27 Juni 2024
20:58 WIB
Siasat Merayu Anak Negeri Happy Di Negeri Sendiri
Banyak faktor menentukan suksesnya destinasi wisata. Kompetitifnya biaya dan kenyamanan menjadi dua hal utama menentukan anak negeri berwisata di tanah air.
Penulis: Annisa Nur Jannah
Editor: Rendi Widodo
Sejumlah wisatawan mengamati ikan lumba-lumba yang muncul di kawasan perairan Pantai Lovina, Singaraja, Bali, Minggu (4/11/2018). Sumber: AntaraFoto/Fikri Yusuf
JAKARTA - Putri (30), seorang ibu rumah tangga tengah asyik berlibur ke Thailand bersama keluarga besarnya. Mereka menikmati liburan masa sekolah. Maklum momen liburan seperti ini memang dimanfaatkan maksimal oleh banyak keluarga untuk pelesiran dan menghabiskan waktu bersama.
Saat Validnews melakukan panggilan suara yang berjarak sekitar 3.870 km jauhnya dari Jakarta kepadanya, terdengar suara berisik canda tawa. Rupanya, Putri dan keluarga tengah menikmati santapan Guay Tiew, semacam sup mi khas di Negeri Gajah Putih itu.
"Pas di tengah teriknya matahari, menyeruput yang segar-segar memang nikmat. Anak-anak juga suka, apalagi banyak makanan yang jarang kami makan di sana (Jakarta)," tutur Putri melalui panggilan suara beberapa waktu lalu.
Pada saat dihubungi, Putri dan keluarga sudah memasuki hari kedua di Thailand. Sebelumnya mereka sudah mampir lebih dahulu di Vietnam.
Saat di Vietnam, keluarga ini menetap di sebuah resor yang sangat indah di tepi pantai Nha Trang dan mengeksplorasi banyak wisata alamnya. Di Thailand sendiri, dia sengaja menyasar ke Bangkok dengan tujuan utama berbelanja.
"Lagi pula, berlibur ke dua negara ini tidak mahal, kok. Kalau dikira-kira sama saja jika dihitung bujetnya seperti ke pulau kecil di Indonesia," ungkapnya dengan penuh semangat.
Bukan hanya Putri, Gusti (nama samaran), seorang pekerja swasta berusia 28 tahun yang baru saja menikmati libur cutinya di Malaysia, menuturkan cerita senada. Dia begitu menikmati negeri jiran tersebut dengan alasan tidak biayanya tidak berbeda jauh dengan mengunjungi kota-kota besar di Indonesia. Dibanding liburan ke area wisata favorit di negeri ini, berlibur ke negara tersebut, biaya yang dikeluarkan tidaklah besar.
Menurut Gusti, buat pria lajang minim tanggungan sepertinya, destinasi seperti Malaysia masih sangat masuk di kantong untuk level liburan santai.
"Makanan di sana aman-aman saja, masih cocok dengan lidah Indonesia. Ongkosnya juga hanya sekitar Rp6 jutaan, sudah termasuk jajan," ungkap Gusti saat ditemui di sela jam istirahat kantor.
Dia juga memuji suasana tempat wisata di sana yang rapi, bersih. Masyarakatnya juga begitu ramah. Bahkan, untuk masuk ke destinasi wisata saja sudah ada tarif yang pasti tanpa harus khawatir dengan adanya biaya tambahan atau pungutan liar (pungli) layaknya di tanah air.
"Apalagi, kemarin saya sempat naik bus ke Singapura, terhubung banget. Itu yang membuat jalan-jalan kali ini benar-benar rasanya worth it," pungkasnya.
Bicara soal keamanan dan kenyamanan berwisata, baik Gusti dan Putri sama tak menampik bahwa Indonesia memiliki kekayaan alam dan budaya yang tidak tertandingi. Hanya saja, beberapa faktor, seperti keamanan dan aksesibilitas wisata di Tanah Air membuat mereka kurang tertarik.
"Siapa yang tidak jatuh cinta dengan Indonesia? Bagi saya pribadi sebagai warga lokal, faktor-faktor tersebut seakan menjadi kabut yang masih menghalangi. Pada akhirnya saya pun mencari alternatif lainnya," ungkap Putri.
Tak Kunjung Ditangani Serius
Fenomena banyaknya warga Indonesia yang berlibur ke luar negeri dicermati juga oleh Pengamat Pariwisata Diena Mutiara Lemy dari Universitas Pelita Harapan (UPH). Dia mengungkapkan, pemerintah perlu memberikan perhatian yang lebih dari sekadar “serius” dalam mengembangkan lokasi atau tempat tujuan pariwisata di Indonesia. Bukan tak mungkin, warga kelas menengah ke atas akan lebih menikmati berwisata ke luar negeri ketimbang menikmati wisata di negeri sendiri.
"Dengan kata lain, destinasi tidak hanya bergantung pada atraksinya saja, tetapi juga pada fasilitas yang ada serta aksesibilitasnya, sehingga sebuah destinasi akhirnya bisa menjadi entitas wisata yang lengkap," ujar Diena kepada Validnews, Rabu (26/7).
