10 Maret 2025
17:09 WIB
Seniman Hingga Praktisi Hukum Soroti Hak Cipta Karya Seni Di Tengah Gempuran AI
Banyak ruang terjadinya pelanggaran hak cipta ketika seseorang menggunakan AI Generatif untuk menghasilkan karya seperti artikel, lagu, dan lukisan.
Penulis: Andesta Herli Wijaya
Editor: Rendi Widodo
Sesi diskusi bertajuk “Hak Cipta dan Filosofi AI" di Taman Ismail Marzuki. YouTube/ Dewan Kesenian Jakarta
JAKARTA - Skena seni hari ini dalam dilema terkait kehadiran teknologi baru, artificial intelligence atau AI. Para pakar dan seniman berdebat, apakah produk seni hasil perintah atau prompt artificial intelligence (AI) bisa disebut karya seni, hingga bagaimana memandang eksistensi AI apakah ia dapat dianggap sebagai kreator atau hanya alat? Belum lagi persoalan etis terkait hak cipta.
Berangkat dari pertanyaan-pertanyaan itu, sejumlah seniman, pekerja kreatif, akademisi dan praktisi hukum berkumpul dalam panel diskusi bertajuk “Hak Cipta dan Filosofi AI". Diskusi ini digelar di Taman Ismail Marzuki, pada Jumat (7/8) lalu dan juga disiarkan melalu kanal YouTube Dewan Kesenian Jakarta.
Para pekerja kreatif dalam diskusi tersebut membahas soal potensi pelanggaran hak cipta, kolonialisasi data, risiko bias, dan risiko pelebaran kesenjangan sosial dari penggunaan teknologi kecerdasan buatan yang dikendalikan oleh modal-modal besar.
"Ada sisi-sisi yang tidak dipertimbangkan. Dan itu kenapa sebesar apa pun saya sebagai peneliti menyukai kecerdasan buatan, kita memang harus tetap skeptis dan bersikap kritis pada kecerdasan buatan. Jangan langsung jatuh pada kekaguman dan ketakjuban, bahwa mesin ini bisa melakukan apa pun yang kita bayangkan, padahal mesin-mesin ini masih penuh dengan bias," ungkap penulis sekaligus dosen filsafat di Universitas Indonesia, Saras Dewi, dikutip dari siaran pers, Senin (10/3).
Menurut dia, berbagai laporan mengungkap produk-produk AI tersebut dibangun di atas pencurian data. Dengan kata lain, ada sisi-sisi yang belum selesai didudukkan terkait penggunaan AI dalam berbagai bidang industri hari ini, termasuk industri kreatif.
Meski begitu, di tengah keresahan para seniman dan pekerja kreatif, banyak pula seniman sudah mengeksplorasi AI. Seorang seniman di Bali mampu menggunakan AI sebagai alat untuk mengembangkan karyanya. Seniman itu adalah Jemana Murti. Dia melihat AI sebagai peluang dan memanfaatkannya untuk membuat karya.
“Jemana mampu menjadikan AI sebagai mitra,” ujar Saras dalam diskusi yang digelar Dewan kesenian Jakarta bersama Jakarta Poetry Slam dan Kongsi 8.
Hanya saja, lanjut dia, keresahan yang dirasakan seniman dan pekerja seni itu nyata. Keresahan, AI akan menggantikan manusia.
Dosen Fakultas Ilmu Komputer Universitas Indonesia, Riri Satria, juga menyinggung soal keresahan ini. Dia mengatakan, AI bisa menggantikan manusia ketika kualitas berpikir manusia rendah. Namun itu pun berlaku sebaliknya. Dia menyarankan para seniman dan pekerja kreatif untuk tetap berkarya dan mengikuti tuntutan zaman (relevant).
“Selain itu, jika punya kegelisahan, suarakanlah. Nanti dia akan menemukan gaungnya sendiri,” kata Riri.
Saras menambahkan, saat ini, produk seni AI belum bisa menyamai kompleksitas karya seni buatan manusia. Hasilnya, kata dia, sangat monoton karena tidak ada ‘rasa’ yang masuk ke dalamnya.
“Apalagi di sastra. Puisinya kering. Tapi ini sekarang ya. Meski sebenarnya tidak ada karya yang benar-benar individual. Karya saya terpantik oleh karya orang. Oleh karena itu, karya itu kecerdasan kolektif yang diramu. Tapi paling tidak, sekarang ini kita bisa tidur tenang,” tutur dia.
Riri di sisi lain justru mengingatkan tidak ada yang tahu batasan teknologi di masa datang, khususnya AI. Tidak ada yang bisa memprediksi seperti apa kompleksitas AI 10 tahun ke depan. Sebab, kompleksitas AI meniru kompleksitas otak manusia.
Pengawasan Masih Sulit
Pengacara Hak Cipta Dimaz Prayudha membenarkan banyak ruang terjadinya pelanggaran hak cipta ketika seseorang menggunakan AI Generatif untuk menghasilkan karya seperti artikel, lagu, dan lukisan. Pasalnya, pengguna sering kali tak dapat mengontrol karya mana yang dipakai oleh mesin AI untuk menghasilkan karya baru.
“Bagaimana cara mengontrol ciptaan tersebut tidak melanggar hak cipta? Karena ada ribuan data di situ. Kalau lagu 8 bar. Kalau bukan lagu bagaimana? Lukisan? Enggak bisa. Susah,” ujar Dimaz.
Namun, ketika seniman telah menolak karyanya digunakan untuk pengembangan AI, dia bisa menuntut pengguna (prompter) dan perusahaan AI, jika mesin AI terbukti mengambil karyanya.
"Yang bisa ditarik sebagai pihak yang digugat pertama adalah si pengguna mesin AI (pemberi instruksi atau prompt), dan yang kedua adalah perusahaan AI itu sendiri karena menciptakan mesin yang memungkinkan pengambilan karya ini terjadi,” kata Dimaz.