12 November 2025
16:30 WIB
Suara Aeshnina Azzahra Menggugat Sampah Plastik
Aeshnina Azzahra Aqilani, aktivis lingkungan muda asal Gresik yang lantang menentang sampah plastik, menginspirasi dunia lewat aksi lokal hingga forum internasional.
Penulis: Besyandi Mufti
Editor: Rikando Somba
Aeshnina Azzahra Aqilani melakukan campaign tentang plastik yang merusak lingkungan, Tolak plastik sekali pakai. Instagram/aeshnina.
Penggunaan plastik sekali pakai seolah menjadi teman setia yang tak dapat dipisahkan dalam kehidupan manusia pada zaman serba cepat ini. Praktis, murah, tersedia di mana-mana, you name it. Mulai dari bungkus makanan, sedotan, hingga kemasan belanja, plastik telah menyelimuti hampir setiap aspek keseharian dalam hidup ini sebagai “sahabat” yang tak bisa lepas.
Namun, di balik kenyamanan ini, bumi telah menanggung beban berat akibat penemuan revolusioner ini. Lautan tersedak oleh sampah, udara dan tanah tercemar partikel mikroplastik, hingga ekosistem perlahan kehilangan keseimbangannya. Betapa mengerikan imbas dari penemuan luar biasa abad ke-19 ini.
Akan tetapi, di tengah kisruh mikroplastik bersanding dengan hujan di Jakarta yang diungkap penelitian BRIN, ada sosok muda dari Gresik, Jawa Timur bernama Aeshnina Azzahra Aqilani, atau akrab dipanggil Nina, yang suaranya menembus batas daerah dan negara untuk memperjuangkan hak atas lingkungan yang bersih dan bebas dari racun plastik. Nina bersuara menyoroti masalah sampah plastik, pencemaran industri daur ulang, dan hak atas lingkungan yang bersih.
Sejak remaja, dia aktif dalam gerakan lingkungan baik tingkat lokal maupun internasional, mewakili generasi muda Indonesia dalam forum-forum besar yang membahas krisis plastik dan kesehatan lingkungan.
Suara Muda yang Disemai di Lingkungan Aktivis
Aeshnina Azzahra Aqilani atau Nina lahir pada 17 Mei tahun 2007, dibesarkan di Gresik dalam keluarga yang melek terhadap isu-isu lingkungan. Orang tuanya bernama Prigi Arisandi dan Ndaru Setyorini yang merupakan sesama aktivis lingkungan.
Prigi, Ayah dari Nina, merupakan pendiri komunitas Ecological Observation and Wetlands Conservation atau Ecoton. Oleh karena itu, pendidikan cinta lingkungan sudah sejak dini datang kepadanya. Orang tuanya aktif dan paham dengan isu lingkungan sehingga kepedulian tersebut menular ke Nina sejak ia kecil.
Kondisi rumah dan lingkungan sekitar di Gresik memberikan konteks konkret terhadap kepedulian Nina karena daerah tersebut merupakan daerah pesisir dengan aktivitas industri serta memiliki tantangan besar terhadap pengelolaan sampah. Kepedulian Nina tak sekadar kepedulian abstrak. Sedari kecil, dia melihat realitas tumpukan sampah, dampak dari limbah industri, dan juga efektivitas program pengelolaan sampah di komunitasnya. Isu-isu tersebut menjadi persoalan yang personal dan sangat mendesak baginya.
Perjalanan akademik Nina beriringan dengan aktivitasnya di organisasi pemuda dan kelompok lingkungan sekolah. Nina menempuh pendidikan di SMA Muhammadiyah 10 Gresik. Di sana, dia terlibat di berbagai aksi, kampanye, serta jaringan internasional yang membuatnya lantang dengan isu-isu lingkungan.
Nina sangat terampil dalam berkomunikasi, dapat berbahasa Inggris yang baik, dan berani tampil di depan publik. Hal tersebut merupakan modal penting yang menjadi awal mula Nina “membuka pintu” ke forum-forum global.
Sejak usia belasan, Nina telah menembus panggung global sebagai salah satu suara muda paling lantang dari Indonesia terhadap isu plastik dan lingkungan.
Sejak usia sekitar sembilan tahun, Nina sudah menunjukkan ketertarikannya terhadap dunia aktivisme. Bukan hanya pengaruh dari kedua orang tuanya, tetapi karena kondisi lingkungan sekitar rumahnya.
Dia tinggal di Gresik, yang merupalkan wilayah pesisir dikelilingi industri besar dan menjadi salah satu titik pembuangan limbah plastik impor. Dalam kesehariannya, Nina menyaksikan dengan mata kepalanya sendiri bagaimana sungai dekat rumahnya menjadi keruh, udara tercemar oleh pembakaran sampah plastik, dan desa, seperti Bangun, dipenuhi tumpukan limbah dari negara-negara maju.
Hal tersebut membuatnya gelisah dan berkeinginan kuat membela hak anak-anak atas lingkungan bersih. Pengalaman tersebut yang mendorong empati dan semangatnya sejak belia.