Jadi, pembangunan destinasi wisata perlu direncanakan dengan matang dengan melibatkan penduduk sekitar. Hal ini bertujuan agar pembangunan pariwisata tidak hanya menguntungkan para pengunjung. Semestinya juga memberikan manfaat ekonomi dan sosial yang signifikan bagi penduduk lokal.
Pakar strategi pariwisata nasional, Taufan Rahmadi punya kekhawatiran sama. Dia mengakui, pemerintah memang telah melakukan upaya dalam pengembangan pariwisata. Sayangnya, upaya itu belum optimal dilakukan. Masalah yang dihadapi pun dianggap masih yang itu-itu saja.
Faktor harga masih menjadi satu aspek terpenting yang ditimbang wisatawan Nusantara (wisnus) saat mereka berlibur. Dia tak memungkiri bahwa paket-paket wisata di luar negeri menawarkan harga yang dipandang worth it kalau tidak bisa dibilang terjangkau. Ini persoalan pelik yang harus dipikirkan serius.
Contohnya saja Malaysia, Singapura, dan Thailand. Ketiganya menjadi lokasi terdekat yang banyak dikunjungi oleh wisatawan dari Indonesia karena dianggap lebih murah dibandingkan destinasi terpopuler di Indonesia, yakni Bali.
"Nah, promosi dari para stakeholder seperti agen perjalanan dan maskapai penerbangan harus memiliki nilai jual untuk menarik wisatawan mengambil paket wisata yang ditawarkan," ujar Taufan kepada Validnews, Selasa (25/6).
Celah Keamanan Dan Kenyamanan
Belum selesai soal nilai jual, hal lain seperti kenyamanan pada infrastruktur wisata di Indonesia juga masih kalah saing dengan negara-negara tetangga. Misalnya, toilet bersih, pengelolaan sampah yang baik, dan fasilitas yang lebih tertata.
Diena pun menyoroti bahwa meskipun beberapa destinasi wisata di Indonesia sudah masuk dalam kategori terjangkau, masih ada oknum yang mengecewakan wisatawan. Misalnya saja, soal harga yang tiba-tiba melonjak atau menjamurnya praktik pungutan liar.
"Sekarang zamannya viral. Nanti kalau viral sedikit, akibat nila setitik, bisa rusak susu sebelanga," sebutnya.
Dalam hal pengembangan wisata, Thailand bisa dijadikan sebagai tolok ukur bagi Indonesia. Negara tersebut memiliki harga paket wisata yang kurang lebih sebanding dengan Indonesia.
"Kenapa bisa booming banget di Thailand? Karena pemerintah mereka secara konstan memberikan rasa aman lewat komunikasi yang baik dengan penduduk lokal, informasi yang jelas dan aturan yang jelas dalam pengelolaan bersama," tuturnya.
Diena mengatakan bahwa wisatawan di belahan dunia manapun pasti berburu ketenangan dan kenyamanan di atas segalanya. Contohnya, wisatawan ingin yakin bahwa di destinasi tersebut tidak ada pungutan liar atau biaya tak terduga yang terpaksa dikeluarkan, dan transportasi yang digunakan jelas resmi.
Bagi oknum warga yang mengelola dan terbutakan oleh keuntungan ekonomi, hal-hal seperti kenyamanan dan ketenangan pengunjung mungkin akan ada di nomor sekian. Di sisi wisatawan, sekali pengalaman buruk terjadi, mereka akan kapok untuk kembali dan parahnya media sosial pun bisa menjadi arena curhat yang efektif.
Di sisi lain, faktor promosi juga perlu ditingkatkan untuk menyesuaikan dengan kebutuhan masyarakat modern saat ini. Menurut Diena, salah satu kelemahan yang dia lihat adalah masalah promosi.
"Promosi tidak hanya sekadar menampilkan gambar atau konten menarik dan viral saja, tetapi juga harus menyediakan informasi resmi," sebutnya.
Belakangan, banyak promosi berseliweran di media sosial dilakukan pihak asing. Promosi ini menarik, dengan suguhan konten yang menunjukkan bagaimana perjalanan dilakukan, berapa biayanya, lokasi mana saja yang dapat dikunjungi, hingga tips dan trik perjalanan. Promosi melibatkan selebgram dan influencer.
Sebenarnya, hal serupa sudah dilakukan oleh pelaku usaha pariwisata, dan pemerintah Indonesia. Namun, menurut Diena, informasi semacam itu akan lebih penting jika dapat diakses melalui laman yang valid atau resmi. Dengan demikian, wisatawan dapat merencanakan perjalanan mereka dengan lebih baik dan merasa lebih aman karena mendapatkan informasi yang akurat.
