c

Selamat

Minggu, 16 November 2025

KULTURA

08 April 2024

15:05 WIB

Selisik Sejarah Tradisi Silaturahmi Halalbihalal Khas Indonesia

Halalbihalal menjadi salah satu adopsi tradisi masyarakat muslim Indonesia yang mengakar kuat. Karakter masyarakat Indonesia yang terbuka pun mendorong lestarinya tradisi ini.

Penulis: Annisa Nur Jannah

<p>Selisik Sejarah Tradisi Silaturahmi Halalbihalal Khas Indonesia</p>
<p>Selisik Sejarah Tradisi Silaturahmi Halalbihalal Khas Indonesia</p>

Ilustrasi halalbihalal. Freepik

JAKARTA - Di Indonesia, momen perayaan Hari Raya Idulfitri tak bisa dillepaskan dari tradisi mengunjungi sanak saudara atau rekan untuk bersilaturahmi dan bermaaf-maafan yang lebih dikenal dengan sebutan halalbihalal.

Meski berasal dari bahasa Arab, tradisi Halalbihalal telah diadopsi secara khas di Indonesia. Dalam bahasa Arab, kata "Halla" atau "Halala" memiliki makna yang luas dan sesuai dengan konteksnya dalam kalimat.

Maknanya dapat mencakup penyelesaian masalah, merapihkan kebingungan, mencairkan ketegangan, atau melepaskan keterbelengguan, bergantung pada situasi dan konteks penggunaannya. Selain itu, kata tersebut juga sudah resmi terdaftar dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI).

Dalam KBBI, kata halalbihalal memiliki dua arti. Arti yang pertama yakni hal maaf-memaafkan setelah menunaikan ibadah puasa Ramadan, biasanya diadakan di sebuah tempat (auditorium, aula, dan sebagainya) oleh sekelompok orang. Kemudian, arti kedua dari halalbihalal dikenal sebagai bentuk silaturahmi.

Lantas, banyak yang penasaran bagaimana sejarah panjang halalbihalal bisa menjadi tradisi di Indonesia yang begitu kokoh dan berakar kuat dalam budaya dan kehidupan masyarakatnya.

Dalam dari laman Kemendikbukristek menyebutkan sejumlah versi asal usul istilah halalbihalal. Istilah ini berasal dari kata “halal behalal”. Kata tersebut masuk dalam kamus Jawa-Belanda karya Dr. Th. Pigeaud pada tahun 1938.

Dalam kamus tersebut, halal behalal diartikan sebagai "berpulang dengan damai (salam) untuk saling bermaaf-maafan di waktu Lebaran". Mulanya ada pedagang martabak asal India yang berdagang di Taman Sriwedadi Solo, sekitar tahun 1935-1936. Martabak kala itu menjadi makanan yang baru bagi masyarakat.

Saat menjajakan dagangannya, pedagang asal India itu dibantu dengan pembantu primbuminya, lalu mempromosikan dagangannya dengan kata-kata ‘martabak Malabar, halal bin halal, halal bin halal’.  Sejak saat itu, istilah halalbihalal mulai populer di masyarakat Solo.

Masyarakat kemudian menggunakan istilah ini untuk merujuk pada kegiatan seperti pergi ke Sriwedari di hari lebaran atau silaturahmi di hari lebaran.

Lalu, versi kedua menyebut halalbihalal berasal dari KH Abdul Wahab Hasbullah pada tahun 1948. KH Wahab merupakan seorang ulama pendiri Nahdatul Ulama (NU) yang sangat berpengaruh.

Pada saat itu, KH Wahab memperkenalkan istilah halalbihalal kepada Bung Karno sebagai bentuk silaturahmi antar-pemimpin politik yang pada saat itu masih terdapat konflik.  Atas saran KH Wahab, pada Hari Raya Idulfitri pada tahun 1948, Bung Karno mengundang seluruh tokoh politik untuk datang ke Istana Negara menghadiri silaturahim yang diberi judul 'Halalbihalal'.

Para tokoh politik akhirnya duduk bersama di satu meja, menunjukkan kesatuan dan persaudaraan dalam semangat bermaaf-maafan. Sejak saat itulah berbagai instansi pemerintah di masa pemerintahan Bung Karno menyelenggarakan halalbihalal sebagai bagian dari budaya silaturahmi dan rekonsiliasi.

Halalbihalal kemudian diikuti oleh masyarakat Indonesia secara luas, terutama masyarakat muslim di Jawa sebagai pengikut para ulama. Dan halalbihalal menjadi acara silaturahmi saling bermaafan saat Lebaran yang menjadi tradisi yang kuat di masyarakat Indonesia hingga saat ini.


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar