c

Selamat

Kamis, 6 November 2025

KULTURA

11 Mei 2024

17:26 WIB

Tak Melulu Inklusi, Cakap Literasi Perlu Diakselerasi

Indeks literasi dan inklusi keuangan pelajar saat ini, masing-masing sebesar 47,56% dan 77,80%. Di sisi lain, digitalisasi membuat akses ke produk keuangan makin mudah dan menimbulkan kekhawatiran

Penulis: Arief Tirtana

Editor: Satrio Wicaksono

<p id="isPasted">Tak Melulu Inklusi, Cakap Literasi Perlu Diakselerasi</p>
<p id="isPasted">Tak Melulu Inklusi, Cakap Literasi Perlu Diakselerasi</p>

Sejumlah pelajar SD menunjukkan buku tabungan saat Edukasi Keuangan untuk Kelompok Pelajar di Plaza Balaikota Bogor, Jawa Barat, Selasa (25/7/2023). Antara Foto/Arif Firmansyah

JAKARTA - Inklusi keuangan atau akses masyarakat terhadap berbagai produk keuangan kian hari kian meningkat. Digitalisasi pun membuat inklusi makin terakselerasi.

Laporan Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Maret 2024 menyebutkan pada 2023 lalu, tingkat inklusi keuangan di Indonesia tercatat mencapai 88,7%, melampaui target yang ditetapkan sebesar 88%. Angka tersebut juga meningkat dari tahun sebelumnya, yakni 85,1%.

Sayangnya, peningkatan akses ke sektor keuangan, tidak sejalan dengan pemahaman masyarakat terhadap produk-produk keuangan dan pengelolaan keuangan secara umum. Hal ini terkonfirmasi dengan fakta, adanya kesenjangan antara tingkat inklusi keuangan dengan literasi.

Hasil Survei Nasional Literasi dan Inklusi Keuangan (SNLIK) tahun 2022 yang diselenggarakan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menunjukkan, indeks literasi keuangan masyarakat Indonesia hanya berkisar 49,68%

Dalam pandangan Direktur Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat–Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (LPEM-FEBUI) Chaikal Nuryakin, kesenjangan antara inklusi dan literasi keuangan di masyarakat jelas menghadirkan kekhawatiran tersendiri. Mudahnya akses layanan jasa keuangan, justru bisa menjadi bumerang bagi mereka yang tidak memiliki literasi keuangan yang cukup memadai.

"Jadi mereka sudah bisa menggunakan jasa keuangan, seperti pinjol (pinjaman online) misalnya, tapi literasi keuangannya rendah, sehingga akhirnya memunculkan banyak kasus," kata Chaikal kepada Validnews, Jumat (10/5).

Lebih parahnya lagi, rendahnya literasi keuangan ini pun menjangkau banyak kalangan. Bukan hanya dari kalangan menengah ke bawah, tapi tak jarang pula dari kelompok masyarakat dengan taraf ekonomi maupun pendidikan mumpuni. Termasuk juga golongan kelas atas.

Hal ini bisa dibuktikan dari maraknya kasus penipuan investasi bodong di berbagai jenis jasa keuangan. Tak jarang, para korbannya berasal dari tingkat pendidikan Sarjana, bahkan lebih. 

"Ini aneh juga, bukan cuma masyarakat awam, ternyata masyarakat yang berpendidikan tinggi pun juga literasi keuangannya masih rendah," kata Chaikal.

Literasi Anak Muda
Selain status sosial ekonomi, rendahnya literasi keuangan juga menjangkau kalangan masyarakat dari berbagai rentan usia, termasuk anak dan remaja. Bahkan, untuk kalangan ini kondisinya, jauh lebih memprihatinkan.

Seperti terungkap dalam survei literasi keuangan OJK pada 2022, di mana tingkat literasi keuangan usia 15-17 tahun baru sebesar 43,28%. Bahayanya, di usia itu, mereka juga memiliki kemudahan akses ke berbagai layanan keuangan, hanya lewat telepon pintar di genggaman mereka.

Belum lagi paparan iklan dan promosi jasa keuangan hingga investasi dari konten-konten yang mereka konsumsi di media sosial. Dalam beberapa kasus, sejumlah influencer termasuk konten kreator gaming yang penontonnya mayoritas anak-anak, juga secara terang-terangan mempromosikan produk keuangan, termasuk investasi yang berisiko tinggi.

Padahal mereka sendiri bukanlah pakar yang paham betul akan produk tersebut. Para influencer umumnya tidak menjelaskan tentang risiko dari produk yang mereka promosikan. Mereka kebanyakan semata-mata hanya mengiklankan, tanpa mengeduksi anak-anak terhadap produk yang mereka promosikan.

Kepala Eksekutif Pengawas Perilaku Pelaku Usaha Jasa Keuangan, Edukasi, dan Pelindungan Konsumen Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Friderica Widyasari Dewi mengakui, tingkat literasi dan inklusi keuangan para pelajar di bawah rata-rata nasional.

Berdasarkan Survei Nasional Literasi dan Inklusi Keuangan (SNLKI) yang dilakukan OJK pada tahun 2022, indeks literasi dan inklusi keuangan pelajar masing-masing sebesar 47,56% dan 77,80%. Indeks tersebut berada di bawah indeks literasi dan inklusi keuangan secara nasional (2022) yang masing-masing sebesar 49,68% dan 85,10%.

“Kalau ditanya 10 orang pelajar, kira-kira 4-5 itu paham tentang literasi keuangan, sementara sisanya tidak atau belum paham tentang literasi keuangan, dan seterusnya. Kalau inklusi, sekarang sekitar 77, ini artinya kalau dari 10 anak pelajar atau mahasiswa ditanya, 7 di antara sudah punya produk keuangan,” ujarnya.

Singkatnya, level inklusi yang lebih tinggi dibandingkan dengan tingkat literasi keuangan menandakan, banyak yang menggunakan produk jasa keuangan, tetapi masih belum paham jika ditanya apa produk jasa keuangan yang digunakan. Karena itu, perhatian dan upaya untuk meningkatkan literasi keuangan saat ini juga sudah seharusnya menyasar kalangan anak-anak.

Dalam kasus seperti itu, Perencana Keuangan, Safir Senduk menilai, kondisi ini tak sepenuhnya bisa dibebankan kepada influencer. Terlebih saat produk yang dipromosikannya legal, atau terdaftar di OJK.

Namun yang ditekankan Safir, harus ada kesadaran penuh jika influencer bukan orang yang bisa dijadikan rujukan untuk membicarakan sebuah produk keuangan. Memberikan pemahaman kepada anak dan remaja lebih menjadi kata kuncinya.

Karena itu, menurut Safir, sudah saatnya para pakar keuangan turun tangan, agar tidak kalah dengan influencer dalam memberikan literasi keuangan untuk anak-anak.

"Jadi mungkin kebanyakan para pakar tidak turun. Kenapa? Karena anak-anak bukan pangsanya para pakar ini. Kebanyakan para pakar ini pangsanya adalah orang dewasa. Nah, jadi jawabannya adalah para pakar harus turun ke depan anak-anak untuk memberikan literasi, terlepas dari apakah ada bisnis atau tidak yang datang dari pasar anak-anak itu," beber Safir.

Peran Orang Tua
Tak hanya itu, untuk menguatkan edukasi dan literasi keuangan di kalangan anak-anak, orang tua harus mengambil peranan lebih besar. Akan tetapi, harus diakui juga, belum semua orang tua sadar akan perannya ini. Apalagi, pada saat mereka tidak memiliki literasi keuangan yang cukup baik.

Masih relatif sedikit orang tua yang benar-benar memahami tugasnya untuk memberikan literasi keuangan ke anak mereka, bahkan dalam level dasar sekalipun.

Seperti yang dilakukan oleh Nisa. Ibu tiga anak asal Jakarta ini sebisa mungkin menanamkan dasar-dasar literasi keuangan kepada buah hatinya, meski hanya sekadar mengajarkan mereka untuk menggunakan uang sebaik-baiknya dan melatih untuk menabung.

