20 Januari 2024
09:02 WIB
Penulis: Andesta Herli Wijaya
Editor: Satrio Wicaksono
JAKARTA - Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) mencatatkan peningkatan nilai royalti musik yang terkumpul sepanjang tahun 2023. Jika tahun sebelumnya bernilai Rp35 miliar, royalti tahun 2023 mencapai lebih dari 55 miliar.
Capaian itu menjadi catatan positif terkait kinerja dan peran LMKN dalam ekosistem industri musik Indonesia. Peningkatan jumlah dari tahun ke tahun menandakan semakin tumbuhnya kepatuhan menyalurkan royalti penggunaan lagu tanah air.
Direktur Jenderal Kekayaan Intelektual (Dirjen KI), Min Usihen nengatakan, peningkatan jumlah royalti tersebut di satu sisi perlu diapresiasi. Namun lebih lanjut, masih perlu digenjot lagi sebab sejatinya potensi royalti di Indonesia jauh lebih besar. Hal itu menurutnya menjadi perhatian bagi Menteri Hukum dan Ham, Yasonna Laoly, yang menaungi lembaga LMKN.
“Pesan Pak Menteri, beliau mengapresiasi langkah baik LMKN dan sumbangsihnya untuk musik Tanah Air. Meski demikian, saya yakin capaian ini masih bisa lebih ditingkatkan lagi,” ungkap Min, dikutip dari siaran resmi DJKI, Sabtu (20/1).
Min mendorong LMKN untuk terus mengoptimalkan kinerjanya, termasuk dengan berkolaborasi erat bersama lembaga atau asosiasi musik yang ada, terutama LMK-LMK. Menurutnya, perlu adanya transparansi dan komunikasi yang baik di antara kedua pihak, agar tak memicu timbulnya persoalan terkait pendistribusian royalti.
Sorotan Min Usihen berangkat dari fakta maraknya konflik royalti di kalangan musisi Indonesia belakangan ini. Sejumlah pihak terlibat polemik larang-melarang penggunaan lagu, dikarenakan distribusi royalti yang tak berjalan baik.
Min mengulas, semua polemik yang bermunculan, pada dasarnya disebabkan karena masih kurangnya transparansi terkait penyaluran royalti, di samping juga ada faktor ketidakpatuhan publik pengguna lagu dalam membayar royalti. Sehingga, ada pihak-pihak yang merasa tak mendapatkan hak royalti sebagaimana semestinya.
Hal ini menjadi pekerjaan rumah bagi LMKN. Kata Min, LMKN dan LMK sebagai pihak yang terhubung langsung dengan para musisi, harus membangun kepercayaan dan transparansi yang kuat agar kesulitan dalam penarikan royalti semakin berkurang.
“Dari semua masalah yang ada, ujung ujungnya adalah keinginan untuk transparansi. Ujungnya adalah masalah trust. Kita harus bangun bersama hal-hal ini agar masyarakat percaya bahwa pengelolaan royalti adalah untuk pembangunan ekosistem industri kreatif kita,” lanjut Min.
Lebih lanjut, Ketua LMKN Dharma Oratmangun, menyampaikan pentingnya diskusi dari hati ke hati terkait royalti karena hal ini juga penting untuk membangun peradaban bangsa melalui pengelolaan musik.
Karena itu, LMKN dan LMK pun tengah berdialog untuk mengoptimalkan kinerja dan kolaborasi ke depannya.
Sejumlah isu juga saat ini menjadi perhatian terkait kekayaan intelektual dan royalti. Di antaranya upaya penyempurnaan regulasi terkait hak cipta dan royalti, dimana DJKI tengah membuat rancangan revisi Undang-Undang Hak Cipta, serta penyempurnaan Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2021 terkait Pengelolaan Royalti Hak Cipta Lagu Dan/Atau Musik.
Termasuk yang menjadi pembahasan adalah soal tarif royalti. Hal ini juga merupakan respon lanjut atas sejumlah polemik royalti yang berkembang, di mana memunculkan dorongan-dorongan untuk penyesuaian tarif royalti lagu atau musik.
“Kita cari titik tengahnya sehingga di masa depan tidak ada lagi pengguna yang minta relaksasi pembayaran royalti. LMKN sudah mengambil inisiatif perubahan dan penyempurnaan tarif disesuaikan dengan kondisi di dalam negeri serta ratifikasi mengikuti situsi internasional,” pungkas Dharma.
Pola Distribusi dan Penguatan Sistem
Sebagai informasi, pola distribusi royalti dari LMKN kepada LMK dilakukan dengan menggunakan metode hybrid, yaitu dengan memilah perhitungan royalti berdasarkan data logsheet dan data non-logsheet atau monitoring langsung.
Jumlah yang didistribusikan kepada para pencipta lagu atau pemilik hak ekonomi, adalah jumlah royalti yang diterima dengan menyisihkan 20% biaya operasional LMKN dan LMK, sebagaimana diatur oleh Undang-undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta.
Dengan sistem satu pintu maka seluruh royalti yang dibayar oleh pengguna seluruhnya ditampung hanya pada rekening LMKN. Kemudian LMKN mendistribusikan royalti kepada para pemilik hak melalui LMK-LMK di mana mereka menjadi anggota dengan memberikan kuasa.
Penghitungan distribusi secara rinci untuk setiap anggota (musisi/pencipta) dilakukan sepenuhnya oleh LMK.
Dharma menambahkan, di tahun ini, LMKN akan melakukan upaya maksimal di bidang hukum untuk menindaklanjuti ke tahap proses litigas para pengguna komersial yang sudah masuk dalam kategori “tidak patuh”, dalam hal menghargai hak para pemegang hak cipta dan hak terkait. Bagi pengguna komersial yang masih tidak membayar royalti, maka LMKN akan menempuh jalur hukum.
Jika LMKN nantinya benar membawa kasus ketidakpatuhan royalti ke ranah hukum, maka itu merupakan langkah baru yang memberi angin segar. Pasalnya, selama ini masih ada banyak pihak yang tak patuh membayar royalti, sehingga nilai royalti yang terkumpul pun relatif masih sangat kecil.
Hal ini sedikit banyak juga merupakan faktor munculnya ketidakluasan banyak pencipta soal distribusi royalti selama ini.
Validnews pernah berbincang dengan LMKN di tahun 2023 lalu, dan mendapatkan proyeksi bahwa sejatinya, nilai royalti di Indonesia bisa mencapai triliunan rupiah.