16 Juli 2025
18:37 WIB
Sinyal Autoimun Dari Mata Kering Yang Tak Boleh Diabaikan
Mata kering kerap dianggap sepele oleh banyak orang, padahal kondisi itu bisa jadi penanda awal dari kondisi medis jauh lebih serius, termasuk autoimun.
Penulis: Annisa Nur Jannah
Editor: Satrio Wicaksono
Ilustrasi seseorang meneteskan obat mata kering. Shutterstock/Rohane Hamilton
JAKARTA - Keluhan mata kering kerap kali dianggap sepele dan tak sedikit orang mengira bahwa keluhan tersebut hanya dipicu oleh hal-hal sederhana. Padahal, gejala seperti rasa perih, sensasi terbakar, mata yang terasa seperti berpasir, atau mudah lelah saat menatap layar bisa menjadi pertanda awal dari kondisi medis jauh lebih serius.
"Mata kering bukanlah kondisi ringan. Bagi sebagian pasien, ini justru bisa menjadi tanda awal dari proses autoimun yang berlangsung dalam tubuh. Sebab, bisa jadi itu adalah cerminan dari masalah kesehatan sistemik yang perlu ditangani sejak dini," ujar dr. Niluh Archi, SpM, Dokter Spesialis Mata Kering dan Lensa Kontak di JEC di Jakarta, Rabu (16/7).
Dokter Amanda menambahkan, gangguan sistemik seperti penyakit autoimun termasuk Sindrom Sjogren, lupus, dan rheumatoid arthritis dapat menyerang sistem kekebalan tubuh dari dalam. Ketika sistem imun yang seharusnya melindungi justru menyerang jaringan sehat, proses peradangan kronis pun terjadi.
Jika tidak dikenali dan ditangani sejak dini, kondisi ini dapat menimbulkan kerusakan permanen pada berbagai organ, termasuk mata. Fakta medis pun memperkuat kekhawatiran ini.
Studi dari The Ocular Surface Journal dan Investigative Ophthalmology & Visual Science secara konsisten menunjukkan adanya kaitan erat antara penyakit autoimun dan mata kering. Bahkan, disebutkan bahwa antara 10 hingga 95% pasien dengan gangguan sistem imun mengalami gejala mata kering dalam berbagai derajat keparahan.
Temuan ini juga sejalan dengan laporan dari American Academy of Ophthalmology (AAO), yang mengungkap bahwa sekitar 10% pasien mata kering sebenarnya menderita Sindrom Sjogren. Sindrom Sjogren merupakan suatu kondisi autoimun kronis yang menyerang kelenjar air mata dan air liur.
Selain Sindrom Sjogren, penyakit autoimun lain seperti lupus, rheumatoid arthritis (RA), dan skleroderma juga dapat memicu mata kering. Keempat penyakit ini menimbulkan inflamasi sistemik yang secara langsung berdampak pada permukaan mata dan keseimbangan air mata.
Lebih mengkhawatirkan lagi, dua pertiga dari kasus tersebut tidak terdiagnosis, sehingga banyak penderita tidak mendapatkan penanganan yang tepat sejak awal. Di Indonesia sendiri, prevalensi mata kering diperkirakan berada pada angka 27,5% hingga 30,6%, menjadikannya sebagai salah satu gangguan mata yang paling umum.
Namun ironisnya, banyak yang tidak menyadari bahwa keluhan ini bisa berkaitan dengan penyakit serius. Kurangnya pemahaman tentang hubungan antara mata kering dan autoimun membuat banyak pasien terlambat menyadari.
Padahal, ketika sistem kekebalan tubuh menyerang kelenjar air mata seperti yang terjadi pada penderita Sjogren produksi air mata menurun drastis, menyebabkan peradangan kronis dan memperparah gejala mata kering.
Sementara itu, dr. Laurentius Aswin Pramono, Dokter Spesialis Penyakit Dalam di JEC Eye Hospitals and Clinics, menekankan bahwa dalam banyak kasus, gejala awal penyakit autoimun kerap muncul dalam bentuk yang tidak spesifik.
"Mata kering adalah salah satunya. Karena itu, kolaborasi antara dokter spesialis mata dan dokter penyakit dalam sangat penting. Dari pemeriksaan mata yang teliti, pasien bisa diarahkan untuk evaluasi sistemik yang mungkin menyelamatkan organ lain dari kerusakan,” jelasnya.
Mengingat kompleksitas penyebab dan potensi komplikasi dari mata kering, terutama jika berkaitan dengan autoimun, sehingga penanganannya tidak cukup dengan memberikan tetes mata pelumas. Ia pun menyebut, dibutuhkan pendekatan menyeluruh mulai dari diagnosis akurat hingga terapi yang tepat dan berkelanjutan.
Untuk itu, Jakarta Eye Center (JEC) sudah menghadirkan JEC Dry Eye Service sejak tahun 2017. Melalui layanan ini, pasien menjalani rangkaian pemeriksaan berteknologi tinggi seperti Dry Eye Questionnaire, Schirmer Test untuk mengukur volume air mata, Tear Break-Up Time (TBUT) untuk menilai stabilitas air mata.
Lalu, Ocular Surface Staining, Meibography untuk melihat kondisi kelenjar meibomian di kelopak mata, serta TearLab Osmometer untuk mengukur tingkat osmolaritas air mata.
"Setelah diagnosis ditegakkan, pasien akan mendapatkan penanganan sesuai kebutuhannya. Mulai dari terapi dasar seperti tetes mata pelumas dan anti-inflamasi, hingga terapi lanjutan seperti autologous serum, punctal plug, Intense Pulse Light (IPL), dan Dry Eye Spa," tuturnya.
Dengan pendekatan multidisiplin dan teknologi diagnostik mutakhir, pihaknya berharap masyarakat tidak lagi menganggap mata kering sebagai keluhan biasa. Sebaliknya, gejala ini bisa menjadi kode awal dari tubuh untuk memberi tahu bahwa ada sesuatu yang lebih besar sedang terjadi.
"Lebih cepat ditangani, maka semakin baik peluang kesembuhan serta kualitas hidup pasien ke depannya," pungkas dr. Laurentius.