06 November 2024
20:31 WIB
56 Tahun TIM Dan Tantangan Tata Kelola Ruang Seni
Isu-isu seputar komersialisasi, inklusivitas yang hilang, membayangi ruang kesenian ini.
Penulis: Andesta Herli Wijaya
Editor: Rendi Widodo
Sesi konferensi pers menuju TIMFest 2024 di Taman Ismail Marzuki. Dok. TIMFest 2024
JAKARTA - Taman Ismail Marzuki (TIM) tahun ini akan berusia 56 tahun. Sejak pertama kali didirikan Gubernur Ali Sadikin pada 1968 silam, pusat kesenian ini telah menjadi bagian penting dari perjalanan perkembangan kesenian di Indonesia, menjadi ruang tumbuh bagi banyak seniman besar tanah air.
Momentum 56 tahun TIM akan dirayakan lewat festival, TIMFest 2024. Gelaran festival ini menandai gerakan penting yaitu terciptanya kolaborasi antara Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) bersama Unit Pengelola Pusat Kesenian Jakarta dan Jakpro.
Ketua DKJ Bambang Prihadi mengatakan, gelaran TIMFest menjadi upaya untuk mengajak kembali publik berpartisipasi dalam kehidupan kesenian di fasilitas tersebut.
Pasalnya, tak bisa dipungkiri, TIM dalam beberapa tahun terakhir dibayangi oleh isu-isu pelik terkait tata kelola kawasan yang melibatkan berbagai pihak, yang kemudian berdampak pada melemahnya citra inklusivitas ruang kesenian tersebut.
“Dalam catatan sejarahnya baru 10 tahun inilah stake-holder yang ada di TIM itu berbeda-beda, peraturannya berbeda-beda, DNA-nya beda. Ini sebetulnya DKJ melihatnya, ‘oh oke kalau di wiliayah regulasi kita butuh waktu untuk duduk bersama, kayaknya di momen seperti ini kita bisa masuk untuk bekerja bersama,” ungkap Bambang di Cikini beberapa waktu lalu.
Seperti diketahui, TIM dalam beberapa tahun terakhir mengalami ketidakpastian tata kelola, terhitung sejak revitalisasi. Rentetan tegangan kerap kali muncul antara para pemangku kepentingan di TIM, terutama antara DKJ yang mengemban fungsi kurasi dan pihak Jakpro yang hadir sebagai pengelola fasilitas ruang dan bangunan kesenian di TIM.
Berbagai polemik tata kelola yang muncul pada akhirnya berdampak pada dinamika aktivitas kesenian di TIM dalam beberapa tahun terakhir. Isu-isu seputar komersialisasi, inklusivitas yang hilang, membayangi ruang kesenian ini hingga banyak seniman merasa TIM semakin kehilangan semangat awal pendiriannya.
Felencia Hutabarat, Wakil Ketua DKJ, menyebutkan bahwa TIMFest akan menjadi ajang untuk merayakan sekaligus merefleksikan kembali peran TIM dalam perjalanan kesenian di Jakarta, bahkan Indonesia. Dia berharap, perayaan ini bisa mempertegas citra TIM sebagai ruang kesenian yang inklusif, merangkul semua kalangan.
Dengan begitu, kehadiran TIM kedepannya bisa berdampak lebih luas dan lebih nyata dalam memajukan kehidupan masyarakat kota Jakarta.
“Dalam perjalanann sejarahnya juga, ruang ini telah menghasilkan seniman-seniman hebat. Rendra misalnya, berkarya di sini. Jadi bagian dari perjalanan kesenian Indonesia itu ada di sini. Dan roh itu kami merasakan itu semakin hilang, terutama dengan perubahan yang sedemikian besar beberapa tahun terakhir,” ujar Felencia.
Felencia berharap TIMFest menjadi awalan untuk memposisikan kembali koordinasi dan tata kelola TIM yang lebih baik. Dengan begitu, peran kehadirannya bagi publik seni di Jakarta pun akan semakin signifikan.
“TIM ini tidak hanya penting untuk Jakarta, tapi juga penting untuk Indonesia. Semoga ke depannya posisi TIM ini bisa kembali lagi seperti dulu, untuk menguatkan ranah berekspresi, barometer kesenian dan juga pencapaian seni budaya di Indonesia,” pungkasnya.
TIMFest 2024 yang akan berlangsung pada 7–10 November nanti, akan diisi dengan beragam program, mulai dari Pidato Kebudayaan, fashion show, seni kuliner, pemutaran film-film independen, hingga pertunjukan musik.
Masing-masing program tersebut menggandeng kolaborator. TIMFest melibatkan Fakultas Seni Rupa & Desain Institut Kesenian Jakarta untuk fashion show, kolektif Meramu Cerita menghadirkan pameran seni kuliner, hingga program musik SWAG yang akan membawa perpaduan pertunjukan musik modern dan tradisi.