23 Februari 2023
14:56 WIB
Penulis: Mahareta Iqbal
Editor: Satrio Wicaksono
JAKARTA - Keragaman budaya yang ada di Yogyakarta menjadi salah satu pemikat wisatawan untuk berkunjung ke sana. Namun, tak hanya itu, Yogyakarta juga punya banyak jejak sejarah yang menarik untuk diulik. Tidak sedikit peninggalan-peninggal sejarah yang telah bertransformasi menjadi kawasan wisata, salah satunya Makam Raja-Raja Imogiri.
Kompleks Makam Raja-Raja Imogiri merupakan kawasan makam raja-raja Mataram Islam yang terletak di perbukitan Imogiri (perbukitan Pajimatan Girirejo), Bantul, Yogyakarta, tepatnya di wilayah Desa Girirejo dan Desa Wukirsari. Masyarakat Jawa meyakini bahwa gunung atau bukit dapat menyimbolkan status sekaligus merupakan upaya untuk lebih mendekatkan diri kepada Yang Maha Kuasa.
Makam yang didirikan pada masa pemerintahan Sultan Agung tersebut memang diperuntukkan untuk raja dan kerabat kerajaan Mataram Islam beserta keturunannya.
Ada sebuah kisah yang hidup di masyarakat sekitar tentang kenapa Sultan Agung memilih perbukitan Pajimatan Girirejo untuk membangun pemakaman ini. Dulu, sewaktu Sultan Agung sedang mencari wilayah yang akan digunakan untuk tempat pemakaman khusus sultan dan keluarganya, ia melemparkan segenggam pasir dari Arab.
Pasir tersebut dilempar jauh hingga akhirnya mendarat di perbukitan Imogiri. Atas dasar itulah selanjutnya Sultan Agung memutuskan membangun makam di Imogiri.
Imogiri sendiri berasal dari kata hima dan giri. Hima berarti kabut dan giri berarti gunung, sehingga Imogiri bisa diartikan sebagai gunung yang diselimuti kabut.
Pada tahun 1632 M, seorang arsitek bernama Kyai Tumenggung Tjitrokoesoemo membangun kawasan makam atas perintah dari Sultan Agung. Setelah 13 tahun berlalu, tepatnya pada 1645, Sultan Agung wafat. Ia kemudian dimakamkan di Imogiri.
Ziarah ke Makam Sultan Agung
Hingga saat ini, makam Sultan Agung sangat dikeramatkan dan tidak sembarang orang bisa memasuki makamnya. Ada persyaratan yang harus dipenuhi bila berniat melakukan ziarah ke makam Sultan Agung yakni, para peziarah dilarang menggunakan alas kaki, membawa kamera, memakai perhiasan terutama dari emas dan harus mengenakan pakaian khas Jawa atau peranakan.
Bagi peziarah laki-laki, harus mengenakan pakaian adat Jawa berupa blangkon, beskap, kain, sabuk, timang, dan samir. Sementara itu, bagi peziarah perempuan harus memakai kemben dan kain panjang.
Bagi yang berhijab harus melepas hijabnya saat masuk ke makam Sultan Agung. Secara umum, di area makam dan hutan tersebut para wisatawan dilarang berbuat tidak sopan, berburu, memotong pohon, mengambil kayu, dan mencabut atau merusak tanaman yang ada.
Tak hanya penziarahan, ada aktivitas tradisi lain yang dapat dilakukan dan ditemukan di Komplek Makam Raja Imogiri.
Upacara dan Tradisi
Ada beberapa tradisi sakral yang masih dijalankan di sana hingga sekarang yaitu, kuthomoro dan nguras enceh.
Kuthomoro adalah tradisi keraton mengirim doa di bulan Ruwah. Tradisi kirim doa tersebut ditujukan untuk para leluhur Keraton Yogyakarta yang telah dikebumikan di makam-makam Kagungan Dalem. Tradisi ini sudah ada sejak Sri Sultan Hamengku Buwono I.
Sementara itu, tradisi nguras enceh dilaksanakan setiap hari Jumat Kliwon pada bulan Sura setelah jamasan pusaka (siraman pusaka) Keraton Yogyakarta, yang dilaksanakan pada setiap hari Selasa Kliwon pada bulan Sura.
Nguras enceh yang dilakukan di dalam Komplek Makam Imogiri merupakan upacara penggantian (menguras air) di dalam enceh atau tempayan yang berukuran sangat besar. Dulunya, enceh ini digunakan oleh Sultan Agung untuk berwudu.
Enceh tersebut sebenarnya adalah cinderamata dari kerajaan-kerajaan sahabat. Jumlahnya sebanyak 4 buah dan masing-masingnya diperoleh dari empat kerajaan yang berbeda, di antaranya Kyai Danumaya (dari Kerajaan Aceh), Nyai Danumurti (dari Kerajaan Palembang), Kyai Mendung (dari Kerajaan Rum, Turki) dan Kyai Syiem (dari kerajaan Siam, Thailand).
Bagian Kompleks Pemakaman Imogiri
Makam-makam di sini terbagi dalam beberapa kompleks pemakaman yang disebut kedaton. Pembangunannya dilakukan secara bertahap. Masing-masing kedaton digunakan untuk memakamkan beberapa raja beserta keluarga terdekatnya.
Selain itu, karena adanya perjanjian Giyanti yang membagi wilayah kekuasaan Kesultanan Mataram menjadi Yogyakarta dan Surakarta, di makam ini juga dibagi menjadi 3 wilayah.
Pada bagian sebelah barat digunakan untuk memakamkan raja-raja Kasunanan Surakarta beserta keluarga terdekatnya. Pada bagian timur digunakan untuk memakamkan raja-raja Kasultanan Yogyakarta beserta keluarga terdekatnya. Kemudian, bagian tengah merupakan makam Sultan Agung beserta anak-anaknya.
Kedaton Sultan Agungan adalah kedaton yang berdiri pertama, berfungsi untuk memakamkan beberapa raja, antara lain Sultan Agung, Sunan Amangkurat II, dan Sunan Amangkurat III.
Sementara itu, pada Kedaton Bagusan/Kasuwargan, Kedaton Astana Luhur dan Kedaton Girimulyo, berisi makam dari keluarga kerajaan Kasunanan Surakarta. Lalu, pada Kasunanan Yogyakarta terdapat Kedaton Kasuwargan, Kedaton Besiyaran dan Kedaton Sapta Rengga.
Fasilitas yang di kompleks makam raja-raja Imogiri cukup lengkap. Tersedia area parkir yang cukup luas, masjid, musala, toilet umum, pemandu wisata dan tempat sewa pakaian adat untuk mengunjungi makam. Di sisi jalan menuju makam juga banyak pedagang yang menjual suvenir dan kuliner-kuliner khas Imogiri.
Jika ingin datang ke sini, wisatawan bisa berkunjung pada hari Sabtu-Kamis pada pukul 10.00 hingga pukul 13.00 WIB dan hari Jumat pada pukul 13.00-16.00 WIB. Pada bulan Ramadan, kawasan makam ditutup dan dibuka kembali pada tanggal 1 Syawal.