c

Selamat

Senin, 17 November 2025

KULTURA

12 Juli 2022

19:49 WIB

Sewa Atau Beli, Dilema Abadi Kebutuhan Properti

Sewa rumah di perkotaan atau membeli rumah di pinggiran kota yang jauh dari kantor, jadi dilema tanpa henti buat kaum urban, khususnya milenial yang baru bekerja atau berkeluarga

Penulis: Gemma Fitri Purbaya, Tristania Dyah Astuti

Editor: Rendi Widodo

Sewa Atau Beli, Dilema Abadi Kebutuhan Properti
Sewa Atau Beli, Dilema Abadi Kebutuhan Properti
Ilustrasi pemandangan udara Jakarta. Dok Envato

JAKARTA – Berangkat pagi buta dan bermacet-macet ria di jalan, sembari diiringi asap kendaraan menjadi santapan Dimas (27) saban hari. Dia memilih tinggal di Pondok Petir, Depok, sekalipun kantornya berada di kawasan Kuningan, Jakarta Selatan.

Setiap hari, dia menempuh jarak bersih hingga 60 km pulang balik dari dan ke kantor. Waktu tempuhnya beragam, tergantung kondisi jalanan waktu itu.

Sebenarnya kalau bisa memilih, Dimas ingin tinggal di daerah yang dekat dengan kantornya, atau paling tidak masih di wilayah Jakarta. Selain hemat waktu, dia juga bisa menghemat tenaga untuk bolak balik ke kantor.

Sayangnya, harga rumah di Jakarta cukup tinggi, tidak terjangkau dengan penghasilan yang dia peroleh tiap bulan yang tak jauh dari UMR (upah minimum regional).

“Dengan gaji yang belum dua digit, kayaknya agak susah untuk dapat rumah di Jakarta yang harganya sudah miliaran, kecuali ada subsidi dari orang tua, mungkin bisa hidup di Jakarta. Makanya saya pilih untuk miliki aset di pinggiran Jakarta,” tuturnya pada Validnews, Kamis (7/7).

Baca juga: Minat Beli Rumah Tapak Menguat Di Kuartal IV 2021

Sewa atau Beli Rumah

Dimas merasa pertimbangan untuk beli rumah, sekalipun di daerah pinggiran yang jauh dari pusat kota, tidak akan rugi. Dia yakin, dengan terus meningkatnya permintaan akan hunian, harga rumah yang dimilikinya pun bakal terkerek naik. Keyakinan ini pulalah yang mendorongnya untuk memutuskan segera memiliki hunian.

Jargon ‘Senin, Harga Naik’ yang kerap diucapkan Feni Rose, Sang Presenter di iklan properti yang membeli slot waktu di TV nasional, memang begitu melekat. 

Di Indonesia, khususnya Jabodetabek, harga properti memang tak pernah berhenti naik. Kenaikannya, bahkan makin tak terkejar dengan kenaikan penghasilan banyak orang, khususnya kaum milenial yang tengah meniti karier di dunia kerja.

Buat Dimas, membeli rumah juga sebagai salah satu bukti pencapaiannya setelah beberapa tahun bekerja. Dia berpikir, lebih baik membeli rumah di lokasi ‘pinggiran’, ketimbang hanya mengeluarkan uang untuk membayar sewa atau kontrakan.

Baca juga: Bahu Membahu Sediakan Rumah Layak

Tempat ‘Kembali”

Kebutuhan akan tempat tinggal seperti Dimas, juga dirasakan oleh Astuti (29). Sama seperti Dimas, dia memilih untuk membeli rumah di daerah Pancoran Mas, Depok, walau kantornya berada di daerah TB Simatupang, Jakarta.

Perasaan wajib memiliki rumah dirasakannya setelah dia menikah dan memiliki momongan. Hanya saja, sedikit berbeda dengan Dimas, Astuti mengaku memang sengaja memilih rumah di kawasan pinggiran yang letaknya jauh dari kantor dan perkotaan.

