21 Desember 2023
17:17 WIB
Penulis: Andesta Herli Wijaya
Editor: Satrio Wicaksono
JAKARTA - Penelitian terbaru dari Lembaga Sensor Film (LSF) mengungkap fakta bahwa horor merupakan genre film yang paling banyak disukai penonton. Laporan ini secara tidak langsung mengafirmasi kesuksesan film-film horor di bioskop tanah air dalam dua tahun terakhir.
Penelitian LSF tentang Perfilman, Kriteria Penyensoran, dan Budaya Sensor Mandiri tahun 2023, melibatkan 457 responden yang di lakukan di bioskop di empat kota besar, yakni Jakarta, Surabaya, Makassar, dan Medan. Empat kota tersebut dipilih karena menjadi fokus sebaran penonton bioskop di Indonesia, dengan aktivitas menonton yang paling tinggi dari kota-kota lainnya.
Hasilnya, 34% responden menyebut film horor sebagai tontonan yang paling disukai, diikuti genre komedi (28%), drama (24,73%), musikal (3%), dan genre lainnya (7%). Sementara film yang disenangi untuk ditonton yakni Film Nasional sebesar 45%, Film Asing 52% dan tidak tahu 1%.
Wakil Ketua LSF, Ervan Ismail mengatakan, penelitian ini hendak menelisik laku menonton masyarakat secara luas, dari soal penyensoran hingga minat genre dominan. Hasil penelitian ini dipandang menjadi sumber pembacaan penting untuk memajukan ekosistem budaya dan juga perfilman ke depannya.
"Hasil penelitian ini menjadi penting karena menjadi tolak ukur aktivitas menonton masyarakat yang berbentuk penelitian, hasil penelitian ini juga dapat dipertanggung jawabkan secara akademis serta menjadi dasar untuk menentukan program LSF di tahun mendatang,” ungkap Ervan, dikutip dari siaran pers, Kamis (21/12).
Lebih lanjut, Ketua Komisi III LSF, Naswardi menjelaskan, penelitian ini lebih luas lagi bertujuan untuk mengetahui persepsi masyarakat secara mendalam tentang kriteria penyensoran, persepsi masyarakat secara mendalam tentang perfilman, mendeteksi budaya sensor mandiri, serta menelusuri perilaku bermedia masyarakat.
"Penelitian ini perlu dilanjutkan atau dikembangkan untuk menganalisis hasil secara lebih mendalam. Misalnya menggali salah satu temuan penelitian, mengapa mayoritas masyarakat pada empat kota tersebut ternyata lebih menggemari film horor dan menjadikan sebagai pilihan utama dalam menonton di bioskop dan juga hasil temuan lainnya,” ujar Naswardi.
Penelitian LSF bekerja sama dengan Universitas Muhammadiyah Prof. DR. HAMKA (UHAMKA). Proses penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dan kuantitatif dengan klasifikasi responden penonton usia remaja 13 tahun ke atas, usia dewasa 17 tahun ke atas, dan usia 21 tahun ke atas. Pada proses pengumpulan data, penelitian ini juga menggunakan survei dengan instrumen daftar pertanyaan dan pernyataan, Focus Group Discussion (FGD), dan serta diperkuat dengan analisa pakar.
Tujuan utama penelitian adalah untuk mengampanyekan budaya sensor mandiri di masyarakat. Namun karena memiliki cakupan penelitian luas, fakta-fakta menarik dan penting lainnya juga dihasilkan.
Terkait budaya sensor, penelitian ini menyebutkan bahwa pada umumnya, masyarakat memahami tentang klasifikasi usia penonton. Sebesar 72% responden menyatakan mengetahui tentang penggolongan usia penonton, namun masih terdapat sebesar 25% yang tidak mengetahui tentang penggolongan usia penonton.
Hasil lainnya, sebesar 61% penonton menyatakan perlu adanya perubahan tentang klasifikasi usia penonton di Indonesia saat ini. Khususnya pada klasifikasi usia 17+ menjadi 18+.
Ada pula pertanyaan terkait isu LGBT, di mana sebesar 41% penonton menyatakan setuju adegan LGBT membuat tidak nyaman sehingga perlu LGBT menjadi bagian dan kriteria penyensoran film, dan beberapa lagi poin kesimpulan terkait budaya penyensoran.
Film Nasional vs Asing
Selain mengungkap kecenderungan minat genre penonton Indonesia, penelitian LSF juga mengungkap fakta bahwa film nasional masih bersaing ketat dengan film dari mancanegara, di bioskop negeri sendiri.
Penelitian ini menyebutkan, film yang disenangi untuk di tonton yakni film nasional (45%), lalu film asing (52%). Kemudian, sebanyak 1% responden mengatakan tidak tahu.
Persentase tersebut bisa bermakna masih lemahnya posisi film nasional di negeri sendiri. Di tengah pesatnya pertumbuhan industri film tanah air pasca pandemi, tetap saja, film-film besar dari mancanegara, masih lebih banyak dinanti di bioskop.
Penelitian LSF juga memotret media dan akses masyarakat hari ini terhadap tontonan. Akses media tontonan masyarakat dominan melalui jaringan teknologi informatika (JTI) sebesar 89%, selebihnya barulah yang mengandalkan televisi dan bioskop.
Selain itu, muncul pula gejala baru seiring makin beralihnya aktivitas publik ke dunia maya. Hari ini, menurut penelitian LSF, sebagian besar masyarakat terpapar film tertentu melalui media sosial.