c

Selamat

Minggu, 16 November 2025

KULTURA

20 Agustus 2022

17:38 WIB

Selubung Candu Gaya Hidup Digital

Ratusan juta orang sudah terbiasa dengan praktik berbelanja secara online. Perilaku bijak menjadi penting untuk tak terjebak dampaknya.

Penulis: Andesta Herli Wijaya

Editor: Rendi Widodo

Selubung Candu Gaya Hidup Digital
Selubung Candu Gaya Hidup Digital
Ilustrasi driver ojek online memilih buah-buahan pesanan untuk ditimbang pada Pasar Mitra Tani. ANTARA FOTO/Feny Selly

JAKARTA – Berbelanja secara online telah menjadi bagian dari keseharian masyarakat di Indonesia, bahkan dunia. Dengan berbagai layanan platform; dari penjualan barang, pesan antar makanan, hingga layanan transportasi online yang semakin berkembang, orang-orang makin dimudahkan dalam memenuhi kebutuhannya.

Tak perlu datang ke toko atau pasar. Dengan tetap rebahan saja, siapapun sudah bisa membeli apapun yang dia inginkan diantar hingga ke depan pintu. Platform-platform marketplace seperti Shopee dan Tokopedia. Atau layanan transportasi seperti Gojek hingga Grab, muncul sebagai aplikasi yang ada di hampir semua ponsel pintar.

Aplikasi-aplikasi tersebut telah menjadi semacam ‘asisten segala urusan’. 

Nia (29 tahun) contohnya, adalah salah satu orang yang aktif menggunakan layanan online tersebut sejak beberapa tahun silam. Ibu rumah tangga asal Depok ini terbilang ranjing dengan layanan Gojek dan Grab untuk membeli makanan sehari-hari.

Jika memerlukan barang-barang kebutuhan rumah tangga seperti sabun, odol, keranjang sampah hingga mainan untuk anak, Nia tinggal membuka salah satu aplikasi yang ada. Tinggal usap, pilih barang, lalu barang akan dikirimkan ke rumah dalam waktu satu atau dua hari kemudian.

“Menurut gue kalau dibilang terbantu sangat terbantu. Gue kan istri ya, dan gue juga bekerja. Jadi banyak banget hal-hal yang misalnya gue enggak bisa masak karena harus masuk kantor dan segala macam, akhirnya gue milih untuk GoFood (layanan Gojek),” tutur Nia kepada Validnews, beberapa waktu lalu.

Efektif, Murah dan Mudah, Benarkah?
Alasan Nia menggunakan layanan pesan antar makanan atau platform belanja online adalah karena kemudahan dan efisiensi waktu. Harga murah juga menjadi penguat alasan. 

Sebenarnya akhir-akhir ini Nia merasakan adanya kenaikan tarif ongkos kirim (ongkir) untuk layanan pesan antar makanan di beberapa aplikasi. Namun dia menilai, harga itu relatif tetap lebih murah dibandingkan jika harus keluar langsung menghabiskan bensin kendaraan, dan juga membuang waktu,

Di samping itu, juga masih ada banyak diskon dan promo yang ditawarkan oleh platform penyedia layanan tersebut.

Alasan yang sama juga berlaku pada Dian Pratama Sulistyawati (23 tahun), untuk berbelanja di platform marketplace ataupun layanan pesan antar makanan. Kepada Validnews, perempuan yang berdomisili di Yogyakarta ini bercerita bahwa setiap minggunya, setidaknya dia memesan makanan dan minuman dari layanan online sekitar 3-4 kali.

Seperti Nia, Dian pun mengamini alasan praktis di balik pilihan berbelanja online. 

“Enggak usah keluar meluangkan waktu buat ke toko, begitu sih. Jadi lebih praktis, fleksibel banget buat orang yang sibuk. Apalagi sekarang marketplace kalau pas event banyak gratis ongkir-nya,” tutur Dian.

Dian juga rutin berbelanja bulanan di marketplace. Tetapi, dia juga punya jadwal berbelanja khas, yaitu di momen-momen tertentu yang banyak promo dan diskon dari marketplace. Misalnya pada tanggal cantik, saat promo lebih besar dari waktu-waktu biasanya.

“Keuangan sih jadi enggak stabil. Dana darurat dana tabungan itu benar-benar terkikis untuk memenuhi kebutuhan Shopee Food, GoFood. Karena kesulitan gua dalam manajemen waktu, itu buat gue akhirnya spend uang lebih banyak untuk kebutuhan primer,” terang Nia.

Dian memperhatikan kian tingginya biaya yang dihabiskan untuk setiap transaksi, termasuk pembelian-pembelian makanan.

Menurutnya, kenaikan sekitar Rp3.000 hingga Rp5.000 saja sudah terasa berat jika dihitung untuk beberapa kali transaksi pesan antar makan online. Sebaliknya, ini belum membuatnya berpikir akan berhenti menggunakan layanan belanja online. Di top of mind, Dian merasa manfaat beragam aplikasi itu masih jauh lebih besar ketimbang tambahan uang yang mesti dikeluarkannya.

Apa yang dirasakan Dian ini kurang lebih sama dengan Nia dan banyak orang lainnya. Mereka merasa sudah telanjur menyatu dengan ‘candu’ berbelanja online. 

“Secara juga aku sudah cukup tergantung dengan layanan online, akan kesusahan kayaknya kalau itu enggak ada,” aku Dian.

Candu Belanja Online
Soal biaya tambahan ini, belakangan dikeluhkan para pengguna layanan belanja online di berbagai tempat.

Dalam konteks ini pembacaan atas strategi marketing perusahaan penyedia layanan belanja online mengemuka. Ada selentingan tentang masa ‘bakar duit’ oleh marketplace sudah habis, makanya kini subsidi berupa promo dan diskon mulai berkurang, dan tarif mulai merangkak naik.

Pakar Marketing dari lembaga Inventure, Yuswohady mengungkapkan pandangannya. Baginya, masa beberapa tahun terakhir adalah masa pembentukan habit oleh perusahaan penyedia marketplace ataupun layanan transportasi online. 

Ketika itu, masyarakat pengguna dimanjakan agar bisa tertarik dan menjadi bagian dari ekosistem baru yang hendak dibangun, yaitu berbelanja secara online.

Kini, puluhan bahkan ratusan juta orang sudah terbiasa dengan praktik berbelanja secara online layaknya Dian dan Nia. Jika tarif layanan naik, apakah orang-orang lantas akan beralih ke pola belanja konvensional? Jawaban Yuswohady adalah tidak.

“Istilahnya, mereka sudah kecanduan, habit-nya sudah terbentuk. Kita sudah terbentuk perilakunya. Maka mau dinaikkan berapapun kita akan tetap bayar,” ungkap Yuswohady saat berbincang dengan Validnews, Minggu (14/8) lalu.

Yuswohady membaca peran pandemi dalam mengakselerasi pembentukan kebiasaan belanja online di tataran masyarakat. Pandemi telah memicu percepatan dalam transformasi ekonomi digital, sehingga kultur digital ataupun kultur serba online, itu terbentuk dengan lebih cepat pula.

Menurutnya, kehadiran layanan belanja online adalah keniscayaan di era ini dan yang akan datang. Jika pun ada kenaikan tarif layanannya, pengguna hanya bisa pasrah, karena merasa memang sudah membutuhkannya.

Tinggal lagi pentingnya peran pemerintah untuk terlibat, memastikan bahwa operasi perusahaan-perusahaan marketplace nantinya tidak berkembang ke dalam skema kartel yang bisa merugikan masyarakat konsumen.

“Digital kan memudahkan, dimensi ruang bisa kita lewati. Artinya bagi konsumen modern itu kan pengurangan waktu, efisiensi waktu itu kunci. Makanya ini menurut saya suatu proses yang memang pasar menghendaki begitu,” terangnya.

Di samping antusias menyambut perkembangan ekosistem digital, Yuswohady juga menyadari adanya dampak-dampak tertentu yang bisa muncul dari tren budaya baru ini. Mulai dari memicu perilaku konsumtif, hingga berdampak pada mental masyarakat yang jika tak bijak, bisa hanyut karena terlalu dimanjakan layanan online. Dalam hal ini, kearifan konsumen lah yang berperan.

Ilusi Belanja ‘Hemat’
Terlepas dari segala kenyamanan berbelanja online itu, Nia maupun Dian sebagai pengguna layanan sama-sama punya kesadaran akan adanya dampak kurang sehat dari kebiasaan berbelanja online yang terlalu intens.

Secara tidak sadar, kehadiran layanan online telah membuat mereka jadi lebih jarang bergerak dan keluar rumah untuk berinteraksi dengan lingkungan sekitarnya.

Sisi lainnya, kemudahan yang dihadirkan aplikasi secara bawah sadar memicu keinginan untuk berbelanja yang lebih besar, lebih konsumtif. Atau jika berkaitan dengan makanan, pengguna bisa terjebak dalam zona nyaman untuk selalu membeli ketimbang memasak sendiri.

Annisa (27 tahun), seorang perempuan pekerja yang menetap di Jakarta memberi contoh sebuah kasus yang agaknya sering terjadi pada banyak pengguna marketplace, yaitu membeli barang yang sejatinya tidak dibutuhkan.

Annisa pernah membeli sebuah barang rumah tangga seharga Rp200 ribu, setelah dapat promo potongan harga lebih dari Rp600 ribu. Dia bergembira, antusias dengan pembelian tersebut, karena merasa telah menghemat uang hingga Rp600 ribu.

Padahal yang tidak disadari oleh Annisa kala membeli barang itu adalah bahwa dia tidak yakin betul apakah barang tersebut akan terpakai atau tidak. Dan terbukti, hampir setahun sejak dibeli, barang tersebut tak pernah dibuka dari packing asalnya.

Jadi, sekali lagi, benarkah Annisa telah menghemat uang?

Dalam bentuk kasus lain, hal-hal serupa juga dialami oleh Nia, misalnya, yang sering kali tanpa direncanakan membeli barang-barang kebutuhan rumah tangga di marketplace dalam jumlah lebih banyak dari yang dibutuhkan. Juga Dian yang kadang-kadang, terpicu oleh iklan promo, akhirnya membeli sesuatu tanpa direncanakan lebih dulu.

Tentunya tak semua orang seperti Annisa, Nia, ataupun Dian. Darisman (29 tahun) adalah salah satu contoh yang kontras dengan penggambaran di sepanjang tulisan ini.

Darisman adalah pengguna layanan marketplace yang tidak terlalu aktif berbelanja. Dia hampir tak pernah menggunakan layanan pesan antar makanan online. Paling-paling, dia hanya berbelanja online sesekali untuk keperluan seperti baju, tas ataupun sepatu. Itupun, Darisman sering kecewa karena menemukan barang yang dibeli terkadang tak sesuai ekspektasi. Karenanya, dia mengaku tak terlalu suka berbelanja secara online.

Dia punya banyak alasan untuk itu, termasuk alasan tak berbelanja makanan via online karena merasa akan lebih baik jika ia sendiri yang bergerak, keluar rumah untuk mendatangi tempat makan.

“Ya salah satunya supaya tidak terlalu dimanjakan dengan belanja online ya, biar tubuh tetap bergerak juga. Selain itu, suka enggak nyaman juga kalau pesan makanan, terus diantar sama ‘kang ojol. Sering jadi pikiran, mereka membelikan kita makanan, tapi apakah mereka sendiri sudah makan,” tutur Darismasan.

Dampak Tren 
Menilik fenomena ini, Nirmala Ika, psikolog dari lembaga Enlightmind menjelaskan bahwa aktivitas belanja pada dasarnya adalah proses yang dapat memberi kesenangan atau rekreasi.  

Namun, kesenangan dari berbelanja umumnya hanya kesenangan sementara, tak menjadi kebahagiaan yang lebih kuat dan nyata.

Pengajar di Fakultas Psikologi Universitas Indonesia ini memandang, sebagian orang ada yang memilih berbelanja secara online yang terbilang mudah dan nyaman, memang untuk mencari kesenangan sebagai upaya pelepasan stres. Meski hal itu tidak salah, Nirmala mewanti--wanti agar para pengguna layanan belanja online tetap bijak.

Termasuk di sini yaitu potensi masalah utang, mengingat banyak layanan belanja online menyediakan opsi cicilan atau paylater.

“Kadang kita jadi lupa, kan ada efeknya juga. Pertama uang kita makin terkuras, dulu kita bisa nahan misalnya kalau mau belanja langsung, mau ke pasar tempatnya terlalu jauh, kita akhirnya menunda. Uang enggak jadi keluar. Sekarang dengan segala kemudahan fasilitas, di HP bisa semua, sering kali pengeluaran jadi enggak terkontrol,” beber Ika.

Hal lainnya yang harus diperhatikan juga adalah tentang ilusi murah atau hemat yang kadang salah dipahami. Kadang seseorang membeli suatu barang dalam jumlah lebih banyak karena memang dijual dalam satu paket, namun diberi harga promo.

Selain itu, sisi yang tak kalah penting untuk diperhatikan, yaitu pemenuhan kebutuhan psikologis manusia. Seperti disebutkan sebelumnya, layanan belanja atau pesan antar makanan online memungkinkan orang-orang hari ini untuk tetap bisa memenuhi kebutuhan harian rumah tangganya tanpa harus keluar rumah.

Habit seperti itu jika terus berlanjut secara intens, akan memberi dampak negatif secara psikologis. Kebiasaan belanja rebahan membuat orang akhirnya jarang keluar rumah, jarang berinteraksi dengan lingkungan, dan juga kurang peka terhadap sekitarnya.

“Ketika kita hanya di kamar saja, itu pasti sangat akan berpengaruh, salah satunya pada kemampuan kita beradaptasi, kemampuan kita untuk melihat persoalan hidup, itu akan ngaruh mental kita,” jelas Nirmala.

Pernyataan Nirmala mungkin terdengar berlebihan saat ini. Namun menurutnya, itu adalah pengaruh jangka panjang. Tidak terasa saat ini, namun berpotensi mengancam kesehatan mental di masa depan. Belum lagi ancaman kesehatan fisik yang muncul akibat tubuh yang minim aktivitas.

“Yang dibutuhkan bukan menolak layanan itu, karena memang itu membantu. Tapi kita sebagai manusianya yang harus bijak. Termasuk membedakan mana yang benar-benar kita perlu, mana yang sekadar kita ingin, saat berbelanja,” tutupnya.


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar