10 Desember 2022
08:58 WIB
Penulis: Andesta Herli Wijaya
Editor: Rendi Widodo
JAKARTA - Keraton Yogyakarta di masa lalu dikenal memiliki banyak properti yang tersebar di penjuru daerah Yogyakarta. Properti tersebut berupa tanah, taman, tempat peristirahatan berupa pendopo ataupun pesanggrahan.
Salah satu yang terkenal dan masih lestari hingga kini yaitu Kedaton Ambarukmo, yang terletak di kawasan Ambarukmo, Kota Yogyakarta. Bangunan yang satu ini termasuk yang paling unik sekaligus penting, karena merupakan saksi sejarah bagi beberapa generasi raja, maupun saksi sejarah untuk berbagai peristiwa revolusi kemerdekaan.
Pesanggrahan atau sering juga disebut Pendopo Ambarukmo, kini tampak hanyalah sebagai salah satu bangunan bergaya lawas yang terjepit di antara Hotel Ambarukmo dan Plaza Ambarukmo. Tapi bagi pemerhati sejarah dan budaya, bangunan ini adalah cagar bernilai yang kelestariannya terus dijaga hingga kini.
Pembangunan Pesanggrahan Ambarukmo secara secara resmi tercatat pada tahun 1897, di masa pemerintahan Sultan Hamengkubuwono VII. Di tahun itulah nama Kedaton Ambarukmo digunakan, untuk menyebut sebuah kompleks yang baru saja selesai dipugar dan dikembangkan oleh Sultan.
Nah, sebelumnya, kompleks tersebut bukan bernama Ambarukmo. Ceritanya panjang, bisa lebih jauh lagi ditarik ke belakang sejak masa Hamengkubuwono II.
Dari Hutan Kerajaan Menjadi Pesanggrahan
Dalam buku "Sultan Hamengkubuwono VII & Kedaton Ambarukmo" yang diterbitkan Dinas Kebudayaan DIY (2016), disebutkan bahwa kompleks Kedaton Ambarukmo dulunya masuk ke dalam kawasan hutan kerajaan bernama Jenu.
Di Masa Sultan Hamengkubuwono II (1792-1812), wilayah kebun kerajaan ini difungsikan sebagai tempat istirahat, penyambutan tamu istana dan tempat perundingan dengan pihak asing.
William Daendels, Gubernur Jenderal Hindia Belanda yang terkenal itu, pernah datang ke kompleks ini untuk melakukan perundingan dengan Sultan Hamengkubuwono II, pada 1809.
Ketika itu, area penyambutan ini belum berbentuk kompleks dengan bangunan yang lengkap, melainkan hanya masih hanya berbentuk pendopo kecil. Namun selalu menjadi tempat yang dipilih untuk urusan-urusan penyambutan tamu, sebelum kemudian diarak menuju istana.
Pemugaran pendopo secara besar-besaran barulah terjadi pada masa Sultan Hamengkubuwono VI, pada tahun 1857. Ketika itu, pendapa yang dirasa terlalu kecil untuk menampung tamu-tamu kerajaan, diperluas dan dikembangkan menjadi berbagai fungsi. Pendapa ini kemudian diberi nama Pesanggrahan Harja Purna.
Pesanggrahan ini memiliki konsep berupa pendapa yang luas berbentuk Joglo Sinom. Bangunan ini menghadap ke arah selatan dengan disangga empat tiang utama atau saka guru, dan 22 tiang pendukung yang kesemuanya berhiaskan wajikan atau belah ketupat hingga hiasan kaligrafi.
Menjadi Kedaton Ambarukmo
Pada masa Sultan Hamengkubuwono VII, pesanggaran kembali mengalami pemugaran dengan perluasan pendapa hingga pembangunan beberapa bangunan lain di sekelilingnya. Di masa itu pula, tempat ini dinamai ulang menjadi Kedaton Ambarukmo.
Perubahan nama itu sejalan dengan perkembangan situasi terbaru di Yogyakarta ketika itu. Pesanggrahan Harja Purna mulai jarang menjadi tempat penyambutan tamu.
Sejak dibangunnya rel dan stasiun kereta api di Yogyakarta, penyambutan tamu lebih sering dilakukan di stasiun. Di samping itu, perubahan nama juga berkaitan dengan langkah Sultan yang merencanakan tempat tersebut menjadi tempat kediaman.
