24 Februari 2025
17:38 WIB
Risiko Stres Finansial Dari Ketergantungan Pada Paylater
Generasi muda cenderung lebih rentan terhadap keputusan impulsif ataupun tren jangka pendek yang dapat memengaruhi keputusan finansial.
Penulis: Annisa Nur Jannah
Editor: Rendi Widodo
Seorang pekerja mengakses fitur Paylater di aplikasi E-commerce. ValidNewsID/Fikhri Fathoni
JAKARTA - Di era digital yang serba cepat, paylater menjadi solusi finansial kian digemari. PayLater adalah layanan pembayaran yang memungkinkan pengguna untuk melakukan transaksi sekarang dan membayarnya nanti dalam jangka waktu tertentu, baik secara cicilan maupun dalam satu kali pembayaran di bulan berikutnya.
Layanan ini biasanya ditawarkan oleh platform e-commerce, fintech, dan perbankan digital sebagai alternatif kartu kredit. Bahkan, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat bahwa per November 2024, paylater mengalami pertumbuhan sebesar 61,90% secara tahunan, dengan mayoritas penggunanya berasal dari generasi muda.
Di balik kenyamanannya, paylater juga bisa menjadi perangkap finansial jika tidak digunakan dengan bijak. Sayangnya, pengalaman yang dihadirkan menciptakan ilusi kemudahan dalam berbelanja, seolah-olah keuangan tetap stabil meskipun sebenarnya ada tagihan yang harus dibayar di kemudian hari.
Tanpa perhitungan yang matang, pengguna bisa terjebak dalam siklus utang yang berkelanjutan. Menurut Disya Arinda merupakan Psikolog Klinis mengungkapkan, pembayaran cicilan yang terus menumpuk dapat mengganggu cash flow dan menyebabkan stres finansial.
"Banyak orang merasa nyaman menggunakan paylater karena tidak langsung mengeluarkan uang. Namun, jika tidak diimbangi dengan perencanaan keuangan yang baik, risiko gagal bayar bisa meningkat," ujar Disya Arinda dalam keterangannya.
Disya menambahkan, semakin memperkuat pola konsumtif masyarakat, terutama anak muda terkait penggunaan paylater ini juga disebabkan oleh Fenomena Fear of Missing Out (FOMO) dan You Only Live Once (YOLO). Menurut riset Global Web Index, sekitar 62% individu yang mengalami FOMO berasal dari rentang usia 16–34 tahun.
Tekanan sosial untuk selalu up to date dengan tren terkini, baik dalam fesyen, gadget, maupun gaya hidup, sering kali mendorong penggunaan Paylater tanpa mempertimbangkan kemampuan finansial.
"Akibatnya, pengguna hanya fokus pada kepuasan sesaat tanpa berpikir panjang tentang kewajiban yang harus dipenuhi," jelasnya.
Ia menerangkan, ketika cicilan mulai menumpuk dan kemampuan membayar melemah, stres finansial pun tak terhindarkan. Rasa cemas akibat tekanan utang bisa berdampak buruk pada mental well being, bahkan memicu gangguan kecemasan atau depresi.
"Penggunaan paylater yang tidak terkendali bisa menyebabkan siklus utang yang membuat seseorang merasa terjebak. Ini tidak hanya berdampak secara finansial, tetapi juga secara psikologis," ungkap Disya.
Dia pun menegaskan bahwa dampak baik atau buruk dari paylater bergantung pada bagaimana setiap individu menggunakannya. Oleh karena itu, edukasi finansial menjadi kunci utama.
"Saat terdesak atau ‘BU’, kita cenderung ingin segera mengambil keputusan. Namun, keputusan yang diambil dalam kepanikan sering kali berdampak negatif, baik secara finansial maupun psikologis. Oleh karena itu, penting untuk lebih sadar sepenuhnya atau mindful ketika menggunakan layanan pembiayaan, supaya tidak menambah tekanan di kemudian hari," paparnya.
Karena pada dasarnya seluruh layanan finansial seperti pedang bermata dua dan memiliki risikonya masing-masing. Dalam hal ini, layanan pembiayaan dapat memberikan solusi finansial yang membantu pengguna dalam memenuhi berbagai kebutuhan.
Akan tetapi, juga berpotensi menimbulkan dampak negatif apabila tidak digunakan secara bijak dan tanpa mempertimbangkan aspek psikologis.
"Pengguna perlu mengevaluasi apakah benar-benar membutuhkan layanan ini atau hanya tergoda oleh kemudahan berutang. Dengan memahami motivasi di balik keputusan ini, mereka dapat menghindari beban finansial yang berlebihan," pungkasnya.