15 November 2025
18:00 WIB
Rumah Hijau, Wujud Tanggung Jawab Manusia Terhadap Alam
Konsep rumah hijau jangan dipahami sebagai proyek bernilai dan berteknologi tinggi. Tapi ini perubahan cara berpikir untuk mengurangi dampak negatif terhadap lingkungan.
Penulis: Annisa Nur Jannah
Editor: Rikando Somba
Ilustrasi rumah ramah lingkungan. Shutterstock/korisbo
JAKARTA - Bagi sebagian orang, rumah sekadar tempat tinggal. Namun bagi sebagian lainnya, rumah adalah sebuah pernyataan tentang nilai yang mereka jalankan, cara mereka hidup, dan bagaimana memandang hubungan manusia dengan alam. Buat lainnya, rumah adalah aksentuasi diri dan prestise.
Di tengah laju urbanisasi yang makin padat serta perubahan iklim kian nyata, muncul orang-orang yang berbicara soal keberlanjutan, dan benar-benar menghidupkannya lewat hunian yang mereka bangun.
Kesadaran masyarakat Indonesia akan bangunan hijau memang belum sebesar negara-negara lain. Namun perlahan, mulai mempertanyakan seperti apa rumah ideal seharusnya dibangun.
Efisiensi bangunan mulai dari ventilasi, pencahayaan alami, hingga desain untuk mengurangi kebutuhan listrik, menjadi strategi mitigasi paling efektif. Artinya, cara kita merancang rumah menjadi langkah sederhana untuk menurunkan emisi sekaligus meningkatkan kualitas hidup.
Dan di titik inilah, cerita para pemilik rumah yang menerapkan prinsip hijau akan diulas. Dari yang paling sederhana hingga paripurna. Tak hanya membangun rumah, mereka juga turut memelihara Bumi.
Adalah Jeanny Primasari, pendiri Zero Waste Nusantara yang membangun rumah ramah lingkungan di tengah padatnya Jakarta, dan Stefan, pemilik Kabinkebun, sebuah habitat kecil yang menjadi ruang edukasi publik.
Rumah 'Hidup' di Tengah Kota Saat banyak orang mulai tersadarkan oleh berita-berita perubahan iklim, perjalanan Jeanny sudah sedari kecil. Baginya, isu lingkungan bukan sekadar wacana, tetapi pengalaman yang dekat tentang persoalan sampah, polusi udara, hingga kerusakan hutan. Semua itu membentuk cara pandangnya dalam melihat dunia.
Kemudian ketika belajar arsitektur di Universitas Parahyangan, Jawa Barat, konsep keberlanjutan yang sudah menjadi bagian dari kurikulum, semakin Jeanny serap sebagai prinsip hidup.
"Green building itu bangunan yang berdampak negatif sekecil mungkin bagi alam. Terutama di Jakarta, yang lingkungannya sudah padat dan panas, bangunan harus dibuat untuk tidak menambah masalah, bahkan kalau bisa memberi kontribusi positif," ujar Jeanny akan kesadarannya terhadap lingkungan saat berbincang dengan Validnews, Rabu (12/11).
Kesadaran itu mengakar begitu kuat, sehingga saat membangun rumah pada 2019, seluruh proses desain diarahkan untuk menciptakan keselarasan dengan lingkungan. Setiap detail ia rancang untuk memudahkan semua penghuni menjalankan gaya hidup berkelanjutan.
Dari prinsip sederhana inilah lahir berbagai keputusan desain yang tampak kecil, namun memberi dampak besar bagi kenyamanan dan efisiensi energi. Salah satu keputusan terpenting adalah memisahkan rumah dari bangunan tetangga.
Sekilas keputusan ini terlihat sepele, tetapi justru menjadi fondasi dari keseluruhan konsep hunian hijau yang ia terapkan. Dengan memberi jarak satu meter di kedua sisi rumah, terbentuklah lorong multifungsi yang bekerja tanpa henti untuk kehidupan.
Lorong ini menjadi jalur masuk cahaya matahari, menghadirkan ventilasi udara alami. Menyediakan area resapan air hujan, sekaligus menjadi ruang servis yang memungkinkan pipa-pipa air dipasang sehingga mudah dirawat.
Alih-alih tanpa arti, lorong tersebut berubah menjadi koridor sirkulasi udara yang membuat rumah selalu sejuk sepanjang hari. Tidak mengherankan jika pada akhirnya Jeanny dan keluarga hampir tidak pernah menyalakan AC.
"Saya juga merancang dua taman besar di bagian depan dan tengah rumah sebagai ruang hijau yang bekerja sepanjang waktu. Taman-taman ini berfungsi menangkap dan meresapkan air hujan, memperbaiki kualitas udara, menjadi tempat menanam berbagai tanaman obat dan pangan, sekaligus mengolah sampah organik rumah tangga menjadi kompos," ungkapnya
Tak hanya itu, jendela-jendela dirancang dengan perhitungan matang, agar setiap bagian rumah dapat 'bernapas'. Setiap jendela ditempatkan pada posisi strategis untuk menciptakan ventilasi silang. Sementara jenis bukaannya dipilih sesuai kebutuhan, mulai dari geser, jungkit, swing, hingga nako.
Pada titik-titik tertentu, dipasang pula exhaust fan untuk membantu mendorong aliran udara. Hasilnya, sudut-sudut rumah terasa angin benar-benar 'menyapu', memberikan angin alami yang lebih segar, sehat, dan tentu lebih hemat energi.
"Saya juga memakai atap pelana dibuat dengan ruang kosong yang cukup tinggi di bawah genteng. Ruang ini menjadi buffer panas, sehingga udara panas tidak langsung turun ke ruang dalam," sebutnya.
Bahkan, pada aspek material, ia sangat memperhatikan secara teliti.
Jeanny menggunakan cat bebas bahan kimia berbahaya, memilih rangka atap zincalum dan kusen aluminium agar terhindar dari masalah rayap, serta memanfaatkan kembali furnitur lama agar tidak menambah limbah.
"Jadi, kenyamanan itu sebenarnya bisa datang dari desain yang dipikirkan dengan cermat," tegasnya.
Bukan berarti semua proses berjalan mulus. Jeanny mengaku banyak ada tantangan yang harus dihadapi, mulai dari konsistensi membuka jendela di tengah debu Jakarta, godaan untuk kembali menyalakan AC, hingga biaya beberapa material yang memang lebih mahal.
Selain itu, keterbatasan lahan di kota kerap membuat orang ragu menyediakan ruang terbuka yang sebenarnya sangat dibutuhkan rumah. Meski begitu, seluruh upaya tersebut terbayar lunas.
"Rumah menjadi lebih sejuk, terang, dan bersih, sementara biaya listrik dan air turun drastis. Kadang, tantangan kecil justru membuka jalan menuju kenyamanan yang jauh lebih besar," jelasnya.
Rumah Berkarakter Dari Material Bekas Berbeda dengan Jeanny yang menyusun rumah hijau di tengah kota, Stefan membawa konsep rumah berkelanjutan ke arah yang lebih luas. Di atas lahan 1.500 meter persegi, ia membangun sebuah ekosistem kecil bernama Kabinkebun.
Baginya, membangun rumah ramah lingkungan adalah bentuk tanggung jawab pribadi terhadap bumi.
"Rumah adalah kebutuhan utama manusia. Jadi sudah seharusnya rumah dibangun dengan meminimalkan beban bagi alam," tutur Stefan kepada Validnews, Kamis (13/11).
Ia mengenal konsep rumah hijau dari beragam bacaan, diskusi, hingga Pinterest yang memberinya gambaran visual tentang apa yang mungkin diwujudkan. Stefan memulai dengan satu prinsip, yakni sebisa mungkin menggunakan material bekas.
"Pintu, jendela, struktur, dekorasi, semua dicari dari material daur ulang atau barang sisa rumah lain," udapnya.
Ia bercerita, awalnya kebun di rumahnya hanya bersifat monokultur. Dalam 10 tahun, kebun itu berubah menjadi habitat kecil dengan lebih dari 1.000 jenis tanaman yang hidup berdampingan. Di dalam ekosistem itu, manusia hanyalah satu bagian kecil. Rumah bagi Stefan bukan bangunan yang berdiri sendiri, tetapi bagian dari ekosistem hidup.
Bahkan, Kabinkebun kini menjadi ruang edukasi publik. Lebih dari 2.000 orang telah datang untuk belajar, menginap, atau sekadar merasakan suasana hidup yang lebih dekat dengan alam.
Banyak dari mereka yang pada akhirnya terinspirasi. Namun sayangnya, dengan banyaknya tamu, sampah anorganik menjadi tantangan tersendiri.
"Hanya ada satu mitra pengelola sampah anorganik yang bisa datang ke kampung, dan biayanya memang cukup tinggi. Namun saya tetap memilih mengelolanya dengan benar, karena tanggung jawab lingkungan bukan soal sampah yang kami hasilkan sendiri, tetapi juga sampah yang ditinggalkan para tamu," terangnya.
Menjadi Tren Positif Meski kecil, tapi dua contoh di atas menjadi bukti bahwa perubahan sedang bergerak. Perlahan tetapi pasti. Semakin banyak keluarga mulai mempertanyakan ulang: seperti apa rumah ideal seharusnya dibangun di tengah krisis iklim yang kian mendesak?
Pertanyaan tersebut dijawab oleh Sigit Kusumawijaya, arsitek sekaligus pegiat desain eco-friendly dan berkelanjutan. Menurutnya, meski penerapan green building pada skala rumah tinggal belum masif, tren ini menunjukkan arah yang positif.
"Sepuluh tahun lalu, konsep green building lebih banyak diterapkan pada gedung perkantoran, kampus, atau proyek komersial. Sekarang mulai muncul kesadaran baru di kalangan masyarakat urban untuk menerapkannya di rumah masing-masing,” ujar Sigit kepada Validnews, Jumat (14/11).
Sigit menjelaskan,perkembangan ini turut didorong oleh kehadiran Green Building Council Indonesia (GBCI) yang meluncurkan sertifikasi Greenship Homes 2.0. Sertifikasi ini memberi pedoman yang jelas bagi pemilik rumah dan arsitek untuk menerapkan standar bangunan hijau, mulai dari pengelolaan tapak, efisiensi energi, konservasi air, penggunaan material yang dapat didaur ulang, kualitas kenyamanan ruang dalam dan luar, hingga pengolahan lingkungan dan limbah.
"Semua prinsip itu kini bisa diterapkan bahkan pada rumah kecil sekalipun," tambahnya.
Selain faktor regulasi dan edukasi, Sigit menyebut adanya dorongan alami dari masyarakat sendiri. Pergeseran ini terjadi karena kombinasi antara kesadaran dan tren.
Ada yang memulainya dari kepedulian ekologis, ada pula yang terdorong karena tren gaya hidup seperti eco-living atau sustainable home yang semakin populer di media sosial.
"Banyak konten kreator kini membahas rumah sehat, energi efisien, dan ruang hijau. Paparan ini membuat orang makin sadar bahwa rumah yang baik bukan hanya indah secara visual, tetapi juga nyaman, sehat, hemat energi, dan tidak boros air,” jelasnya.
Pandemi juga menjadi titik balik penting dalam persoalan kepedulian lingkungan.
Setelah 1–2 tahun menghabiskan waktu di rumah, banyak orang menyadari betapa pentingnya kualitas hunian yang sehat. Kesadaran ini bertahan bahkan semakin berkembang hingga mendorong perubahan preferensi desain rumah.
Di sisi lain, Sigit mengingatkan, banyak rumah yang tampak indah di media sosial sebenarnya tidak menerapkan prinsip keberlanjutan di balik tampilannya. "Sayang sekali kalau desain hanya mengejar visual, tetapi tidak memperhatikan filosofi hijau di belakangnya," katanya.
Padahal, desain rumah tropis mampu menurunkan konsumsi energi hingga 30–50% dibandingkan rumah konvensional. Artinya, sekalipun seseorang mulai menerapkan konsep ini karena mengikuti tren, dampak positifnya tetap nyata dan signifikan.
Tren positif ini juga mendapatkan respons dari Pengamat Tata Kota Universitas Indonesia, Muh Azis Muslim. Ia menilai, munculnya minat terhadap rumah ramah lingkungan tidak datang dari satu arah saja.
"Penerapan konsep ini lahir dari kesadaran, tetapi pada saat yang sama juga berkembang menjadi tren estetika atau gaya hidup,” ujar Azis kepada Validnews, Jumat (14/11).
Menurutnya, kedua hal ini berjalan beriringan. Satu sisi masyarakat semakin memahami pentingnya menjaga lingkungan, di sisi lain mereka juga ingin memiliki rumah ramah lingkungan yang tetap stylish dan modern. Kombinasi keduanya membuat perkembangan konsep green building semakin mudah diterima dan terus meluas.
Persepsi Biaya dan Perubahan Mindset Sigit menegaskan, tantangan terbesar dalam pengembangan rumah hijau bukan semata soal teknologi atau biaya, melainkan edukasi masyarakat. Menurutnya, masih banyak kesalahpahaman yang muncul karena masyarakat terlalu sering terpaku pada visual indah di media sosial.
Rumah yang tampak estetik kerap disangka sebagai rumah ramah lingkungan, padahal tidak selalu memiliki tanggung jawab ekologis di balik desainnya.
"Banyak orang mengira membangun rumah hijau itu mahal, padahal banyak elemen konstruksi yang justru lebih hemat dalam jangka panjang karena bisa menurunkan penggunaan listrik dan air,” ucap Sigit.
Ia menambahkan, tanpa edukasi yang tepat, sulit bagi masyarakat memahami keuntungan utama desain berkelanjutan justru ada pada efisiensi jangka panjang. Mulai dari kenyamanan termal, penghematan energi, hingga kualitas udara di dalam rumah.
Karena itu, menurutnya, pengetahuan mengenai cara merawat rumah pun menjadi penting diperkenalkan sejak awal. Pasalnya, kalau rumah tidak didesain dengan prinsip hijau sejak awal, akan sulit untuk mencapai efisiensi dan kenyamanan yang seharusnya bisa diperoleh.
Memperkuat pandangan tersebut, Azis menilai bahwa konsep bangunan hijau sebenarnya memiliki prinsip yang sangat sederhana dan dapat dipahami siapa pun, terutama masyarakat awam yang ingin memulai dari hal kecil.
"Intinya adalah bagaimana desain dan bangunan itu bisa ramah lingkungan, hemat energi, dan berkelanjutan," katanya.
Sebenarnya, prinsip dasarnya amat sederhana, bagaimana membuat biopori, memaksimalkan cahaya alami, atau menanam lebih banyak tanaman tumbuh di halaman. Sementara teknologi berbiaya tinggi seperti panel surya memang ideal, namun tidak wajib untuk memulai.
Sigit pun menegaskan, konsep rumah hijau seharusnya dipahami bukan sebagai proyek mewah berteknologi tinggi, melainkan perubahan cara pikir.
"Itu bukan soal kecanggihan atau biaya besar. Tapi mindset bagaimana bangunan memberikan kenyamanan bagi penghuninya sekaligus mengurangi dampak negatif pada lingkungan,” jelas Sigit.
Lebih jauh ia menyinggung, sering kali manusia bersikap egosentris dalam memanfaatkan lahan. Banyak perumahan sebenarnya sudah menyediakan area resapan dan taman 20–40% dari lahan, namun pemilik rumah justru menutupnya demi perluasan bangunan. Padahal, hilangnya ruang hijau berarti hilangnya fungsi ekologis penting, mulai dari penyerapan air hujan hingga kesejukan alami.
Sigit menjelaskan, rumah hijau idealnya memenuhi enam aspek yakni tapak berkelanjutan, efisiensi energi, konservasi air, penggunaan material ramah lingkungan, kenyamanan ruang dalam, serta pengelolaan bangunan.
Namun untuk masyarakat yang ingin memulai dengan langkah kecil, banyak cara sederhana yang bisa dilakukan tanpa biaya besar. Misalnya membuka ventilasi untuk menciptakan sirkulasi udara silang, menggunakan lampu LED, memilih perlengkapan hemat energi, menampung air hujan atau air buangan AC untuk irigasi, hingga menghindari material berbahaya seperti asbes.
"Pilihan cat pun sekarang sudah banyak yang bersertifikat rendah bahkan 0 VOC. Jadi sebenarnya banyak langkah sederhana yang bisa dilakukan tanpa harus membangun rumah dari nol atau menambah biaya besar," imbuhnya.
Hunian Kecil Mengubah Lanskap Urban Sigit menekankan, rumah-rumah 'hijau' memiliki dampak luar biasa terhadap lingkungan perkotaan. Ketika satu rumah menerapkan prinsip hijau mungkin efeknya terasa kecil, tetapi jika ribuan rumah melakukannya, kota dapat berubah secara sistemik.
Ia menganalogikan rumah sebagai green shell atau cangkang hijau kecil yang ketika terhubung satu sama lain, membentuk jaringan ekologi di tingkat kota. "Kalau setiap rumah memberi kontribusi, walaupun sedikit, kotanya akan ikut berubah," tegasnya.
Sebaliknya, jika satu rumah kecil dibangun tanpa ruang hijau, mungkin tampak sepele. Tetapi jika seluruh kota melakukan hal yang sama, hasilnya adalah urban heat island, hilangnya daerah resapan, dan meningkatnya risiko banjir. Karena itu, ia menegaskan pentingnya kesadaran tiap keluarga untuk tetap menyediakan minimal 20% ruang terbuka hijau di lahannya.
"Kalau semua menerapkan green building, kota akan jauh lebih hijau. Banjir berkurang, suhu lingkungan turun, dan iklim mikro meningkat kualitasnya. Ini bukan teori, saya sudah membuktikannya di beberapa rumah yang saya desain. Penghijauan yang massif di satu tapak kecil saja bisa menurunkan panas dan jejak karbon," jelasnya.
Sigit juga merujuk laporan World Resources Institute (2022) yang menyebut, jika 20% rumah di kawasan urban menerapkan prinsip hijau dasar, emisi karbon dari sektor bangunan kota dapat turun 15–18%. Angka itu menunjukkan bahwa perubahan kecil yang dimulai dari rumah dapat berkembang menjadi dampak tata kota yang nyata.
"Karena itu, konsep green building seharusnya tidak berhenti sebagai tren arsitektur. Ini harus menjadi gerakan kesadaran baru tentang bagaimana kita hidup harmonis dengan alam," tegasnya
Dari pengamatan Muh Azis Muslim, fenomena ini bisa menjadi peluang besar bagi pemerintah untuk menyelaraskan kebijakan dengan perubahan yang terjadi di masyarakat. Menurutnya, regulasi tata ruang saat ini sebenarnya sudah menyediakan aturan mengenai proporsi ruang hijau dan batasan wilayah terbangun, tetapi implementasinya masih memerlukan dorongan kesadaran publik.
"Konsep rumah hijau bisa menjadi inspirasi bagi tata kota," tegas Azis.
Ia menilai, inisiatif individual seperti memanfaatkan ruang sisa sebagai taman, menggunakan material ramah lingkungan, memanfaatkan energi alternatif, hingga mengurangi limbah, dapat diadopsi sebagai bagian dari strategi pembangunan kota.
Pemerintah, menurutnya, dapat mempelajari praktik baik yang saat ini baru diterapkan oleh segelintir masyarakat dan mengintegrasikannya ke dalam kebijakan kota yang lebih luas. Namun ia mengingatkan bahwa edukasi tetap menjadi kunci agar masyarakat memahami manfaat langsung dari rumah hijau, baik bagi lingkungan maupun kesehatan mereka.
"Pada akhirnya, tata kota yang berkelanjutan hanya dapat terwujud ketika kesadaran warga dan kebijakan pemerintah berjalan beriringan," pungkasnya.