Baru ketika anaknya sudah menginjak bangku SMA, Nisa mulai memberi pemahaman, uang adalah alat, bukan komoditas untuk diperjualbelikan. Sejauh ini, dia belum mengajarkan investasi kepada anaknya yang sudah lebih dewasa.

"Jadi kami tidak ajarkan investasi, dengan pengertian menginvestasikan uang untuk mendapat keuntungan di masa depan," terangnya.

Dalam prinsipnya, Nisa memang tak memiliki keinginan untuk memberikan pemahaman yang lebih ke anaknya, agar bisa pintar investasi. Dia hanya menekankan beberapa prinsip dasar. Misalnya, menghindari meminjam uang ke pihak lain, terlebih yang memakai bunga, karena riba. Hal lainnya, mengajarkan anak untuk benar-benar bijak menggunakan dan mengelola uang.

"Kalau ada tujuan tertentu, nabung dulu sampai tercapai," kata Nisa, mencontohkan apa yang dipesankan kepada anaknya.

Pengaruh Orang Tua
Ya, rendahnya literasi keuangan di kalangan anak, memang tak bisa dilepaskan dari kualitas literasi keuangan orang tua. Apalagi berbagai produk keuangan hari ini arah perkembangannya ke ranah digital.

Karenanya, orang tua yang gagap digital, akan sangat kesulitan untuk mengikuti perkembangan literasi keuangan termutakhir. Dengan kondisi ini, bisa dibilang mustahil untuk mengajarkan, mengawasi atau bahkan sekedar mengetahui apa yang anaknya lakukan.

Seperti digambarkan Chaikal Nuryakin, kondisi saat ini ada tiga pekerjaan rumah yang harus benar-benar bisa dibereskan. Mulai dari rendahnya literasi keuangan atau finansial itu sendiri, rendahnya literasi digital, dan yang ketiga perpaduan keduanya, yakni rendahnya literasi keuangan digital (LKD). 

"Itu semua masih rendah. Apalagi kalau dikombinasi," kata Chaikal.

Kaitan antara orang tua dan anak dalam hal literasi keuangan ini juga diyakini betul oleh Safir Senduk. Dalam sudut pandang yang lebih luas lagi, jika seorang anak 'tidak mengerti tentang uang', itu menjadi tanggung jawab dari orang tuanya.

Sebab seperti di banyak hal dalam kehidupan, anak-anak secara naluriah pasti akan mencontoh perilaku orang tuanya. Termasuk dalam hal keuangan. Jadi, kuncinya menurut Safir, adalah bagaimana perilaku orang tua itu bisa jadi teladan bagi anaknya.

Dan upaya memberi teladan itu, paling efektif jika dilakukan sedini mungkin, bahkan sejak anak usia 4-5 tahun, atau ketika di bangku Taman Kanak-kanak (TK).

"Umur berapa sebaiknya (mendapatkan literasi keuangan), ya sejak semuda mungkin, minimal sejak anak sudah tahu fungsi uang sebagai alat tukar, sejak di masuk TK," kata Safir.

Literasi Sejak Dini
Hampir semua pakar keuangan atau akademisi memang setuju, literasi keuangan harus dilakukan sedini mungkin. Tentu saja dalam proses yang bertahap sesuai dengan kemampuan pemahaman anak.

Contoh sederhana bisa dimulai dengan memberikan pemahaman, untuk membeli sesuatu harus dengan uang. Ajarkan kepada mereka untuk membayar apa yang mereka beli ke kasir sendiri. Tujuannya, agar mereka benar-benar paham fungsi uang untuk mendapatkan sesuatu.

Di tahapan selanjutnya, beri pemahaman yang lebih dalam akan konsep uang tersebut. Sederhananya, untuk mendapatkan uang, seseorang harus bekerja atau melakukan usaha lainnya.

"Jadi mereka bisa tahu, kalau nggak kerja itu nggak dapet uang. Jangan kemudian kita selalu menyediakan apa yang mereka minta, jadi mereka tidak paham, uang itu sebenarnya hasil dari bekerja," kata Chaikal.

Upaya pengenalan ini bisa dilakukan, bahkan untuk orang tua yang sebenarnya belum memiliki tingkat literasi keuangan yang relatif tinggi. Seperti Yeye Isma misalnya. Wanita 34 tahun ini mengajarkan anaknya tentang prinsip dasar uang sebagai alat jual beli, sejak sang buah hati masih berusia empat tahun.

Baginya, keterbukaan informasi yang semakin berkembang memudahkannya untuk mengajarkan anak-anaknya. "Dari umur empat tahun semenjak tangannya sudah sampai kasir (mulai diajarkan). Dia belajar dari YouTube kalau ke supermarket harus bayar dulu sebelum dimakan," terang Yeye.

Secara perlahan, dia mulai mengenalkan tentang nilai pecahan uang kepada sang anak yang kini berusia lima tahun. Meski dalam prakteknya tidaklah mudah.

"Bahkan dikasih uang pecahan besar juga dia habiskan semua. Karena memang enggak kenal konsep kembalian," kata Yeye.

Kesalahan-kesalahan dalam pembelajaran keuangan ini memang sangat mungkin terjadi di anak-anak. Termasuk dalam level yang lebih lanjut lagi, ketika anak sudah SD, SMP bahkan SMA. Namun hal ini wajar dan tak perlu dikhawatirkan berlebih.

Belajar dari Kesalahan
Sebab seperti diyakini Safir Senduk, kesalahan-kesalah yang dibuat anak, akan membuat mereka bisa belajar dengan sendirinya di tahap tertentu. Misalnya ketika orang tua lebih memilih membawakan bekal makanan, alih-alih memberi uang jajan ketika SD.

Hal ini justru bisa menghadirkan risiko yang lebih besar di jenjang selanjutnya, atau saat mereka mulai baru dikasih uang jajan sendiri di bangku SMP. Potensi kesalahan akan tetap ada, dan akan hilang, ketika anak mengalami kesalahannya sendiri.

"(Dibekali makanan sendiri dari rumah) mungkin oke juga. Tapi ingat, berarti nanti takutnya adalah begitu dia dapat uang sakunya ketika baru SMP atau baru SMA, nanti dia banyak lakukan kesalahan-kesalahan. Karena dulu dia tidak pernah pegang uang. Jadi kesalahan-kesalahannya baru dilakukan, di saat teman-teman seusianya sudah tak lagi melakukan kesalahan tersebut," terang Safir.

Dalam prinsip pengajaran literasi keuangan, tahapan sesuai usia dan jenjang pendidikan memang sangat diperlukan. Memberikan tanggung jawab lebih kepada anak untuk mengelola keuangan sendiri juga bisa jadi pembelajaran penting.

Misalnya dengan memberikan uang jajan mingguan ketika anak di bangku SMP, kemudian meningkat menjadi uang jajan bulanan saat SMA. Dengan begitu, anak akan belajar mengelola uang yang dimilikinya. Meski kemungkinan boros pun akan bisa terjadi.

"Jangan SD sudah dikasih uang bulanan, nggak bisa, kegedean buat dia. Anak SD dikasih harian saja. SMP pelan-pelan naik ke mingguan, dan SMA baru bulanan," ucap Safir.

Di tahap lebih lanjut, Chaikal Nuryakin menilai, sekolah seharusnya juga mengakomodir pembelajaran keuangan kepada murid-muridnya. Misalnya, sekolah bisa mengakomodirnya dengan menggelar kegiatan market days.

Anak-anak level SD, misalnya, diajarkan untuk berjualan. Dengan demikian, mereka bisa mengenal fungsi uang secara utuh, bukan hanya dalam sudut pandang ia sebagai pembeli atau pemilik uang.

"Kalau di sekolah-sekolah swasta seperti sudah banyak yang mengadakan market days ini. Tapi saya tidak tahu kalau di sekolah negeri," kata Chaikal.

Ketika konsep seperti market days ini sudah dilakukan, selanjutnya bisa dikembangkan lagi ke ranah digital. Anak-anak di level SMP atau SMA misalnya, bisa diajarkan untuk berjualan secara online, sebagai sarana mengelola uang, sekaligus belajar memanfaatkan perkembangan digital lebih positif.


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar