22 Mei 2024
16:24 WIB
Sistem Subak Bisa Jadi Solusi Pengelolaan Air Berkelanjutan
Di helatan World Water Forum (WWF), Indonesia memperkenalkan sistem pengelolaan air berbasis kearifan lokal, subak yang bisa diadopsi secara global.
Penulis: Andesta Herli Wijaya
Editor: Satrio Wicaksono
Pengairan pertanian dengan sistem subak. Foto: Antara Foto.
JAKARTA – Kemendikbudristek menggelar pameran dan diskusi tentang sistem subak dalam helatan World Water Forum (WWF) di Bali yang berlangsung hingga 25 Mei mendatang. Kegiatan ini berupaya memperkenalkan sistem pengelolaan air berbasis kearifan lokal yang potensial untuk diadopsi secara global.
Pameran sistem subak sejalan dengan tema forum WWF tahun ini yaitu “Air untuk Kesejahteraan Bersama”. Sistem subak di Bali yang telah diakui sebagai warisan dunia oleh UNESCO pada 2012 silam, dianggap relevan untuk menjawab tantangan global terkait pengelolaan air.
Urgensi untuk menemukan solusi pengelolaan air berkelanjutan menjadi perhatian global saat ini. Laporan United Nation World Water 2024 mengatakan, sebanyak 2,2 miliar orang tak punya akses terhadap air minum pada 2022. Sementara sepanjang periode 2002 s.d. 2021, sebanyak 1,4 miliar orang terdampak kekeringan. Laporan itu juga mencatat bahwa 10% gelombang migrasi global sepanjang 1970 hingga tahun 2000 disebabkan oleh faktor kekurangan air.
Direktur Jenderal Kebudayaan Hilmar Farid mengatakan, ketersediaan air bersih menjadi tantangan nyata secara global. Karena itu, perlu upaya bersama, percakapan transdisipliner untuk menjawab tantangan pengelolaan sumber air di masa sekarang.
“Sains dan teknologi modern tidak cukup untuk menjawab berbagai masalah itu. Justru sebagian masalahnya timbul karena sains dan teknologi modern digunakan secara tidak bijak,” ungkap Hilmar Farid dalam keterangan resmi, dikutip Rabu (22/5).
Dalam konteks itu Hilmar mengajukan solusi untuk kembali ke khazanah kearifan lokal. Salah satunya yang telah dipraktekkan secara turun-temurun di Bali, yakni sistem irigasi subak untuk mengatur penggunaan air secara kolektif.
Menurut Hilmar, bukan berarti harus menafikan teknologi. Jika kearifan lokal itu dipadukan secara bijak dengan sains dan teknologi, maka ia meyakini itu bisa memberikan solusi konkrit terhadap masalah ketersediaan dan pengelolaan air.
Subak merupakan praktik yang sangat penting bagi masyarakat Bali sejak lama, yang berpijak pada filosofi Tri Hita Karana. Filosofi ini menekankan pada hubungan yang harmonis antara unsur parahayangan (Tuhan), pawongan (manusia) serta palemahan (alam).
Merujuk penjelasan I Gede Vibhuti Kumarananda dalam Asal Mula Sistem Subak DI Bali yang dipublikasikan Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Provinsi Bali, subak merupakan sistem pengairan yang dijalankan dalam keyakinan pentingnya hubungan timbal balik antara manusia dengan alam.
Subak, dalam perspektif modern, adalah salah satu praktik pembangunan berkelanjutan. Dalam praktiknya di Bali, sistem ini menyangkut hukum adat, sosial, keagamaan dan pertanian. Semangat utama dalam sistem tersebut adalah gotong royong dalam memperoleh air untuk semua orang.
Kekuatan utama sistem subak terletak pada ketergantungan bersama terhadap air irigasi yang mengaliri sawah. Jaringan irigasi itu disatukan oleh Pura Subak, yang artinya praktik tersebut diikat oleh kepentingan fisik dan spritual. Maka itu, banyak ritual dilakukan masyarakat Bali terkait itu.
Dalam praktiknya, subak berjalan melalui sistem organisasi yang menaungi para anggota masyarakat dan mengatur tugas, tangung jawab dan hak setiap orang. Sistem irigasi ini berjalan dengan cara memanfaatkan satu atau lebih sumber air untuk bersama-sama. Satu hamparan sawah diatur untuk menyerap air secukupnya, lalu mengalirkannya ke hamparan lain.
Singkatnya, subak adalah sistem pengelolaan air yang memerhatikan kepentingan bersama, alih-alih dominasi atau monopoli seperti yang kerap terjadi di berbagai belahan dunia.
Relevansi Jalur Rempah
Hilmar Farid menambahkan, sistem subak, kearifan lokal dalam pengelolaan air, berada dalam konteks kearifan masyarakat nusantara sebagai masyarakat di jalur rempah. Bahwa ada berbagai praktik baik terkait pengelolaan air di setiap daerah di sepanjang jalur perdagangan rempah dunia di masa lalu.
Jalur rempah dunia, jalur pelayaran tradisional yang membentang antara kawasan Pasifik di sebelah timur sampai pantai timur Afrika di sebelah barat, telah membentuk karakter kebudayaan yang khas. Selama lebih dari seribu tahun, masyarakat di sepanjang jalur ini berinteraksi, memproduksi warisan pengetahuan yang amat penting bagi pengelolaan kehidupan, termasuk terkait dengan kebutuhan akan air.
“Ada khazanah pengetahuan yang luar biasa di dalamnya, yang bisa menjadi inspirasi bagi kita hari ini,” tutur Hilmar.
Pameran dan diskusi tentang subak di WWF Bali sekaligus mengkampanyekan jalur rempah sebagai warisan kebudayaan yang bernilai bagi kehidupan hari ini.
Dengan pameran ini, lanjut Hilmar, diharapkan masyarakat dunia bisa melihat betapa pentingnya kebudayaan dalam sistem global sejak lama.