06 Desember 2022
16:48 WIB
Penulis: Mahareta Iqbal
Editor: Rendi Widodo
JAKARTA - Beberapa kali viral kasus tentang seorang penjaja seks yang melancong dan tertangkap basah saat 'menjemput rezeki'. Jika dilihat dari konsep pariwisata, mereka hanya sedang melakukan bisnis jasa dalam perjalanannya menuju lokasi yang dituju.
Satu-satunya yang menjadi pembeda ialah konteks bisnis yang dijalani. Bisnis kontroversial ini pun kemudian secara global masuk ke dalam sebuag kategori sex tourism.
Dilansir dari berbagai sumber, sex tourism atau wisata seks adalah sebuah wisata yang menempatkan seks sebagai atraksi utama dalam sebuah destinasi. Hal ini merupakan salah satu konsep terusan dari pengembangan di bidang destinasi wisata dan menjurus kepada wisata minat khusus.
Dikarenakan keuntungan yang relatif tinggi dan pasar yang kooperatif, kegiatan wisata seks kerap kali dilakukan, meski pada kenyataannya tentu menabrak berbagai landasan hukum di suatu negara.
Baca juga: Gowok, Penjebol Tabu Edukasi Seks Di Tanah Jawa
Tak bisa dipungkiri, pada kenyataannya wisata seks mampu menarik wisatawan minat khusus dalam jumlah yang besar. Hal ini disebabkan oleh adanya beberapa kategori, fitur dan tawaran yang dijual di dalam wisata seks, di antaranya sex show, mail bride, child sex tourism, dan sex slavery.
Bagi kalian yang belum mengetahui bagaimana istilah-istilah tersebut hadir di wisata seks, berikut penjabarannya:
Pertunjukan seks adalah pertunjukan langsung yang melibatkan tindakan seks. Pertunjukan tersebut sering kali melibatkan alat peraga, dan tak jarang akan menampilkan adegan grafis dari aktivitas seksual.
Mail bride merupakan sebuah kegiatan jual diri secara terang-terangan, di mana para perempuan yang ingin menjual dirinya menampilkan fotonya sebagai iklan dan disebarluaskan melalui media daring maupun luring dengan tulisan “untuk dijual”.
Baca juga: Tips Memilih Sex Toys Terbaik Sesuai Kebutuhan
Child sex tourism atau wisata seks anak merupakan sebuah kegiatan wisata seks di mana semua para pekerjanya berusia di bawah 18 tahun. Wisata seks anak ini menjadi yang paling dianggap jauh dari moral dan ditentang keras oleh banyak negara di dunia.
Walau begitu, praktiknya masih banyak ditemukan. Hal ini dapat terjadi dalam jangka waktu yang lama, misalnya saat anak ‘dibentuk’ untuk menjadi pekerja yang profesional atau bisa juga terjadi dengan cepat, misalnya saat anak tersebut terjebak dalam perdagangan manusia.
Secara garis besar ada dua tipe para pelaku atau pekerja dalam sex tourism: pekerja yang menjual jasa dengan sukarela dan pekerja yang menjual jasa dengan terpaksa.
Pekerja sex tourism yang menjual jasa dengan sukarela biasanya menganggap jasa mereka sebagai mata pencaharian. Namun, bagi pekerja sex tourism yang menjual jasa dengan terpaksa biasanya adalah orang-orang yang menjadi korban perdagangan manusia.
Baca juga: Penikmat BDSM Miliki Lebih Sedikit Masalah Seks
Hampir di semua belahan dunia keberadaan wisata seks selalu menghasilkan kontra yang sengit, terlebih jika kegiatan ini dilakukan di tempat yang sangat menjunjung tinggi norma dan nilai sosial seperti di Indonesia.
Terlepas dari kenormaan, dalam konteks lain, warga yang tinggal di sekitar lokasi wisata seks dan melihat potensi, biasanya akan tetap ikut mengais keuntungan sembari 'menutup mata'. Hal ini kerap terjadi di negara-negara miskin dan berkembang.
Pada akhirnya, bisnis ini ikut berperan pula dalam membuka lapangan pekerjaan baru untuk masyarakat sekitar. Dampak terburuknya adalah saat anak-anak di lingkungan sekitar harus tumbuh berdampingan dengan lingkungan wisata tersebut.
Jika menilik ke belakang, wisata seks merupakan sebuah bisnis besar yang telah berkembang puluhan tahun.
Banyak para pebisnis memilih untuk tetap mengembangkan wisata seks ini secara ilegal, lantaran hampir tak mungkinnya mengelola perizinan dari pemerintah serta niat mereka untuk mendapatkan keuntungan yang lebih besar.
Di Indonesia sendiri, masih ada beberapa wilayah prostitusi yang masih beroperasi di remang malam, walau sebagian besar sudah banyak ditutup. Jika begitu, pertanyaan menariknya adalah apakah benar wisata semacam ini dilakukan sepenuhnya secara 'bawah tanah'?