c

Selamat

Senin, 17 November 2025

KULTURA

24 Oktober 2023

12:27 WIB

Sengkarut Masalah Royalti Lagu, Kinerja LMKN Jadi Sorotan

Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) dianggap belum menjalankan perannya dengan baik, sehingga hak royalti masih sulit diterima oleh pencipta.

Penulis: Andesta Herli Wijaya

Editor: Satrio Wicaksono

Sengkarut Masalah Royalti Lagu, Kinerja LMKN Jadi Sorotan
Sengkarut Masalah Royalti Lagu, Kinerja LMKN Jadi Sorotan
Yovie Widianto membicarakan masalah royalti lagu dalam diskusi tentang hak cipta musik di Kemang Icon, Jakarta Selatan, Kamis (12/10). Foto: Validnews.id/ Andesta.

JAKARTA - Persoalan royalti lagu, utamanya di lini performing rights atau pertunjukan, belakangan jadi fokus perhatian para pencipta. Dari ketidakpuasan pencipta atas ‘gap’ pendapatan komposer dengan penyanyi, berlanjut ke fenomena larang-melarang penggunaan lagu.

Tengah tahun ini, para pencipta akhirnya membentuk wadah perjuangan bersama. Gerakan yang diberi nama Asosiasi Komposer Seluruh Indonesia (AKSI), mengemban misi untuk memperjuangkan hak-hak royalti segenap pencipta lagu atau komposer di Indonesia.

Masalah royalti lagu jadi isu luas terutama sejak kebangkitan industri pertunjukan pasca pandemi. Di era ‘demam’ konser dan festival saat ini. Para pencipta semakin menyadari bahwa industri ini belum memberikan ‘bagian’ yang seharusnya diterima mereka. Sementara para penyanyi terus tampil dari panggung ke panggung dan mendulang pendapatan besar.

Musisi pencipta lagu, Yovie Widianto mengutarakan, hiruk-pikuk persoalan royalti lagu disebabkan faktor pengumpulan royalti oleh negara yang tidak optimal, sekaligus juga kurang transparan. Menurutnya, Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) dianggap belum menjalankan perannya dengan cukup baik, sehingga hak royalti masih sulit diterima oleh pencipta.

Jika ada, maka nilai yang diterima pencipta pun sama sekali kecil, imbas dari tidak optimalnya collecting yang berjalan. Karena nilai yang dikumpulkan tak seberapa, sementara industri pertunjukan musik sedang begitu jaya, maka soal transparansi pun menjadi perhatian.

Apa benar LMKN telah mengumpulkan dan mendistribusikan semua hak-hak pencipta?

“Di pengalaman saya, sebenarnya apa yang jadi kekisruhan saat ini saat ini mungkin akan terkurangi atau terminimalisasi kalau misalnya LMKN dan LMK-LMK-nya perform, dalam artian transparansinya lebih terbaca lagi,” ungkap Yovie dalam diskusi interaktif ‘Prinsip-Prinsip Hak Cipta Musik’ di bilangan Kemang, Jakarta Selatan, beberapa waktu lalu.

Sebagai komposer, Yovie mendorong ada perbaikan pada LMKN dari waktu ke waktu. Terutama pada soal transparansi. Menurutnya, banyak pandangan-pandangan yang masih meragukan, mempertanyakan kinerja lembaga yang ditugasi negara untuk mengurus hak royalti para musisi tersebut.

Lebih jauh, tentang polemik royalti yang kian banyak bermunculan, Yovie menyerukan ‘rekonsiliasi nasional’ agar semua pihak bisa melihat persoalan dalam perspektif yang sama. Menurutnya, peran LMKN dalam hal ini penting untuk memberi penegasan, memberi penjelasan secara utuh tentang mekanisme dan ‘situasi’ collecting di Indonesia saat ini.

Yok, kita gak bisa menghindari lagi dari yang namanya transparansi, karena transparan bisa tetap cuan kok, nggak ada masalah di sana. LMKN juga harus mau diaudit, jadi semuanya teraudit dengan baik,” tuturnya.

Collecting Minim

Pandangan Yovie cukup beralasan jika menengok kondisi dan mekanisme royalti di Indonesia saat ini. Undang-Undang Hak Cipta tahun 2014 memosisikan LMKN sebagai juru kunci dalam pengumpulan dan pendistribusian royalti lagu, atas penggunaan lagu secara komersial, mulai dari penggunaan di pertunjukan, pemutaran di restoran hingga hotel.

Distribusi royalti oleh LMKN sendiri berjalan bertingkat. Dari LMKN, dana royalti didistribusikan lagi ke LMK-LMK yang menekan langsung kerja sama pemungutan royalti dengan pencipta lagu. Artinya, ada dua tahap pendistribusian yang bisa membuat isu transparansi kian berpotensi dipertanyakan.

Di sisi lainnya, pengumpulan royalti oleh LMKN juga memang masih jauh dari ideal. Per tahun 2020, lembaga ini hanya mencatat nilai royalti terkumpul sekitar Rp35 miliar. Jumlah yang jauh dari nilai ideal, mengingat potensi royalti di Indonesia mencapai triliunan rupiah, diakui sendiri oleh Ketua LMKN Dharma Oratmangun, saat wawancara dengan Validnews pada April lalu.

Dharma juga menyebutkan bahwa lini pertunjukan termasuk yang masih minim dalam hal penyetoran royalti.

LMKN sendiri menghadapi banyak tantangan dalam pengumpulan royalti lagu dari seluruh wilayah Indonesia. Soal kepatuhan dari pengguna lagu kian sulit dihadapi karena tak adanya mekanisme sanksi yang tegas dan mengikat untuk para pelanggar. Belum lagi soal terbatasnya sumber daya di LMKN untuk mengawasi penggunaan lagu dari seluruh penjuru negeri. 

Berbagai tantangan itu menjadi alasan minimnya nilai royalti hingga saat ini. Dan itu pula yang membuat banyak pihak mempertanyakan posisi LMKN.

Promotor Berat Hati setor ke LMKN

Pelaku event, pendiri New Live Entertainment, Dino Hamid mengatakan, persoalan royalti lagu masih belum menjadi perhatian semua promotor. Sebagian penyelenggara pertunjukan umumnya paham kewajiban mereka atas hal tersebut, namun ada pula yang tak paham.

Kalaupun sudah paham kewajiban tersebut, justru banyak penyelenggara pertunjukan masih ‘berat hati’ untuk menyetor royalti ke LMKN. Kalimat alasannya bisa beragam, namun semua mengarah pada kesan mempertanyakan transparansi dan kinerja LMKN.

“Belum semua promotor itu ikhlas membayar performing rights, karena apa, dasarnya banyak. Kayak saya sendiri saja, termasuk yang lumayan rajin lah sejak 2015 sudah bayar. Itu saya nggak tahu juga nyampai apa enggak. Tapi kita tahu ada hak orang lain di situ, itu saya paham. Tapi banyak juga yang belum paham,” ungkap Dino saat berbicara di forum yang sama dengan Yovie Widianto.

Menurut Dino, beberapa promotor memiliki pengalaman sulitnya mendapatkan informasi yang transparan soal pengumpulan dan pendistribusian royalti oleh LMKN. Akhirnya, banyak yang merasa ragu, tak yakin uang yang dibayarkan betul-betul sampai ke tangan musisi.

Pemahaman dan pandangan para promotor itu kebetulan ‘klop’ dengan pengakuan sejumlah musisi yang mencuat belakangan ini. Bahwa mereka tak menerima uang royalti dari pertunjukan lagu-lagu mereka.

Dino sendiri sepakat dengan Yovie bahwa harus ada transparansi dalam pengumpulan dan pendistribusian royalti untuk para pencipta lagu. Menurutnya, di era digital saat ini, transparansi jadi kunci. Khusus lagi di industri pertunjukan musik yang kini jadi salah satu bidang industri paling sibuk di tanah air, berkembang jauh dari masa sebelum pandemi.

“Karena isu yang lama akan terus tertanam, ini duit nyampe apa enggak sih? Nah ini yang perlu disosialisasi,” ucap Dino yang juga dikenal sebagai Ketua Asosiasi Promotor Musik Indonesia.

Ragu-ragunya promotor menyetor royalti ke LMKN juga beririsan dengan fakta bahwa royalti performing rights yang sebesar 2%, itu bisa memberatkan bagi promotor jika event yang digelar ternyata merugi. Istilahnya, sudah rugi, harus bayar royalti yang transparansinya masih dipertanyakan pula.

“Dan memang ini soal bisnis. Saat ada duitnya, ya baru bunyi. Saat belum ada duitnya kan adem semuanya,” pungkas Dino.

 


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar