandia Baru dan Australia di negara mereka masing-masing.

Karena itu, mau tak mau Tan Joe Hok, Sonneville, Njoo Kiem Bie, Tan King Gwan, Lie Po Djian, dan Olich Solihin yang menjadi wakil Indonesia, harus rela tidak melakukan latihan di Selandia Baru dan Australia. Mereka mampu menyewa lapangan. Bahkan untuk konsumsi pun mereka harus rela mengirit-irit.

Tetapi di tengah keterbatasan tersebut, kualitas luar biasa yang memang dimiliki Tan Joe Hok dan kawan-kawan, membuat mereka dengan mudahnya mengalahkan kedua lawannya, dengan skor telak identik 9-0.

Di putaran final Piala Thomas 1958 yang berlangsung di Singapura, dengan uang yang pas-pasan, The Magnificent Seven Indonesia itu juga dengan mudahnya mengalahkan lawan-lawannya. 

Dari babak pertama, mampu mengalahkan salah satu negara jagoan bulu tangkis dunia saat itu, Denmark, dengan skor 6-3. Kemudian membantai Thailand 8-1 di final. Kemudian memastikan gelar juara dengan menundukkan tuan rumah, Malaysia (saat itu Singapura masih jadi bagian Malaysia), di babak challenge, dengan skor 6-3.

"Kami buta kekuatan lawan, namun karena kami jago-jago semua, mereka kami sikat habis. Kami sama sekali tidak merasa gugup. Kami menunjukkan bahwa kami bukan jago kandang, tetapi benar-benar jago," ungkap Tan Joe Hok.

Di tengah kondisi bangsa yang belum sepenuhnya pulih pascakemerdekaan, dan ketegangan dengan Malaysia yang mulai terbentuk, keberhasilan meraih gelar juara Piala Thomas 1958 itu membuat Tan Joe Hok dan kawan-kawan tak ubahnya seorang pahlawan bangsa.

Terbukti ketika kembali ke Tanah Air, mereka sudah disambut meriah oleh masyarakat yang memadati Bandara Kemayoran. Ingin menyaksikan para pahlawan mereka turun langsung dari pesawat membawa Piala yang dibanggakan itu.

"Begitu pintu pesawat dibuka, disambut publik begitu meriah. Di Kemayoran, seperti lautan manusia. Saya tidak menyangka sambutan bisa begitu meriah. Kami semua terharu sampai mengeluarkan air mata," kata Tan Joe Hok.

Bukan cuma masyarakat bisa, keberhasilan tim Piala Thomas itu meraih gelar juara, mendapatkan apresiasi yang luar biasa dari orang nomor satu Republik saat itu, Presiden Sukarno.

Sukarno menyambut sendiri para putra terbaik bangsa itu. Proklamator itu mengundang mereka ke Istana Negara. Saat itu Bung Karno dengan bangganya memuji dengan mengatakan bahwa mereka adalah aset berharga bangsa. Di saat Indonesia punya banyak dokter dan insinyur, namun hanya sedikit yang seperti mereka.

Tan Joe Hok saat itu juga mengingat bahwa Bung Karno memuji keberhasilan mereka bisa mengalahkan para pebulu tangkis dunia, meski di tengah keterbatasan, bahkan untuk sekadar bisa makan dengan gizi yang cukup.

"Kalian makan tahu, tempe, orang lain makan keju. Tapi kalian bisa mengalahkan mereka," kenang Tan Joe Hok mengingat apa yang dikatakan Bung Karno.

Ucapan Bung Karno itu yang memotivasi Tan Joe Hok, bahwa sebagai anak bangsa, mereka tidak boleh merasa rendah dari bangsa lain. Terbukti dari apa yang telah bisa tunjukan di panggung Thomas Cup itu.

Juara All England Pertama Indonesia

Dengan usia yang masih muda, dan ambisi yang besar untuk bisa berprestasi di dunia bulu tangkis guna memperbaiki hidupnya yang sejak kecil jauh dari kata berkecukupan, usai juara Piala Thomas 1958, Tan Joe Hok menyimpan ambisi untuk bisa terus meraih gelar juara di kancah global lagi, termasuk yang terbesar saat itu, All England.

Motivasi untuk bisa meraih gelar juara yang lebih besar agar kelak bisa hidup berkecukupan, salah satunya juga muncul karena Tan bersahabat dengan pebulu tangkis Malaysia, Ismail bin Mardjan.

Saat itu Ismail merupakan pebulu tangkis top dunia yang telah memenangkan gelar juara Al England, namun hidupnya jauh dari bekecukupan. Bahkan dengan status dan nama besarnya saat itu, Ismail masih harus bekerja menjadi satpam, dari pukul 6 petang sampai pukul 6 pagi.

Saat itu Tan yang sempat beberapa kali datang dan tinggal di rumah Ismail di Singapura, mendapatkan wejangan dari sahabatnya itu, agar Tan terus mengasah kemampuannya sampai bisa menjadi yang terbaik. Dia mewanti-wanti jangan sampai mengulangi hidup seperti yang Ismail jalani: hidup jauh dari berkecukupan.