Nina pernah berbicara dalam forum bergengsi, seperti Plastic Health Summit, COP dan Intergovernmental Negotiating Committee (INC) yang merupakan forum PBB yang membahas perjanjian global tentang plastik. Pada berbagai kesempatan tersebut, Nina diundang tak hanya sebagai peserta, melainkan juga sebagai pembicara yang membawa kisah nyata dari tanah air.
Negara-negara berkembang, seperti Indonesia, masih menjadi tujuan ekspor limbah dari negara-negara maju. Suara lantang, namun tenang dan tegas itu, menjadi alarm pengingat bahwa keadilan lingkungan tak berhenti di batas geografis saja.
Pada April 2024, Nina turut menjadi bagian dalam aksi March To End Plastic Era di Ottawa, Kanada, menjadi sebuah momentum penting yang beriringan dengan sidang INC. Di tengah suhu menembus kulit dan banyaknya kerumunan aktivis lintas negara, Nina berdiri tegap di atas panggung menyerukan penolakan terhadap plastik impor sampah plastik dan menuntut tanggung jawab dari negara-negara produsen.
Aksi tersebut menjadi sorotan media internasional. Menjadikan Nina sebagai simbol perlawanan dari Selatan terhadap ketimpangan dalam perdagangan limbah.
Tak hanya di panggung global, kiprahnya juga kuat mencengkeram tanah kelahirannya. Sebagai Co-Captain River Warrior Indonesia (Riverin) di bawah Ecoton, Nina terjun langsung dalam kegiatan pembersihan sungai, edukasi masyarakat, dan advokasi kebijakan lingkungan di level lokal. Nina juga aktif sebagai anggota OSIS saat SMP dan menginisiasi kelompok Brigade Sampah bersama teman sejawatnya.
Komitmen Nina diakui dunia melalui berbagai penghargaan, termasuk pengangkatannya sebagai Young Ambassador EndPlasticSoup pada tahun 2021. Penghargaan tersebut sebagai bentuk pengakuan terhadap perannya sebagai inspirasi bagi generasi muda dalam memperjuangkan bumi yang lebih bersih dan adil.

Dampak Nyata Aksi Nina Terhadap Dunia
Kehadiran Aeshnina Azzahra Aqilani di berbagai forum dan media tak hanya soal pencapaian pribadi, melainkan juga katalis perubahan di tingkat masyarakat. Sejak namanya dikenal luas, perhatian publik terhadap isu sampah plastik impor dan pencemaran akibat industri daur ulang meningkat pesat.
Banyak liputan media dan gerakan komunitas lokal menunjukkan efek berantai yang nyata karena semakin banyak remaja dan pelajar di Gresik yang turun langsung dalam kegiatan bersih-bersih sungai, kampanye pengurangan plastik sekali pakai, hingga kelas edukasi lingkungan. Semangat yang dulu terasa tak tergapai kini menjadi dekat hingga relevan bagi banyak anak muda di daerahnya.
Tak hanya di sana, suara Nina juga menggema di ruang-ruang diplomasi dan kebijakan publik. Dalam forum INC-4 dan aksi global yang diikutinya, Nina bersama dengan aktivis lainnya berhasil menempatkan isu impor sampah plastik dalam agenda pembahasan internasional, keren bukan?
Suaranya mewakili perspektif negara-negara berkembang yang sering kali menanggung dampak dari produksi dan komsumsi plastik global. Di hadapan para diplomat dan pemangku kebijakan, Nina menjadi pengingat bahwa solusi berkeadilan harus melibatkan mereka yang paling terdampak, termasuk generasi muda dari negara-negara di garis depan yang mengalami krisis lingkungan.
Pernyataan Nina yang sering dikutip media menggambarkan dengan jelas dari jiwa dan arah perjuangannya. “We have to be brave,” ujarnya dalam salah satu wawancara internasional, menjadi sebuah seruan sederhana tetapi kuat yang mencerminkan keberanian generasi muda untuk menantang status quo di hadapan para pengambil keputusan global. Baginya, keberanian bukan sekadar sikap, melainkan kewajiban moral bagi siapa pun yang peduli terhadap masa depan bumi.
Sementara itu, kalimat “Everyone, including children, has a right to clean life” menegaskan landasan etik yang selalu di bawa dalam setiap aksinya. Hak atas lingkungan bersih merupakan bagian tak terpisahkan dari hak asasi manusia. Tak hanya itu, Nina juga pernah menulis surat terbuka kepada pemimpin dunia untuk bertanggung jawab atas pengelolaan sampah.
Salah satunya, suratnya kepada Donald Trump, Presiden AS pada 2019. Dia meminta Amerika Serikat menghentikan ekspor sampah plastik ke Indonesia dan mengolah limbahnya sendiri. Dua tahun kemudian, pada 2021, Nina kembali mengirim surat serupa kepada Presiden Joe Biden, dengan hasil nyata, ekspor kertas atau sampah AS ke Indonesia menurun drastis.
Pesan yang disampaikannya kepada Trump dan Joe Biden juga terkait dengan penolakan limbah sampah plastik yang diekspor ke negara berkembang, termasuk Indonesia. Nina menegaskan bahwa Indonesia bukan tempat sampah dunia dan mendesak AS untuk bertanggung jawab atas limbahnya sendiri dan tidak lagi mengirimkan sampah ke negara-negara berkembang.
Begitu juga suratnya kepada Perdana Menteri Australia, Scott Morrison, “Stop exporting waste… Please take back your trash from Indonesia.” Isi surat-surat tersebut umumnya memuat desakan Nina kepada negara maju untuk berhenti mengirim limbahnya ke Indonesia dan menjelaskan dampak negatif sampah impor.
Baginya isu plastik dan limbah bukan hanya soal pencemaran, melainkan tentang keadilan, antara negara maju dan berkembang, antara generasi kini dan generasi mendatang. Beberapa kutipan tersebut kini hidup sebagai semacam tagline moral dalam kampanye dan advokasinya, mengajak dunia untuk berhenti memindahkan krisis lingkungan kepada mereka yang paling tak berdaya.
Keberanian Nina dan Tantangan Aktivisme Global
Langkah-langkah aktivisme Aeshnina Azzahra Aqilani menunjukkan bahwa perubahan besar yang lahir dari strategi sederhana namun konsisten dijalankan.
Nina memadukan tiga poros utama, yaitu aksi lapangan, advokasi kebijakan, dan jaringan global. Dari membersihkan sungai dan mengedukasi teman sebayanya di Gresik, sampai menulis surat terbuka dan berbicara di forum internasional, Nina selalu membawa pesan yang berlandaskan pada fakta dan pengalaman nyata komunitas terdampak.
Pendekatannya bukan sekadar emosional belaka, tetapi perpaduan antara empati dan data. Ini membuat suara Nina tak hanya menyentuh hati publik, tetapi juga menggugah kesadaran para pembuat kebijakan. Kemampuannya berkomunikasi dalam dua bahasa, baik lokal maupun internasional, memperkuat posisinya sebagai jembatan antara isu lingkungan di grassroot dan perdebatan kebijakan global.
Dari perjalanannya ada beberapa hal yang patut diacungi jempol. Konsistensi menjadi kunci utama,
Nina memulai dari hal kecil, namun terus melangkah hingga panggung dunia. Keberanian juga menjadi modal utamanya dengan menulis surat kepada pemimpin dunia atau berbicara langsung dengan pejabat tinggi. Nina juga menunjukkan pentingnya kolaborasi lintas jaringan, bekerja bersama NGO, komunitas, dan duta muda lainnya, karena menurutnya gerakan yang kuat tak akan pernah bisa berdiri sendiri. Hal-hal tersebut menunjukkan bahwa aktivisme sejati tak soal usia, tetapi juga dengan komitmen kuat serta kemampuan membangun jembatan antara pengetahuan, aksi, dan solidaritas.
Tetapi di balik kiprah gemilangnya, Nina juga menghadapi tantangan yang tak ringan. Mengadvokasi penghentian impor sampah berarti berhadapan dengan kepentingan ekonomi dan politik yang sangat sulit, baik di dalam maupun luar negeri. Selain itu, tekanan emosional dan kelelahan menjadi risiko nyata bagi aktivis muda yang harus menyeimbangkan peran sebagai pelajar, anak, dan pejuang lingkungan. Oleh karenanya, dukungan sosial dan mental menjadi penting dari keberlanjutan gerakan.
Keberhasilan aktivisme seperti Nina lakukan tak dapat diukur dari kebijakan baru semata, tetapi juga dari perubahan perilaku masyarakat, meningkatnya kesadaran publik, dan hadirnya kebijakan yang lebih adil terhadap lingkungan dan komunitas terdampak, sebuah proses panjang menuju dunia yang lebih bersih dan berkeadilan.
Aeshnina Azzahra Aqilani menjadi bukti bahwa satu suara muda mampu mengguncang percakapan global tentang keadilan lingkungan. Dari kota kecil Gresik, ia membawa pesan besar hingga ke Ottawa dan berbagai forum internasional, menuntut dunia agar lebih bertanggung jawab terhadap krisis plastik. Keberanian dan konsistensinya menjadikan Nina bukan sekadar simbol, melainkan penggerak nyata yang menginspirasi teman-teman sebayanya untuk turun tangan menjaga bumi, mulai dari ruang kelas hingga sungai di kampung halaman.
Sosoknya mengingatkan kita bahwa perubahan iklim dan polusi plastik bukan hanya urusan pemimpin dunia, tetapi tanggung jawab bersama, terutama generasi muda yang akan mewarisi masa depan planet ini.
Segala yang dilakukannya juga mengingatkan kita, bahwa menjaga bumi tidak selalu harus dimulai dari aksi besar. Kadang, langkah kecil justru punya dampak paling nyata. Mengurangi plastik sekali pakai, membawa botol minum sendiri, atau menolak kantong plastik di toko adalah bentuk sederhana dari tanggung jawab ekologis kita.
Siapkah kita melakukannya, Sobat Valid?