Perlu Kolaborasi Menyeluruh
Tak perlu diragukan, Indonesia memiliki segudang destinasi wisata yang luar biasa indah. Namun, untuk memaksimalkan potensinya, pendekatan dari bawah ke atas (bottom-up) dan dari atas ke bawah (top-down) sangat diperlukan. Pemerintah tidak bisa bekerja sendiri. Komunitas lokal juga tidak bisa melakukannya mandiri. Oleh karena itu, kolaborasi antara pemerintah, pelaku usaha, dan masyarakat lokal sangat penting.
"Tujuan akhirnya adalah memberikan pengalaman wisata yang memuaskan dan aman bagi wisatawan, sehingga dapat meningkatkan jumlah wisnus yang betah liburan di dalam negeri," ungkap Taufan.
Taufan juga menyarankan, untuk mengundang sektor swasta berpartisipasi dalam pengelolaan objek wisata melalui skema kerja sama publik-swasta (PPP). Hal tersebut dapat dilakukan untuk meningkatkan efisiensi dan inovasi dalam pengelolaan destinasi wisata.
Program ini juga meliputi pelatihan bagi pengelola situs wisata dalam manajemen dan pelayanan pelanggan yang lebih baik. Tujuannya untuk meningkatkan pengalaman wisatawan dan memastikan bahwa tempat-tempat wisata dijaga dengan baik.
Hal yang juga harusnya tak luput dari pemerintah adalah insentif kepada pelaku industri pariwisata untuk memberikan diskon atau penawaran khusus kepada para wisatawan.
"Selain itu, penting untuk meningkatkan kesadaran masyarakat lokal tentang perlunya menjaga warisan budaya melalui program pendidikan dan pelatihan," tuturnya.
Pemerintah pun menyadari banyaknya wisatawan nusantara (wisnus) yang seperti Putri dan Gusti. Maka tak heran jika negara tak henti-hentinya menyerukan agar wisatawan lokal lebih memilih berwisata di dalam negeri.
Secara umum, melalui Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) telah lama mengadopsi tagline "Wonderful Indonesia" sebagai upaya besar untuk memajukan pariwisata tanah air.
Dijelaskan oleh Heriyanto, Deputi Pengembangan Destinasi dan Infrastruktur Kemenparekraf, bentuk nyata dari kampanye Wonderful Indonesia adalah melalui program aktivasi "Wonderful Indonesia Co-Branding School Break 2024".
"Program ini bertajuk "Co-branding: Travel Responsibly" dan bertujuan untuk memperkenalkan pariwisata hijau dan berkelanjutan pada saat libur sekolah," ujar Heriyanto kepada Validnews, Jumat (28/6).
Upaya tersebut diharapkan dapat terus meningkatkan jumlah perjalanan wisatawan domestik pada tahun 2024, dengan target mencapai 1,2 hingga 1,4 miliar perjalanan, serta mewujudkan pengalaman pariwisata yang berkualitas di Indonesia.
Menurut data terbaru per April 2024 yang dirilis oleh BPS pada tanggal 3 Juni 2024, tercatat bahwa jumlah pergerakan wisatawan Nusantara mencapai 2.456.320 pergerakan, mengalami peningkatan sebesar 19,78% dibandingkan dengan periode yang sama tahun 2023. Peningkatan signifikan ini menunjukkan antusiasme yang terus tumbuh dari masyarakat dalam menjelajahi keindahan dan keberagaman destinasi pariwisata di Indonesia.
Menyadari hal itu, Heriyanto menegaskan pihaknya berkomitmen untuk mengatasi berbagai tantangan yang tengah dihadapi berbagai destinasi dalam negeri melalui berbagai upaya meningkatkan kualitas pariwisata.
"Untuk meningkatkan pergerakan wisnus di berbagai daerah, pada tahun 2024, Kemenparekraf akan melaksanakan Kharisma Event Nusantara (KEN) dengan jumlah 110 event tersebar di 38 Provinsi," tambahnya.
Salah satu contoh melalui KEN yang berkolaborasi dengan pemerintah daerah. Hal ini dapat dicerminkan oleh pencapaian KEN 2023 yang menggerakkan hingga 7,3 juta wisatawan, pemberdayaan puluhan ribu pekerja dan UMKM lokal, serta mencetak perputaran ekonomi mencapai Rp12,38 triliun.
Terlepas dari apa yang tengah diusahakan pemerintah, lewat perspektif lebih luas, terlihat bahwa banyak wisnus yang lepas ke luar negeri karena menganggap wisata ke luar lebih ekonomis dan nyaman dibandingkan destinasi dalam negeri.
Hal ini menggarisbawahi pentingnya semua pihak terkait berfokus pada aspek-aspek yang krusial terlebih dulu seperti infrastruktur, promosi, serta rasa aman dan nyaman kepada wisatawan domestik saat berwisata. Dengan ekosistem wisata dalam negeri yang kuat, bukan mustahil mencengkram devisa utuh dari hobi piknik yang kental di masyarakat kita.
Miris juga kalau anak negeri lebih suka jalan-jalan di negeri orang ketimbang menelusuri indahnya negeri sendiri.