21 Oktober 2025
18:11 WIB
Tahukah Kamu? Tubuh Ikut "Protes" Ketika Emosi Tak Tersalur
Ketika fase emosional yang berat datang bertubi-tubi, tubuh bisa kewalahan memproses informasi dan "protes". Tanda-tandanya mulai dari mudah lupa, kehilangan semangat, gangguan makan hingga insomnia.
Penulis: Annisa Nur Jannah
Ilustrasi seorang pria merasa lelah dan tidur dengan membawa beban emosional yang tak tersalurkan. Shutterstock/PeopleImages.
JAKARTA - Sering kali kita mengira bahwa rasa lelah hanya bersumber dari padatnya aktivitas fisik atau kurangnya waktu istirahat. Padahal, ada jenis kelelahan lain yang jauh lebih senyap namun tak kalah menguras energi yakni kelelahan emosional.
Kelelahan emosional tidak selalu tampak dari luar, tetapi perlahan menggerogoti semangat, menumpulkan konsentrasi, dan membuat tubuh terasa berat meski tak banyak bergerak. Menurut Irma Gustiana, psikolog anak, remaja, dan keluarga, ketidakseimbangan antara energi tubuh dan emosi bisa memengaruhi banyak aspek kehidupan seseorang baik fisik, mental, maupun sosial.
"Dalam praktik saya, banyak klien yang datang dengan keluhan fisik seperti GERD parah, migrain, atau nyeri tubuh tanpa sebab medis yang jelas. Setelah digali lebih dalam, ternyata sumbernya adalah emosi yang dipendam lama dan tidak pernah diakses," ujar Irma di Jakarta beberapa waktu lalu.
Irma menjelaskan, manusia memiliki keterkaitan erat antara pikiran, emosi, dan tubuh. Saat seseorang terus menahan perasaan, tubuh menjadi wadah yang menyimpan tekanan itu dalam diam.
"Kadang seseorang ingin berbagi cerita, tapi tidak tahu harus mulai dari mana. Akhirnya semua emosi itu mengendap dan suatu saat bisa meledak dalam bentuk gangguan fisik maupun mental," tambahnya.
Ketika fase emosional yang berat datang seperti kehilangan, tekanan pekerjaan, atau konflik hubungan dan tidak diolah dengan sehat, tubuh bisa mengalami protes. Tanda-tandanya pun beragam mulai dari mudah lupa, kehilangan semangat, gangguan makan baik kehilangan nafsu makan maupun emotional eating, kelelahan berkepanjangan, bahkan insomnia.
"Kalau dalam dua minggu terakhir teman-teman sering merasa lelah tanpa sebab, susah tidur, atau justru tidur terus, itu bisa jadi tanda tubuh sedang kewalahan memproses emosi," kata Irma.
Irma juga menyoroti fenomena banyaknya orang yang mengandalkan obat tidur untuk mengatasi stres, namun tetap merasa letih saat bangun.
"Itu sering kali terjadi pada mereka yang sudah sangat jenuh secara emosional. Badan tidur, tapi batin masih bekerja keras. Akibatnya, istirahat tidak terasa menyegarkan," terangnya.
Kondisi itu, jika dibiarkan, bisa berdampak lebih serius. Emosi yang tidak tersalur berpotensi memicu disfungsi sistem saraf, gangguan imun, hingga penyakit psikosomatik.
"Sel-sel saraf seolah protes dan muncullah berbagai penyakit berat yang sebenarnya berakar dari luka emosional lama," ungkapnya.
Untuk itu, Irma menekankan pentingnya self-mitigation atau mitigasi diri yakni kemampuan mengenali dan meredakan tekanan batin sebelum menjadi lebih besar. Caranya bisa beragam mulai dari menulis jurnal perasaan, berkonsultasi dengan psikolog, berdoa, atau sekadar memberi ruang untuk istirahat emosional.
"Kuncinya adalah menyadari sinyal tubuh dan emosi sejak awal. Jangan menunggu sampai tubuh benar-benar jatuh sakit untuk mulai memperhatikan diri sendiri," jelasnya.