Alasannya karena mereka ingin mencari lingkungan perumahan yang masih asri dan jauh dari hiruk pikuk kota. Dia ingin merasakan ‘kabut’ dan udara segar pada pagi hari, karena bersama pasangannya bertekad menjadikan rumah sebagai tempat untuk ‘kembali’ yang nyaman untuk beristirahat.

Konsekuensi harus berdesak-desakan di kereta rel listrik (KRL) pun tak dipermasalahkannya, asalkan dia punya rumah yang aman dan nyaman.

“Kalau dekat kantor memang, sih, dekat, perjalanan gak akan lama juga. Tapi ada ‘cost’-nya. Secara emosional, kita harus terima berisik dengar lalu lalang kendaraan dan klakson (kendaraan). Kalau di tempat yang sekarang itu (rumahnya) masih sunyi, jadi rumah benaran sebagai tempat istirahat untuk fisik dan mental,” ungkap Astuti, Senin (11/7).

Baca juga: Utak Atik Strategi Miliki Properti

Rumah di Pinggiran

Pengamat Properti dan Wakil Ketua Umum Bidang Informasi dan Telekomunikasi Digital Properti Realestat Indonesia Bambang Eka Jaya, umumnya orang beli rumah di daerah pinggiran kebanyakan karena terpentok bujet. Seperti yang Dimas rasakan.

Menurutnya, orang sejatinya cenderung memiliki kebutuhan untuk memiliki hunian dekat kantor atau tempatnya beraktivitas sehari-hari. Sayangnya, untuk beli rumah tapak di daerah perkotaan cenderung sangat mahal, mengingat tidak ada daerah yang bisa dikembangkan.

Tak heran, perumahan di daerah pinggiran pun jadi pilihan. Apalagi, rumah di perkotaan kian lama harganya kian tak terjangkau karena hukum pasar, banyaknya permintaan tak didukung oleh pasokan yang memadai.

“Memang ada minusnya, letak rumah jadi jauh dan membutuhkan waktu yang lama untuk ke kantor. Tetapi dari segi biaya, lebih bagus karena mendapatkan luas tanah yang lebih besar ketimbang di kota dengan harga yang sama. Sehingga ada kualitas hidup juga untuk mereka yang sudah berkeluarga,” tutur Bambang saat dihubungi pada Kamis (7/7).

Bambang bilang, idealnya, pemenuhan kebutuhan primer seperti rumah ini harus dipenuhi oleh pemerintah. Sayangnya, meski pemerintah punya program sejuta rumah, pemenuhan kebutuhan ‘papan’ lebih banyak dilakukan oleh pihak swasta dengan mekanisme pasar terbuka.

Padahal, pemerintah juga seyogianya bisa berkolaborasi dengan pengembang swasta untuk memberikan insentif, KPR dengan bunga khusus, atau membantu pembayaran DP. Dengan begitu, industri perumahan tak benar-benar dikendalikan pasar yang komersial.

Baca juga: Minat Masyarakat Membeli Properti, Masih Tinggi

Sewa Rumah

Lalu, bagaimana memenuhi kebutuhan hunian yang lebih dekat dengan kantor? Wabil khusus buat orang-orang yang tak punya banyak waktu dan energi untuk pulang pergi ke kantor dari rumah yang jauh?

Salah satu solusi populer adalah sewa rumah. Seperti yang dilakukan oleh Shinta (37), yang tinggal di daerah Pasar Minggu, Jakarta Selatan. Shinta tinggal di rumah sewa selama kurang lebih 7 tahun.

Alasannya, semata karena lebih dekat dengan kantor dan akses yang mudah untuk bepergian kemanapun. Di lokasi yang tak jauh dari rumah yang disewa, dia juga bisa menyekolahkan anaknya.

Dia pun mencoba realistis. Saat ini, lebih mudah baginya untuk menyewa rumah, ketimbang harus beli rumah yang harganya sudah melambung tinggi.

“Karena sewa juga, kan, gak harus mengeluarkan biaya maintenance karena ada pemilik rumah yang bertanggung jawab. Jika ada kerusakan, tinggal bilang sama pemiliknya. Kalau punya rumah kan kita sendiri yang harus ngitung kerusakan ini itu,” cerita Shinta Minggu (10/7).

Sejauh ini, untuk membeli rumah di pinggiran Shinta mengaku belum berminat. Beberapa saran kerabat yang menawarkan beli rumah di daerah Bekasi atau Bogor, ditampiknya. Bukan apa-apa, dia merasa terlalu capek harus pulang dan pergi dari kantor ke rumah yang jauh. Waktu yang terbuang pun dirasakannya akan mengurangi quality time bersama keluarga. 

Menurut pengamat properti Anton Sitorus, sebenarnya menyewa rumah sah-sah saja, apalagi buat mereka yang memiliki pekerjaan di tengah kota. Pertimbangan waktu acap kali jadi pertimbangan utama.

Ya, pikir saja, ketimbang menghabiskan waktu di kendaraan, bukankah waktu yang terbuang tersebut, lebih baik dihabiskan bersama keluarga, melakukan hobi, ataupun beristirahat. Apalagi jika ditimbang-timbang, menyewa rumah sering kali lebih hemat dibanding biaya untuk angsuran rumah.

“Efisiensi waktu pengaruhnya banyak, bisa ke kesehatan. Dengan ngontrak, waktunya bisa dipakai untuk berolahraga, family time, quality time. Lebih produktif juga karena pekerjaan jadi lebih cepat selesai atau ada waktu lebih untuk usaha sampingan, dan lainnya. Makanya, kan, ada yang bilang waktu adalah uang, jadi kalau bisa menghemat waktu dampaknya bisa ke mana-mana,” ungkap Anton, Sabtu (9/7).

Baca juga: Timbang-Timbang Miliki Hunian

Jadi Hal Wajib

Anton bahkan tak menyarankan untuk tak merasa tertekan jika harus menyewa atau mengontrak rumah dalam jangka waktu yang cukup panjang. Hal ini menurutnya sudah umum dilakukan banyak orang di kota-kota besar di sejumlah negara di Amerika atau Eropa.

Sayangnya, di Indonesia, kultur tersebut belum sepenuhnya diterima. Kebanyakan orang di sini, masih merasa memiliki rumah adalah ‘hal wajib’ dalam hidup. Tak peduli rumah yang dibeli jauh dari pusat kota dan tempat bekerja.  

Hal ini tak terlepas dari status sosial seseorang yang acap kali diukur dari kepemilikan aset khususnya rumah. Efeknya, tak sedikit orang yang mati-matian mendapatkan rumah idaman demi berada di kelas sosial tertentu.

“Secara umum memang properti itu dibilang prestige, ya, karena kan mudah terlihat. Bisa jadi simbol kesuksesan. Beda dengan investasi di saham atau bank yang uangnya di tabungan banyak sekali, tapi gak kelihatan, orang gak akan bisa lihat ‘kesuksesannya’,” pungkas Anton.

Namun, di tengah kegalauan antara pilihan menyewa properti di kota dengan membeli rumah di pinggiran kota, kata Bambang, sebaiknya seseorang tetap memiliki perencanaan hidup jangka panjang. 

Tak hanya terkait properti, tetapi juga lebih holistik hingga ke kepentingan pasangan, anak, keluarga dan lainnya.

Pendeknya kebutuhan satu orang atau satu keluarga dengan orang atau keluarga lainnya, tak bisa digeneralisasi. Masing-masing punya kondisi, kebutuhan dan preferensi yang juga berbeda dalam menjalani hidupnya.

So, sewa atau beli, semua itu relatif. Tergantung dengan banyak pertimbangan dan apa yang ada pada diri Anda masing-masing, bukan sekadar mendengar saran “Kaum Mendang-Mending” yang tak tahu persis kondisi kehidupan seseorang.


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar