c

Selamat

Senin, 17 November 2025

KULTURA

21 Desember 2024

16:26 WIB

Soal Penundaan Pameran Yos Suprapto: Konflik Kreatif atau Soal Politis?

Penundaan pameran Yos Suprapto yang sejatinya digelar Kamis (19/12) di Galeri Nasional akhirnya menimbulkan spekulasi. Ada yang menyebut soal dinamika antar seniman dan kurator hingga politis. 

Penulis: Andesta Herli Wijaya

Editor: Satrio Wicaksono

<p>Soal Penundaan Pameran Yos Suprapto: Konflik Kreatif atau Soal Politis?</p>
<p>Soal Penundaan Pameran Yos Suprapto: Konflik Kreatif atau Soal Politis?</p>

Galeri Nasional. Ist

JAKARTA - Galeri Nasional Indonesia telah membantah secara tegas dugaan adanya pembredelan atas karya-karya seniman Yos Suprapto. Institusi ini menegaskan tertundanya pameran tunggal bertajuk “Kebangkitan: Tanah Untuk Kedaulatan Pangan” itu disebabkan persoalan kuratorial semata.

Zamrud Setya Negara, Ketua Tim Museum dan Galeri Indonesian Heritage Agency (IHA) yang menaungi Galeri Nasional, mengatakan bahwa tertundanya pameran tunggal Yos Suprapto disebabkan adanya ketidaksepakatan antara kurator dan seniman terkait komposisi karya yang dipamerkan. Karena itu akhirnya kurator mundur dari pameran yang akan dibuka.

Zamrud menegaskan tak ada intervensi dari pihaknya atas karya-karya seniman. Menurutnya, pihaknya hanya berperan sebagai fasilitator, tak terlibat dalam kurasi apalagi mempengaruhi arah kuratorial yang ditekankan Zamrud bersifat profesional dan bebas.

"Tidak (ada intervensi). Kurator dalam proses kerja profesionalnya, pasti punya ruang yang tidak bisa diintervensi, namanya profesionalisme. Kurator punya jangkauan yang tentunya lebih cermat, yang lebih jeli terhadap kondisi-kondisi tersebut,” ungkap Zamrud ditemui di Galeri Nasional, Jakarta, Jumat (20/12).

Sebagaimana diberitakan sebelumnya, Yos Suprapto dijadwalkan berpameran di Galeri Nasional Indonesia, Jakarta, bulan ini. Namun tepat ketika hendak dibuka pada Kamis, 19 Desember 2024, Galeri Nasional mengumumkan pameran tersebut ditunda karena faktor teknis.

Kurator pameran, Suwarno Wisetrotomo mengatakan bahwa ada dua karya yang diboyong Yos Suprapto untuk dipamerkan, tidak sesuai dengan tema pameran “Kebangkitan: Tanah untuk Kedaulatan Pangan”. Dua karya yang dimaksud, yang menampilkan figur seorang pejabat negara, menurut dia berpotensi memecah fokus narasi pameran yang menyoroti tema pangan.

Selain itu, Suwarno juga melihat nilai karya tersebut cenderung hanya bermakna ‘makian’, tanpa ada tendensi memperkuat tema pameran secara keseluruhan.

Terlepas penjelasan Galeri Nasional dan kurator, pameran tunggal Yos Suprapto akhirnya ditunda dan tanpa kepastian lebih lanjut. Besar kemungkinannya, pameran ini batal karena tak kunjung ada kejelasan tindak lanjut dari Galeri Nasional Indonesia yang menurut Zamrud, hanya menunggu terbangunnya kembali komunikasi baik antara seniman dan kurator. Galeri Nasional dalam hal ini seolah menempatkan persoalan penundaan ini sebagai dampak dinamika kurator-seniman semata.

Masalahnya, dugaan upaya pemberedelan atas seni kadung tersiar di jagad media sosial pun media massa. Banyak pihak yang menilai, ada ‘bisikan’ untuk menyensor karya-karya dalam pameran, karena bermuatan sensitif bagi pihak-pihak tertentu. Bahkan, Suwarno juga menyatakan karya-karya yang dimaksud, terlalu vulgar dan bernilai makian semata.

"Menurut pendapat saya, dua karya tersebut ‘terdengar’ seperti makian semata, terlalu vulgar, sehingga kehilangan metafora yang merupakan salah satu kekuatan utama seni dalam menyampaikan perspektifnya," ungkap Suwarno dalam sebuah pernyataan.

Beda Versi

Meski Zamrud Setya Negara yang mewakili Galeri Nasional menegaskan tak ada intervensi atas kebebasan berekspresi dalam seni, bahkan mendukung kebebasan dan keragaman ekspresi, ada perspektif berbeda jika menyimak pernyataan-pernyataan Yos Suprapto.

Ada sejumlah kejanggalan muncul. Misalnya, Zamrud menyatakan bahwa kurator Suwarno Wisetrotomo dipilih oleh seniman sendiri, dan disetujui oleh Galeri Nasional. Namun, berdasarkan obrolan Validnews dengan pihak yang mewakili Yos Suprapto di Galeri Nasional, justru kurator ditunjuk oleh pihak Galeri Nasional dan kemudian itulah yang disetujui oleh Yos Suprapto.

Lainnya, kurator Suwarno Wisetrotomo mengatakan dalam pernyataan tertulisnya kalau karya yang dianggap tak layak tampil itu hanya terdiri dari dua karya. Sementara, Yos Suprapto menyatakan ada lima karya yang diminta untuk diturunkan. Perbedaan ini bisa diasumsikan bermacam-macam. Termasuk kemungkinan bahwa tak hanya kurator yang mengevaluasi karya-karya yang akan dipamerkan, tapi juga Galeri Nasional. Siapa yang tahu?

Dari sisi Yos, penundaan (atau lebih tepatnya pembatalan) pameran “Kebangkitan: Tanah untuk Kedaulatan Pangan” adalah bentuk pembatasan dan lebih bermuatan politis. Dan dia tak bisa berkompromi dengan upaya pembatasan kebebasan berkesenian, apalagi di area institusi representasi negara.

Yos Suprapto menyatakan ada lima karya yang dipermasalahkan diminta untuk diturunkan oleh kurator dan juga pihak yang mewakili badan Museum dan Cagar Budaya yang menaungi Galeri Nasional. Kelima karya tersebut menampilkan figur mirip Joko Widodo, dalam berbagai penggambaran yang berkaitan dengan politik, kekuasaan dan rakyat.

Lima karya yang oleh kurator dianggap tidak sejalan dengan tema pameran tersebut, menurut Yos justru memberi narasi penguat dan konteks bagi karya-karya lainnya dalam pameran. Karena itu, Yos pun kukuh dengan pendiriannya untuk tetap menyertakan karya-karya tersebut. Jika tidak, pikir Yos, lebih baik tak usah berpameran.

"Saya tidak mau lagi berurusan dengan Galeri Nasional dan Kementerian Kebudayaan," ucap Yos Suprapto dalam pernyataannya yang disiarkan ke awak media.

Apakah ini Pembungkaman?

Polemik seputar pameran Yos Suprapto di Galeri Nasional kali ini masih menyimpan banyak pertanyaan bagi publik, karena versi cerita yang saling bertolak belakang antara Galeri Nasional sebagai institusi negara dengan pihak seniman.

Di satu sisi, Galeri Nasional bersikukuh ini adalah persoalan kreatif, tanpa adanya kepentingan politis yang membonceng. Meski begitu, Galeri  Nasional tak akan mampu mengontrol bagaimana pihak-pihak lain merespon dan bahkan mempolitisasi kejadian ini.

Baru-baru ini, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) yang kebetulan kini adalah ‘lawan politik’ Joko Widodo, telah bersuara. Mereka menyatakan kecamannya atas penundaan pameran yang kadung disebut pembredelan oleh berbagai pihak.

Di sisi lain, seniman jelas merasa telah dibungkam atas konten karyanya, karena menampilkan figur tertentu. Dalam perspektif seniman, kejadian ini lebih bermakna sebagai upaya sensor atas kebebasan berkesenian.


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar