10 Januari 2023
20:30 WIB
Penulis: Gemma Fitri Purbaya, Arief Tirtana
Editor: Satrio Wicaksono
JAKARTA – Sepanjang 10 tahun lebih menjalani karier, Marcella kini merasa berada di titik terendah. Untuk ketiga kalinya dalam kurun waktu dua tahun, dia terpaksa hengkang dari tempatnya mencari rezeki.
Namun tidak seperti dua kejadian sebelumnya, dia dipecat lantaran perusahaannya melakukan efisiensi besar-besaran akibat pandemi, kali ini Marcella membuat keputusan keluar sendiri. Dia memilih resign karena menolak dipindahtugaskan ke luar Jakarta.
Alasannya, sebagai single parent, dia tidak ingin meninggalkan ibu dan anaknya yang masih balita. Diakui, ini adalah pilihan yang tidak mudah untuk wanita berusia 33 tahun itu.
Dia lebih memilih kehilangan penghasilannya, di tengah segala pengeluaran rutin serta kewajibannya untuk membayar beberapa cicilan dan tagihan kartu kredit.
Namun baginya, mungkin ini merupakan keputusan tepat. Karena sebagai ibu, dia tidak ingin kehilangan momen tumbuh kembang buah hatinya. Sementara soal uang, di benaknya ini bisa dicari dengan cara lain.
Sekarang yang ada dalam pikirannya, bagaimana dia bisa mencari celah untuk mendapatkan pemasukan lagi. Apalagi muncul bayang-bayang kekhawatiran akan ekonomi pada masa mendatang. Ya, uang memang bukan segalanya, tetapi untuk mendapatkan segalanya membutuhkan uang.
Apa yang dialami Marcella mungkin merupakan sedikit gambaran betapa rentannya kehidupan masyarakat kelas menengah di Indonesia, utamanya di kota-kota besar. Pada saat banyak orang merasa kemapanan ekonomi, namun sebenarnya tidaklah sedemikian stabil.
Kejadian-kejadian seperti itu sebenarnya sudah banyak dialami masyarakat kelas menengah. Mundur ke sekitar tahun 2022, misalnya, Marifa yang kini berusia 55 tahun, juga pernah mengalami kejadian serupa.
Kala itu dia mengalami PHK. Sementara itu, kebutuhan ekonomi sedang tinggi-tingginya untuk membiayai pendidikan anaknya yang masih SMP. Sontak hal itu membuatnya terpukul. Dia takut jatuh ke jurang kemiskinan.
"Ada (ketakutan), karena yang biasanya saya punya gaji tiap bulan, menjadi tidak ada pemasukan (sama sekali)," kenang Marifa kepada Validnews, Minggu (8/1).
Beruntungnya, wanita asal Sulawesi Selatan itu punya keahlian memasak. Berjualan makanan menjadi pilihan untuk bisa menyambung hidup dan membiayai anak-anaknya hingga lulus kuliah.
Gaya Hidup Konsumtif
Ancaman degradasi ekonomi yang dialami Marcella dan Marifa, diakui oleh Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (FEB UI), Teguh Dartanto sebagai sesuatu yang lumrah terjadi di kalangan masyarakat kelas menengah.
Sebab, seperti mudahnya masyarakat kelas bawah naik menjadi kelas menengah, hal tersebut juga bisa terjadi sebaliknya. Dengan mudah juga masyarakat kelas menengah untuk kembali ke kelas bawah.
Artinya, kerentanan ekonomi masyarakat Indonesia masih cukup tinggi. Ada gejolak sedikit saja, mereka yang berada di kelas menengah sangat mungkin terjun ke kelas ekonomi yang lebih rendah.
"Yang naik banyak, tapi yang tiba-tiba drop (turun kelas ekonominya) juga banyak. Memang di Indonesia itu gampang sekali naik turun di kelas menengah. Ini yang harus dicatat sebenarnya," terang Teguh dalam perbincangan dengan Validnews, Minggu (8/1).
Ada banyak faktor yang menjadi pendorong rentannya kelas ekonomi menengah. Salah satu yang paling disorot adalah soal gaya hidup konsumtif.
Secara psikologis, gaya hidup konsumtif tersebut memang merupakan hal wajar. Di mana saat orang baru 'naik kelas', baru punya uang lebih, langsung mencoba menaikan gaya hidupnya.
Namun bahayanya, ketika pengeluaran-pengeluaran tersebut ditujukan untuk kebutuhan non-primer. Utamanya, lifestyle yang tujuannya untuk sekedar pamer. Hingga tanpa sadar, over konsumsi itu justru menjadi bumerang buat diri sendiri.
"Dan ketika terjadi guncangan, seperti pandemi kemarin, mereka jadi rentan. Tidak bisa bayar cicilan, tidak bisa bayar ini itu," kata Teguh.
Sederhananya seperti cerita Marcella. Meski ketika bekerja dia tidak tergiur dengan barang-barang mewah, gaya hidup nongkrong di kafe bisa kadung 'mendarah daging'. Dia sering pula membeli barang yang sejatinya tidak memiliki manfaat lebih.
Ditambah dengan kemudahan untuk menggunakan kartu kredit, menjadikannya dia sebagai seorang yang amat konsumtif. Termasuk ketika tanpa perhitungan yang matang, berani untuk mencicil mobil dan rumah.
Itulah yang dulu tak disadarinya. Kini, semuanya justru menjadi beban pada saat dia tak lagi mendapat pemasukan rutin. Alhasil, dia mulai berpikir untuk menjual lagi rumah yang bahkan belum dilunasinya. Setidaknya, beban bulannya bisa berkurang.
"Tiap kerja gaji naik terus, tapi kenyataannya biaya hidup dan lifestyle juga mengikuti. (Saat itu) mindset-nya, 'gue akhir bulan gajian lagi, mau ah coba ini itu, ada promo ini itu'. Itulah juga godaannya tinggal di kota Jakarta," tutur Marcella.
Nilai Positif Gaya Hidup Konsumtif
Keberadaan kelas menengah dengan gaya hidupnya yang cenderung lebih konsumtif, sebenarnya punya nilai positif untuk perkembangan perekonomian sebuah negara, baik mikro maupun makro.
Dijelaskan Teguh, dari sisi ekonomi makro, keberadaan kelas menengah akan meningkatkan consumer class. Yakni kelompok yang bisa membeli barang dan jasa di luar kebutuhan pokok mereka. Konsumsinya yang tinggi bisa menjadi penggerak dari perkembangan ekonomi sebuah negara.
Sementara dari ekonomi mikro, karena kecenderungannya untuk menginginkan produk-produk berkualitas lebih tinggi, secara langsung akan berdampak pada produsen untuk meningkatkan kualitasnya.
Tak hanya dari sisi ekonomi, masyarakat ekonomi kelas menengah juga punya efek dari sudut pandang sosiologis. Keberadaannya akan menjadikan gambaran kesejahteraan dalam struktur sosial masyarakat.
"Kelas menengah juga memegang peranan penting lainnya, yaitu sebagai konfigurasi distribusi dan konsumsi masyarakat. Karena yang menjadi patokan kesejahteraan adalah kuantitas dari golongan kelas menengah. Diasumsikan semakin banyak penduduk yang tergolong dalam kelas menengah, semakin sejahtera suatu struktur sosial," jelas Sosiolog Universitas Padjadjaran (Unpad), Yusar Muljadi.

Sebab jika akumulasi rata-rata pendapatan kelas menengah berada di atas rata-rata pendapatan kelas bawah, hal itu akan berujung pada gambaran tingkat kesejahteraan masyarakat secara luas.
Sebaliknya jika akumulasi rata-rata penghasilan kelas bawah lebih tinggi daripada kelas menengah, hal ini menunjukkan bahwa kelompok miskin lebih banyak daripada kelas menengah atau atas.
Kesadaran Investasi
Selain gaya hidup konsumtif, kerentanan masyarakat kelas menengah berasal dari faktor kesadaran finansial dan investasi mereka yang rendah. Sebab pada saat gaya hidup sulit ditekan, kesadaran berinvestasi bisa menjadi penyelamatnya. Atau dalam situasi normal, hal itu akan mendorong mereka naik menjadi masyarakat kelas atas.
Kabar baiknya, tidak sedikit masyarakat kelas menengah yang punya kesadaran finansial dan investasi. Buktinya, adalah terus meningkatnya mereka yang kini berinvestasi di pasar modal dan juga 'bermain saham'.
Tetapi bukan berarti edukasi finansial dan investasi itu tak perlu lagi dilakukan secara baik. Apalagi, investasi ini sebenarnya bukan hanya dalam konteks investasi keuangan, tetapi juga investasi kemampuan dan sejenisnya.
Dikatakan Teguh, peningkatan kemampuan itu juga masih sangat perlu diperhatikan. Karena bagaimanapun itu akan menentukan perkembangan mereka di dunia kerja. Logikanya, semakin banyak skill yang dikuasai, akan semakin besar pula peluang untuk mengalami peningkatan jenjang karier. Tentunya hal itu bisa berjalan beriringan dengan peningkatan gaji.
Jangan Hanya Andalkan Gaji
Teguh mengingatkan, untuk naik dari kelas menengah ke masyarakat kelas atas, bukan sesuatu yang mudah. Sebab ambang batas untuk bisa dikatakan sebagai masyarakat kelas atas cukup jauh untuk dikejar kebanyakan kelas menengah saat ini.
Masyarakat kelas atas, dikategorikan sebagai mereka yang sebulannya minimal memiliki pengeluaran 15 juta. Dua kali batas pengeluaran masyarakat kelas menengah (6-7 juta).
Jika mereka yang ada di kelas menengah dan ingin meningkatkan diri ke kelas atas, dengan hanya mengandalkan gaji, akan sulit bisa melakukannya.
Mau tak mau mereka harus punya penghasilan lain diluar gaji bulanan. Entah membuka usaha, bisnis atau dengan investasi keuangan.
"Kalau enggak punya passive income jadi susah. Jadi itu yang harus didorong, mereka juga harus tetap punya kesadaran dalam investasi (keuangan)," kata Teguh.
Seharusnya kelas menengah ini juga punya kesadaran sebagai motor pembangunan sebuah negara itu sendiri. Ya, gerak ekonomi memang didominasi kegiatan mereka, bersama kelas atas.
Dari persepsi ini, investasi menjadi amat penting. Bagaimanapun masyarakat kelas menengah harus sepenuhnya mandiri. Tidak boleh tergantung bahkan dengan negara sekalipun.
Jadi jika motornya saja masih tergantung sama pemerintah, diyakini Teguh, itu jelas bukan sesuatu yang bagus.
"Mereka harus didorong buat mandiri. Kalaupun ada program, bentuknya jangan bantuan, tapi lebih yang sifatnya produktif. Kaya usaha, atau bantuan fasilitas usaha. Kalaupun ada bantuan sosial di-support tapi incidental saja, seperti kemarin ketika ada kenaikan BBM," tukas Teguh.