21 Agustus 2023
08:13 WIB
Penulis: Annisa Nur Jannah
Editor: Satrio Wicaksono
JAKARTA - Kekhawatiran terhadap pertumbuhan jumlah limbah dan polusi dari industri fesyen menjadi sangat beralasan. Industri fesyen global menjadi kontributor besar terhadap masalah lingkungan dan keberlanjutan.
Beberapa kekhawatiran yang muncul termasuk peningkatan sampah tekstil, pencemaran lingkungan, sulitnya mendaur ulang karena bahan sintetis yang digunakan, hingga dampak sosialnya.
Chitra Subyakto selaku founder and creative director Sejauh Mata Memandang menjelaskan, bukan hanya dunia fesyen yang meninggalkan jejak karbon. Menurutnya. Melainkan apapun yang diproduksi di Bumi ini pasti menimbulkan jejak karbon.
"Di sini yang perlu diperhatikan adalah selalu berusaha lebih bertanggung jawab pada saat berkarya atau memakainya. Makannya, kita bisa mengadopsi gaya hidup slow fashion," ujar Chitra kepada Validnews.id, Jumat (18/8).
Slow fashion adalah gerakan dalam industri pakaian yang mendorong pemikiran lebih dalam, kesadaran, dan tanggung jawab terhadap cara kita membeli, menggunakan, dan membuang pakaian. Prinsip utamanya adalah memprioritaskan kualitas daripada kuantitas, serta mempromosikan praktik-praktik yang lebih berkelanjutan secara sosial, lingkungan, dan ekonomi.
Cara Memulai Gaya Hidup Slow Fashion
Chitra menuturkan, menerapkan gaya hidup slow fashion harus dimulai dari diri sendiri. Misalnya, memilih produk yang trendless, timeless, sehingga bisa dipakai sampai kapanpun jangka masa pakainya bisa lebih panjang lagi," tambah Chitra.
Selanjutnya, perhatikan label pada baju tersebut, apakah mengandung bahan poliester atau tidak. Poliester adalah jenis serat sintetis yang umum digunakan dalam produksi pakaian. Karenanya menjadi salah satu perhatian.
Pasalnya bahan poliester memiliki dampak negatif terhadap lingkungan, karena sifatnya yang sulit terurai. Jika dibuang begitu saja, bahan ini membutuhkan puluhan hingga ratusan tahun untuk terurai.
Baca juga: Dampak Tersembunyi Di Balik Tren Fesyen
Selain itu saat pencucian, serat mikroskopis atau mikroplastik yang terkandung dalam bahan tersebut dapat terlepas dan mencemari air. Mikroplastik ini dapat berakhir di lingkungan air, berpotensi merusak ekosistem air.
"Kita perlu pelan-pelan melihat labelnya. Karena ada juga produsen yang mengklaim produknya alami tetapi tetap menggunakan berapa persen poliester. Setelah pembelian, sebaiknya merawat pakaian yang sesuai dengan tipe bahan, sehingga dapat memperpanjang masa pakainya sebuah produk," tuturnya.
Gaya hidup slow fashion yang sudah dijelaskan juga menerapkan konsep repair atau memperbaiki produk rusak. Untuk itu, ketika pakaian atau produk fesyen yang robek, Anda bisa menjahitnya atau menambahkan hiasan menarik.
"Kalau Anda bosan dengan modelnya, bisa meng-create pakaian tersebut dengan tidak menyisakan perca," kata Chitra.
Namun, yang menjadi kendala adalah bosan dengan barang yang dimiliki. Chitra menjawab, keluhan tersebut dengan menukar barang yang kita punya dengan orang lain, karena ada banyak wadah di media sosial yang bisa kita jadikan tempat untuk bertukar pakaian.
"Atau kalau memang sudah tidak mau dipakai lagi karena kita sudah cukup bijaksana, Anda bisa memberikannya kepada orang lain," pungkasnya.