16 Agustus 2025
17:45 WIB
Rojali-Rohana, Fenomena Pelipur Lara Di Tengah Kondisi Ekonomi
Fenomena Rojali dan Rohana bukan hal baru, lebih dulu dikenal dengan istilah window shopping. Kini menjadi cara menghibur diri di tengah kondisi ekonomi yang kurang membahagiakan.
Penulis: Gemma Fitri Purbaya
Editor: Rikando Somba
Pengunjung melihat produk fesyen di central park mal, Jakarta, Senin (11/08). Validnews.ID/Hasta Adhistra.
JAKARTA - Di suatu Sabtu siang yang terik, udara sejuk langsung menyambut Sonni sesaat melangkahkan kaki masuk ke sebuah pusat perbelanjaan di bilangan Bekasi. Berbeda jauh dengan suasana panas yang baru saja dilewatinya diluar sana. Dengan santai dia melanggang masuk ke sebuah mal besar di pusat kota Bekasi itu. Tujuannya satu, sekadar cuci mata.
Ia mulai dari toko pakaian. Jarinya menelusuri deretan kain yang terpajang, merasakan teksturnya, sambil mengamati harga yang terpasang. Sesekali Sonni mengambil pakaian dan menempelkannya di badan, mencobanya sebentar untuk tahu apakah cocok dengan tubuhnya yang agak kurus.
Setelah beberapa saat, akhirnya dia menemukan baju yang dirasa ideal untuknya. Tapi bukannya membawa ke kasir untuk dibayar, Sonni malah meletakkannya kembali ke tumpukan pakaian lain yang belum dilirik pembeli.
Sejurus kemudian, dia berjalan keluar gerai dan membiarkan tangannya berselancar di aplikasi e-commerce. Pikirannya ingin membeli pakaian tadi, tetapi dengan opsi yang lebih murah. Ketimbang berbelanja di toko offline, Sonni merasa e-commerce jauh lebih murah dan terjangkau untuk dompetnya. Selain sering banyak diskon, terdapat pula promo gratis ongkos kirim, dan bisa menggunakan paylater.
"Kalau di online banyak voucher diskon, ada poin juga untuk keuntungan lain, seperti pulsa dan lain-lainnya. Jadi, saya seringnya berbelanja online. Ke mal hanya untuk melihat visual barang dan mengecek ukurannya secara langsung sebelum membeli di online," cerita Sonni pada Validnews, Kamis (14/8).
Hal serupa juga dilakukan oleh Aurora (30), warga Ciledug yang senang jalan-jalan di mal tanpa membeli atau melakukan transaksi. Kepada Validnews, karyawan swasta itu berujar, dia cenderung berbelanja online karena harga lebih murah. Dia pergi ke mal untuk mengetahui apa yang sedang tren soal produk fesyen yang disukainya. Kadang dia sengaja mencoba pakaian yang diincarnya, untuk mengetahui jenis kainnya dan mencari ukuran yang tepat.
Tapi biasanya Aurora juga menyempatkan diri untuk nongkrong-nongkrong 'cantik' bersama teman-temannya di mal. Pilihan tempat makan, kedai kopi, serta adem, menjadi pertimbangan utama dia untuk betah berlama-lama di mal ketimbang berbelanja.
"Biasanya menjelang akhir pekan pasti ke mal, tetapi untuk ngopi atau makan aja sama teman-teman. Kalau belanja mah lebih sering di online," ungkap Aurora, Kamis (14/8).
Sonni dan Aurora hanya sebagian dari banyaknya warga yang memang ke pusat perbelanjaan untuk sekadar cuci mata dan nongkrong sejenak. Belakangan, fenomena ini disebut sebagai 'Rojali' dan 'Rohana'.
Rojali merupakan singkatan dari 'rombongan jarang beli', merujuk pada sekelompok orang yang datang ke pusat perbelanjaan tetapi hanya berjalan-jalan, melihat-lihat, berfoto, atau menikmati fasilitas yang ada di mal tanpa melakukan transaksi pembelian. Sementara Rohana, sekelompok yang hanya bertanya-tanya tentang produk di pusat perbelanjaan dan singkatan dari 'rombongan hanya nanya-nanya'.
Sama halnya seperti 'Rojali', Rohana pun tidak melakukan transaksi pembelian atau hanya nongkrong saja di pusat perbelanjaan dalam jangka waktu yang cukup lama.
Pertanyaannya, bagaimana fenomena ini bisa terjadi?
Rojali dan Rohana Jadi Cerminan Ekonomi
Sosiolog Universitas Gadjah Mada, AB Widyanta berpandangan, fenomena ini merupakan realitas dari kondisi ekonomi di masyarakat Indonesia saat ini, yakni merosotnya daya beli dan konsumsi masyarakat . Meski memiliki ekspektasi untuk membeli dan mengonsumsi berbagai benda atau apapun yang mereka temui di pusat perbelanjaan, tetapi daya beli tak mengikuti selera dan harapan.
Akhirnya yang terjadi adalah masyarakat menjadi jarang membeli dan hanya bisa bertanya-tanya untuk memberi semacam harapan pada diri mereka sendiri. Muncullah istilah 'Rojali' dan 'Rohana' yang viral di media sosial.
"Jadi ada semacam harapan yang setidaknya walaupun barang itu tidak bisa mereka miliki, mereka hanya bisa bertanya, hanya bisa memegang, hanya bisa melihat-lihat. Mungkin mereka bisa membeli, tetapi mesti berpikir kalau mereka jadi membeli dampaknya akan seperti apa," kata Widyanta yang berbincang dengan Validnews via telepon, Rabu (13/8).
Dia menguraikan banyak hal yang mendasari fenomena ini. Salah satu contohnya adalah pertumbuhan ekonomi yang tidak imbang dengan penyerapan tenaga kerja di Indonesia. Selama 10 tahun terakhir yang terjadi adalah investasi padat modal, di mana banyak dialokasikan untuk industri-industri ekstraktif dan infrastruktur, penyerapan tenaga kerja tidak maksimal.
Apalagi dengan tingkat pendidikan masyarakat yang rata-rata hanya berjenjang SD, SMP, sampai SMA, tenaga kerja pun tidak bisa terserap baik karena skill-skill yang tidak dimiliki oleh SDM lokal. Dari sana, terjadilah sebuah krisis ekonomi dan berdampak pada penurunan daya beli dan konsumsi masyarakat, termasuk kehadiran fenomena 'Rojali' dan 'Rohana'.
"Belum lagi PHK (Pemutusan Hubungan Kerja) terjadi di banyak sektor sehingga semuanya mengalami penyusutan, termasuk uang yang ada di dompet. Makanya mereka perlu berhati-hati untuk berbelanja, membutuhkan standar prioritas yang lebih ketat. Mereka sudah tidak bisa lagi berbelanja sesuka hati, karena sudah tidak ada uang longgar untuk mengonsumsi produk-produk yang mereka inginkan, begitu," lanjut Widyanta.
Tren Sementara atau Jangka Panjang?
Jika ditanya, apakah tren ini akan bersifat sementara atau jangka panjang, Widyanta memprediksikan, fenomena ini akan bertahan sampai beberapa waktu ke depan. Dia mendasari prediksinya dari kondisi dimana pemerintahan lalu yang meninggalkan banyak utang, membuat pemerintahan yang kini mengetatkan anggaran. Implikasinya, daya beli masyarakat tak terdongkrak, yang diperkirakan membuat fenomena ini masih akan bertahan.
"Ini bukti bahwa negara dalam kondisi krisis sebetulnya, seluruh produk kemudian dikenakan pajak, dari uang sumbangan, hajatan, sampai royalti di kafe-kafe. Tentu saja masyarakat kecil yang menjadi korban. Jadi dari fenomena itu adalah bukti perekonomian kita tidak baik-baik saja," papar Widyanta.
Rojali dan Rohana di sisi lain, malah mungkin telah menjadi bentuk rekreasi murah di masyarakat, di tengah kondisi ekonomi yang buruk dan keterbatasan ruang publik. Ketika masyarakat tidak memiliki daya beli, hanya sekadar berjalan-jalan di pusat perbelanjaan cukup lah untuk menghibur hati yang tengah gundah.
Sebaliknya, dari sisi pihak pusat perbelanjaan, mereka tidak mengambil pusing fenomena Rojali dan Rohana. Corporate Communications Grand Indonesia, Annisa Hazarini menuturkan, fenomena semacam ini sudah ada sejak lama, sehingga bukan masalah bagi pusat perbelanjaan.
"Dari sisi kami sebagai pengelola mal, setiap pengunjung yang datang, apapun tujuannya, tetap bagian penting dari ekosistem kami. Kehadiran para pengunjung menciptakan atmosfer yang hidup, meningkatkan traffic pengunjung, dan berpotensi membangun loyalitas jangka panjang. Harapan kami pengunjung nyaman berbelanja, tetapi apabila ada pengunjung yang hanya lihat-lihat juga boleh-boleh saja," kata Annisa melalui jawaban tertulisnya, Jumat (15/8).
Hal serupa juga ditutur oleh General Manager Mal Ciputra Ferry Irianto. Kepada Validnews, dia mengatakan kalau tren Rojali dan Rohana ini sudah sejak zaman dahulu dengan istilah window shoppers. Jadi, sudah menjadi tugas pusat perbelanjaan untuk menarik minat para Rojali dan Rohana ini berbelanja, bukan sekadar berjalan-jalan.
"Kurang lebih sama dengan istilah 'window shopping', jadi mereka ini sebetulnya bukan fenomena baru, tetapi sudah ada. Jadi bagaimana kita sebagai mal bekerja sama dengan para penyewa tenant menghadirkan promo menarik sehingga dari awalnya mereka lihat-lihat saja bisa menjadi pembeli aktif," ucap Ferry, Kamis (14/8).
Optimisme Pusat Perbelanjaan Hadapi Rojali dan Rohana
Kendati begitu, baik Grand Indonesia maupun Mal Ciputra melihat kehadiran tren ini sebagai peluang. Annisa misalnya, beralasan kalau fenomena ini menunjukkan bahwa mal tetap dicari dan diminati oleh masyarakat, sekalipun mereka tidak melakukan transaksi.
"Ini menunjukkan bahwa mal tetap menjadi destinasi favorit bagi masyarakat, tidak hanya sebagai tempat berbelanja, tetapi juga sebagai ruang sosial. Peluang inilah yang akan menjadi kesempatan para tenatn untuk lebih kreatif dalam menarik perhatian pengunjung dan menciptakan pengalaman yang membuat mereka kembali dan akhirnya melakukan transaksi," tutur Annisa mantap dalam pernyataan tertulis.
Ferry juga mengatakan hal serupa. Sebagai pusat perbelanjaan, dia melihat Rojali dan Rohana sebagai peluang bisnis. Justru, bukan momok menakutkan yang membuat pesimis para tenant. Ini malah memotivasinya untuk mengajak para tenant bangkit, sehingga para pengunjung yang datang bisa berbelanja lagi, meskipun di kondisi ekonomi seperti sekarang ini.
"Ini peluang kita untuk berbenah, untuk bekerja sama dengan para penyewa. Ibaratnya mungkin pada saat ini belum ada yang diperlukan, tetapi bisa jadi pada kunjungan ke mal selanjutnya ada yang mereka butuhkan. Jadi ini peluang bisnisnya," ucap Ferry.
Selain itu, pusat perbelanjaan di Indonesia juga sudah bergeser, yakni tidak sekadar menjadi tempat untuk berbelanja saja, melainkan lifestyle hub. Artinya, dalam satu tempat, masyarakat bisa melakukan banyak hal. Entah berbelanja, makan, nongkrong, berkumpul, rekreasi, berolahraga, dan masih banyak lagi.
"Di sinilah kami mencoba mengakomodir kebutuhan masyarakat. Makanya rata-rata pusat perbelanjaan di Indonesia sudah mengadopsi kebutuhan tersebut. Jadi konsepnya seperti one-stop shopping, dalam satu waktu kebutuhan mereka sudah bisa terakomodir semua, mudah-mudahan," imbuh Ferry.
Untuk mempertahankan eksistensi pusat perbelanjaan sendiri, baik Annisa dan Ferry sama-sama berjuang menciptakan pengalaman berbelanja yang unik dan berbeda, yang tidak bisa didapatkan saat masyarakat berbelanja online. Semisal dengan menghadirkan event-event menarik, program belanja, dan masih banyak lagi.
Di Grand Indonesia misalnya, mereka mengoptimalkan integrasi teknologi digital yang memungkinkan pengunjung berbelanja secara hybrid, baik online maupun offline. Sementara Mal Ciputra menghadirkan event yang lebih edukatif agar bisa menjangkau keluarga dan generasi muda agar pusat perbelanjaan bisa sesuai dengan kebutuhan masyarakat saat ini.
Harapannya mungkin saja daya beli masyarakat bisa kembali meningkat. Namun, upaya ini pastinya bisa terrealisasi jika kondisi perekonomian negara sendiri membaik.