Pemugaran dan pembangunan baru Kedaton Ambarukmo diresmikan oleh Sultan Hamengkubuwono VII pada tahun 1898. Kelak, ketika Hamengkubuwono VII melepaskan tahta pada tahun 1920, Kedaton ini pun menjadi tempat tinggalnya, bersama permaisuri Ratu Kencono dan anggota kerabat Sultan. Di tempat ini pula, Sultan ke-VII meninggal pada tahun 1921.
Setelah itu, Kedaton ditempati oleh Ibu Suri Ratu Kencono, ditemani dua putranya Gusti Pangeran Tejakusuma dan Gusti Pangeran Harya Mangkukusuma. Gusti Kanjeng Ratu Kencono menjadi orang terakhir yang mendiami tempat ini, sebelum kemudian di masa selanjutnya, kedaton mulai beralih fungsi menjadi tempat berbagai kegiatan kerajaan dan publik.
Beragam Fungsi Kedaton Pasca Kemerdekaan
Memasuki masa pemerintahan Hamengkubuwono IX, Kedaton Ambarukmo mengalami banyak perubahan fungsi terutama setelah kemerdekaan. Di masa ini, Kedaton bahkan tidak lagi berada dalam kontrol langsung keraton, melainkan banyak dimanfaatkan untuk kegiatan publik.
Berbagai sumber lisan mengatakan bahwa Kedaton di masa revolusi pernah diduduki tentara Belanda antara tahun 1945 hingga 1949.
Di masa pemerintahan Republik Indonesia pindah ke Yogyakarta, Kedaton sempat difungsikan sebagai perumahan sementara bagi pegawai Kantor Pos, sebelum kemudian beralih menjadi tempat pendidikan Kepolisian Republik Indonesia antara tahun 1949 hingga 1950.
Ada banyak lagi fungsi Kedaton setelah periode revolusi. Misalnya menjadi kantor administrasi Bupati Sleman. Berdasarkan catatan sejarah, ada lima Bupati Sleman yang pernah berkantor di Kedaton ini pada hingga tahun 1964.
Sejarah pemanfaatan Kedaton kemudian berubah lagi di periode 60-an. Sejalan dengan prospek pembangunan proyek-proyek strategis pemerintah pusat di masa itu, Sultan Hamengkubuwono merekomendasikan tanah di kompleks Kedaton Ambarukmo untuk didirikan hotel. Hotel ini resmi didirikan pada tahun 1960.
Kedaton Hari Ini
Sejak dibangun Sultan Hamengkubuwono VI, bentuk pendapa di kompleks Kedaton Ambarukmo tidak banyak berubah. Bentuk Dasar Joglo Sinom di masa kemudian diubah, diperluas menjadi Joglo Ageng dengan tambahan emperan di sisi barat, selatan dan timur.
Di bagian utara pendapa terdapat bangunan lainnya yaitu Dalem, bangunan yang termasuk dalam kompleks Kedaton, berbentuk limasan. Di bangunan inilah dulunya Sultan Hamengku Buwono VII beristirahat.
Di samping pendopo, terdapat bangunan kecil dua lantai yang disebut Balai Kambang. Secara fungsi, dalam konteks Kedaton dulunya, bangunan ini merupakan tempat semedi sekaligus rekreasi.
Selain itu, ada pula bangunan bernama Gandhok, sejenis paviliun yang dulunya merupakan kediaman para putra dan putri raja. Namun, bangunan Gandhok yang ada hari ini tidaklah lengkap karena ada bagian yang dihilangkan untuk pembangunan Hotel Ambarukmo.
Masih ada beberapa lagi bangunan atau fasilitas penunjang di kompleks Kedaton Ambarukmo ini, yang kesemuanya berkaitan dengan fungsi akomodasi bagi raja di masa lalu.
Secara garis besar, penataan Kedaton ini mengadaptasi konsep bangunan keraton yang membagi-bagi ruang ke dalam tiga kategori fungsi, yaitu yang sakral, semi sakral dan profan.
Kedaton Ambarukmo tercatat memasuki babak baru sejak tahun 2005, dengan dilakukannya renovasi Kedaton sekaligus Hotel Ambarukmo yang berada di dalam kompleks tersebut.
Tak sampai di situ, di kemudian hari dibangun pula Plaza Ambarukmo, sehingga akhirnya membuat Pendopo Ambarukmo kian terjepit di antara dua tembok menjulang.
Dalam periode baru tersebut, fungsi pendopo kemudian diintegrasikan bersama fungsi hotel, di mana pendapa menjadi penunjang dan dikelola di bawah manajemen Hotel Ambarukmo.