"Kamu akan menjadi yang terbaik di dunia, asalkan kamu latihan keras seperti sekarang. Tetapi jangan hidupnya kayak saya ini," kata Tan menirukan pesan Ismail bin Mardjan.

Pesan Ismail yang diejawantahkan Tan Joe Hok dengan terus serius berlatih di sekitar tahun 1958 dan 1959 itu, akhirnya memang benar-benar membuahkan hasil. Nama Tan Joe Hok  menjadi salah satu yang diundang untuk mengikuti All England. Selain juga ada Ferry Sonneville.

Keduannya merupakan dua wakil Indonesia pertama di kejuaraan tersebut. Dua Wakil yang diluar dugaan, langsung berhasil membuat puluhan pebulu tangkis terbaik dunia, yang mayoritas berasal dari Eropa saat itu, harus rela bertekuk lutut. Bersama Ferry Sonneville, Tan Joe Hok berhasil mengalahkan lawan-lawannya sejak babak 32 besar hingga harus saling berhadapan di babak final.

Di final, Tan Joe Hok yang lebih junior, akhirnya mampu mengalahkan Ferry Sonneville dalam pertarungan tiga set. Tan Joe Hok keluar sebagai juara All England pertama asal Indonesia.

Sukses Tan Joe Hok di All England, kemudian dilanjutkannya di kejuaraan bulu tangkis US Open, membuat namanya semakin  melambung lagi di dunia. Salah satu bukti terbesarnya, namanya menjadi ulasan di majalah olahraga bergengsi Amerika, Sports Illustrated.

Sports Illustrated saat itu menilai Tan Joe Hok sebagai pemain yang tak terkalahkan, dan menyebutnya sebagai Wonderful World of Sports. Salah satu artikel mereka menampilkan foto besar Tan Joe Hok yang berselonjor dengan kedua telapak kaki telanjangnya melepuh-darah setelah menjuarai US Open.

"Saya disebut pemain tak terkalahkan. Namun di balik sukses itu, saya sebenarnya hanya rumput liar yang mesti hidup di segala keadaan," tuturnya di buku Tan Joe Hok: Perintis di Pentas Bulu Tangkis.

Sosok Penuh Kesederhanaan

Kendati terus berjuang di atas lapangan dengan sungguh-sungguh demi bisa mendapatkan hidup yang lebih layak, sejatinya Tan Joe Hok bukanlah orang yang memiliki keinginan hidup bergelimangan harta. Bahkan sebaliknya, ia mudah merasa cukup. Tak mau berlebihan, di saat banyak masyarakat Indonesia saat itu masih banyak hidup dalam keprihatinan.

Contoh nyata terlihat ketika ia dihadiahi uang US$1.000 dari Presiden Sukarno, ketika ia sedang menempuh pendidikan Baylor University (Texas). Saat itu Tan menolak pemberian Sukarno karena ia sudah merasa cukup, diberi beasiswa untuk berkuliah jurusan premedical dengan major kimia dan biologi di Amerika Serikat sejak tahun 1959.

Saat itu Tan bahkan mengaku tak berani untuk membuka amplop berisi uang yang diberikan Sukarno melalui perwakilan Pemerintah di Amerika Serikat kepadanya. Sampai-sampai ia meminta rekan sekamarnya yang membuka amplop itu, dan mengetahui bahwa isinya uang US$1.000, yang terhitung sangat besar saat itu.

"Saya kembalikan uang itu melalui Prof Dr Prijono, di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, ke alamat pengirimnya," kenang Tan Joe Hok.

Bukan cuma sekadar menolak menerima uang itu, rasa cinta dan pengorbanan Tan Joe Hok terhadap bangsa Indonesia juga ditunjukkan dengan rela kembali ke Tanah Air, untuk mengikuti Asian Games 1962 yang berlangsung di Indonesia.

Padahal saat itu, penerbangan dari Amerika Serikat ke Indonesia tidak semudah saat ini. Bukan hanya harus melalui belasan jam penerbangan, Tan juga harus berkali-kali transit di berbagai negara.

Hasilnya tak sia-sia, pengorbanan Tan Joe Hok saat itu berbuah manis. Dirinya berhasil kembali mengharumkan nama bangsa Indonesia, dengan sukses meraih medali emas di nomor tunggal putra bulutangkis Asia Games 1962. Keberhasilan itu juga membuat Tan Joe Hok menjadi pebulu tangkis Tanah Air pertama yang bisa meraih emas di kejuaraan multi-event terbesar antarnegara Asia itu.

Bukan cuma di nomor tunggal, di nomor beregu putera, Tan Joe Hok juga berhasil membawa Indonesia meraih emas. Menandai sukses besar Indonesia yang kala itu menyapu bersi emas di hampir semua nomor. Kecuali di nomor ganda putera, di mana Tan Joe Hok bersama Liem Tjeng Kiang hanya berhasil meraih medali perak.

Rasa Cinta Tanah Air

Meski sukses meraih berbagai gelar juara yang mengharumkan nama Indonesia di kancah internasional, Tan Joe Hok yang merupakan keturunan Tionghoa tetap mengalami diskriminasi semasa hidupnya.

Seperti di Indonesia saat itu, ia harus memiliki Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia (SBKRI) dan juga KTP yang ditandai dengan cap khusus.

Bahkan seperti masyarakat keturunan Tionghoa lainnya juga, Tan Joe Hok harus rela mengubah namanya, agar terdengar lebih "Indonesia". Uniknya lagi, proses pergantian namanya itu terjadi ketika ia sedang mengikuti pelatnas di sekitar tahun 1965.

Tanpa bisa berbuat banyak, suatu siang saat berada di flat atlet di bilangan Senayan (kini Plaza Senayan), mereka didatangi sejumlah tentara. Saat itu Kolonel Mulyono dari CPM Guntur, Jakarta Pusat, mengumpulkan para atlet.

Para atlet saat itu satu persatu diberi nama "Indonesia" secara langsung begitu saja. Ang Tjing Siang menjadi Mulyadi, Wong Pek Sen menjadi Darmadi, Tan King Gwan menjadi Dharmawan Saputra, Lie Tjuan Sien menjadi Indra Gunawan, Tjiong Kie Nyan menjadi Mintarya, Lie Poo Djian menjadi Pujianto, dan Tjia Kian Sien menjadi Indratno.

Tan Joe Hok saat itu diberi nama Hendra. Namun karena nama Hendra begitu banyak di Indonesia, ia mengusulkan agar diberi nama tambahan "Kartanegara". Nama tambahan itu dipilihnya karena masih terdapat unsur "Tan", sesuai nama aslinya.

Saat diminta mengganti nama itu, Tan Joe Hok memang tak bisa berbuat banyak lagi. Meski sejatinya ia cukup heran mengapa itu dilakukan, disaat dia dan banyak masyarakat keturunan Tionghoa lainnya sudah memilih untuk setia kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Sebab sebelumnya di era orde lama, mereka para keturunan Tionghoa di Tanah Air, sempat diberi pilihan apakan ingin kembali ke China dan menjadi warga negara sana, atau tetap di Indonesia, menjadi WNI. Tan Joe Hok yang memang kelahiran Indonesia, bahkan berasal dari dua orang tua yang juga lahir di Indonesia, saat itu mantap tanpa ragu untuk memilih menjadi WNI.

"Saat itu saya sudah di Amerika. Tapi saya bilang ke orang tua saya, tolak tawaran kewarganegaraan RRT (Republik Rakyat Tiongkok)," tegasnya.

Atas apa yang dialaminya sebagai masyarakat keturunan itu, diakui Tan Joe Hok tetap bisa diterimanya, meski penuh dengan rasa heran. Sampai kemudian ia memiliki anak, dan ternyata sang anak masih diragukan ke-Indonesia-annya, dengan tetap harus tetap memiliki SBKRI.

"Yang saya tersinggung waktu anak saya. Saya sudah jadi WNI, istri saya juga WNI, kok anak saya masih diragukan juga. Masih mesti memiliki surat bukti kewarganegaraan indonesia," kata Tan Joe Hok.

Pengalaman tak mengenakan Tan Joe Hok sebagai warga keturunan tersebut, membuatnya terus aktif menyuarakan dan membantu banyak masyarakat keturunan lainnya yang masih berjuang mendapatkan pengakuan. Khususnya mereka para atlet bulu tangkis.

Di era Presiden Sukarno, Tan Joe Hok bahkan berani meminta langsung ke orang nomor satu Indonesia itu, agar mau memberikan KTP kepada tunggal putri andalan Indonesia saat itu, Ivana Lie, yang tiap mewakili Merah Putih di panggung dunia, tidak punya paspor Indonesia, alias masih dianggap tanpa kewarganegaraan (stateless).

Perjuangan Tan Joe Hok agar masyarakat keturunan Tionghoa diakui sepenuhnya juga masih terus berlanjut secara lebih luas lagi pasca Reformasi. Ia berkali-kali berusaha menghadirkan perubahan lewat pertemuan dengan DPR dan Presiden Megawati.

Sampai juga di era Gus Dur, ketika titik terang mulai terlihat. Saat masyarakat Tionghoa akhirnya bisa merayakan Imlek dengan bebas, tanpa dilarang.

"Orang Islam boleh merayakan lebaran, orang Kristen boleh natalan. Kenapa kami tidak boleh merayakan Imlek," kata-kata ini diutarakannya ketika bertemu Gus Dur.

Gus Dur kemudian mengizinkan, dengan syarat hanya sebatas fakultatif. Alias diizinkan (tidak dilarang) tapi Imlek belum menjadi hari libur nasional.

"Bangga saya, at least saya melakukan something buat keturunan saya," kata Tan Joe Hok.


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar