c

Selamat

Sabtu, 15 November 2025

KULTURA

10 Oktober 2025

12:23 WIB

Riset: Karyawan Gen Z Paling Rentan Alami Burnout

Riset menunjukkan, Gen Z kelompok paling rentan alami burnout di lingkungan kerja, di mana 91 persen di antaranya kerap menghadapi tantangan kesehatan mental dan 35 persen mengalami depresi.

Editor: Andesta Herli Wijaya

<p>Riset: Karyawan Gen Z Paling Rentan Alami<em>&nbsp;Burnout</em></p>
<p>Riset: Karyawan Gen Z Paling Rentan Alami<em>&nbsp;Burnout</em></p>

Ilustrasi kesehatan mental. ANTARA/HO-Human Care Consulting (HCC).

JAKARTA - Anggapan kalau Gen Z kurang tangguh dibandingkan generasi Milenial atau Gen X memang patut dipertanyakan. Pasalnya, ada banyak Gen Z justru menunjukkan tingkat ketangguhan yang tinggi, baik di tempat kerja maupun lingkungan bisnis yang dijalankannya secara mandiri.

Namun ada riset yang menyebut kalau kerentanan Gen Z di tempat kerja lebih tinggi dari generasi pendahulunya. Pakar dari Human Care Consulting (HCC) Kartika Amelia merujuk laporan "SHRM 2025 Insights: Workplace Mental Health", menyebut kalau persentase Gen Z alami burnout di tempat kerja lebih tinggi dibandingkan Milenial atau Gen X.

"Generasi Z terbukti menjadi kelompok paling rentan di lingkungan kerja, di mana 91 persen di antaranya kerap menghadapi tantangan kesehatan mental dan 35 persen mengalami depresi," ungkap Kartika di Jakarta, dilansir dari Antara, Jumat (10/10).

Laporan "SHRM 2025 Insights: Workplace Mental Health" mengungkapkan bahwa 52 persen karyawan mengalami burnout atau kelelahan kerja kronis. Sementara empat dari sepuluh pekerja menyatakan bahwa pekerjaan mereka memberikan dampak negatif terhadap kesehatan mental.

Kartika menilai kondisi tersebut perlu mendapat perhatian serius, terutama bagi perusahaan yang menaungi para pekerja. Perusahaan, katanya, bisa melakukan upaya lebih terukur untuk membantu memulihkan kondisi mental karyawannya, semisal dengan pengembangan skrining psikologis (PCU) sebagai solusi strategis penting.

Isu Besar Dunia Kerja

Persoalan kesehatan mental pekerja, tekan Kartika, menjadi salah satu sorotan pada Hari Kesehatan Jiwa Sedunia yang diperingati tepat 10 Oktober. Bagi para pekerja di berbagai belahan dunia, isu kesehatan mental bukan sekadar masalah tahunan, melainkan juga tantangan sehari-hari yang hadir dalam tekanan deadline, tumpukan email, rapat beruntun, dan dinamika hubungan kerja yang kompleks.

Meskipun sekitar 60 persen karyawan mengaku puas dengan pekerjaannya saat ini, kata dia, faktanya mereka tetap aktif mencari peluang kerja lain.

"Fenomena ini, yang dikenal dengan istilah 'puas tetapi ingin keluar', menjadi sinyal penting bahwa tekanan mental yang terus menumpuk telah menjadi faktor pendorong utama perpindahan talenta di dunia kerja modern," katanya.

Isu kesehatan mental di tempat kerja juga menjadi perhatian serius jutaan pekerja di Indonesia. Berdasarkan hasil Survey Workplace Wellbeing Score Indonesia 2025, ujarnya, tingkat kesejahteraan mental pekerja di tanah air masih berada di bawah rata-rata global, yakni sebesar 50,98 persen berbanding 58,62 persen.

Kondisi ini berdampak langsung pada produktivitas dan kesejahteraan karyawan, ditandai dengan peningkatan angka absensi dan penurunan produktivitas kerja.

"Biaya yang hilang akibat penurunan produktivitas karena stres kerja diperkirakan mencapai USD 300 hingga USD 900 per karyawan per bulan," ujar dia.

Peran Penting Perusahaan

Kartika mengungkapkan bahwa perusahaan yang belum memiliki sistem deteksi dan penanganan stres secara dini sering terlambat menyadari turunnya performa tim. Penurunan performa ini lebih disebabkan oleh beban mental tidak terkelola daripada kemampuan yang menurun yang berakibat terjadinya kelelahan kerja kronis.

"Burnout bukan sekadar isu personal. Tanpa deteksi dini, perusahaan bisa kehilangan produktivitas yang nilainya bisa mencapai puluhan juta rupiah per karyawan setiap bulan," katanya.

Oleh karena itu, PCU berupa skrining sederhana namun menyeluruh yang memungkinkan individu dan organisasi mengenali tingkat stres, kecemasan, dan kondisi psikologis secara jujur dan ilmiah.

"Dari pengalaman HCC mengelola program PCU, data hasil PCU membuka pintu bagi intervensi yang tepat, seperti sesi konseling profesional oleh psikolog bersertifikat, pelatihan ketahanan mental, dan program kesejahteraan yang personal dan berbasis bukti," katanya.

Mencuplik laporan Workplace Wellbeing Initiative Trends 2025, Kartika menunjukkan bahwa pendekatan berbasis data seperti PCU ini telah terbukti meningkatkan produktivitas hingga 20 persen, sekaligus menurunkan angka absensi dan pergantian karyawan hingga 30 persen.

Dia menilai, membuka ruang untuk bicara dan memberikan dukungan bukan hanya meringankan beban mental karyawan, tetapi juga membangun ketahanan individu dan kekokohan organisasi dalam menghadapi masa depan yang semakin kompleks.

"Kesehatan mental harus menjadi prioritas strategis yang didukung oleh data dan tindakan sistematis. Dengan strategi yang tepat, tempat kerja tidak hanya menjadi sumber pencapaian hasil, melainkan juga ruang yang menjaga dan menguatkan manusia di dalamnya," kata dia.


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar