c

Selamat

Senin, 17 November 2025

KULTURA

18 Januari 2025

16:48 WIB

'Rasionalisasi' Pengeluaran Agar Terbebas Dari Kecemasan Finansial

Berbagai gerakan hidup hemat dan menekan konsumsi adalah salah satu upaya positif untuk mengurangi kecemasan finansial.

Penulis: Andesta Herli Wijaya

Editor: Rendi Widodo

<p>&#39;Rasionalisasi&#39; Pengeluaran Agar Terbebas Dari Kecemasan Finansial</p>
<p>&#39;Rasionalisasi&#39; Pengeluaran Agar Terbebas Dari Kecemasan Finansial</p>

Ilustrasi generasi muda belanja tanpa cemas. Pixabay

JAKARTA - Hidup di perkotaan mudah memicu stres terkait finansial. Dorongan mengejar gaya hidup, godaan mengonsumsi barang hingga mengakses hiburan tinggi, membuat frustrasi ketika dihadapkan pada realitas keuangan yang kadang sulit. Kelas menengah pekerja, terombang-ambing antara sentimen tren sosial, kondisi kerja hingga bayang-bayang hari depan yang tak pasti.

Banyak pekerja, khususnya kalangan muda, dibayangi kecemasan finansial. Di satu sisi, dorongan hidup konsumtif begitu kuat, sementara kondisi keuangan membuat mereka sulit membuat rencana keuangan jangka panjang, terutama untuk menabung demi tujuan finansial tertentu misal rumah ataupun biaya pernikahan. Maka, muncul kecemasan finansial.

Di tengah situasi seperti itu, apalagi di tengah isu ketidakpastian ekonomi saat ini, diperlukan perubahan gaya hidup secara signifikan, termasuk di dalamnya budaya konsumsi dan cara mengelola keuangan. Sebagian orang merealisasikannya lewat gaya hidup frugal, ada pula yang beramai-ramai menggalakan tren tidak membeli alias No Buy Challenge yang viral di media sosial belum lama ini.

Psikolog Sosial Ade Iva Murty memberi pandangan, berbagai gerakan hidup hemat dan menekan konsumsi adalah salah satu upaya positif untuk mengurangi kecemasan finansial. Namun, itu  menurutnya perlu dibarengi dengan pembaruan kesadaran finansial pada seseorang, menuju pengelolaan finansial yang rasional.

“Untuk mengatasi financial anxiety itu, jadi bukan sekedar nggak beli ya. Kalau kamu nggak beli yang A terus beli yang B, kan sama aja. Persoalannya adalah bisakah kita membantu masyarakat ini untuk bersikap rasional. Bahwa gaya hidup sederhana itu tidak hina. Gaya hidup sederhana dimana orang menjadi rasional dalam mengkonsumsi itu adalah strategi yang sangat dibutuhkan di saat dunia sedang menuju depresi ekonomi,” ungkap Ade kepada Validnews, beberapa waktu lalu.

Praktik mengurangi atau membatasi belanja barang, katanya, tak lantas akan menghilangkan kecemasan finansial jika tidak diikuti tumbuhnya kesadaran baru soal konsumsi yang bijak serta pengelolaan keuangan yang lebih rasional, sehingga bisa mencapai perasaan lebih stabil secara keuangan.

Praktik tidak membeli barang-barang non-esensial, termasuk dalam bentuk pengelolaan finansial yang rasional. Namun lebih jauh, konsep ini juga mencakup pengendalian diri secara menyeluruh, termasuk memerdekakan diri dari gaya hidup serba superfisial yang cenderung menempatkan kebahagiaan melulu pada aktivitas belanja atau pengeluaran uang. Bahagia harus dengan gadget terbaru, harus dengan jalan-jalan, staycation atau dengan menonton konser.

Bukannya tidak membeli, yang didorong dalam hal ini yaitu kesadaran untuk hidup secara seimbang, cermat dalam mengkonsumsi, juga berorientasi jangka panjang. Ketika misalnya seseorang membutuhkan relaksasi dengan hiburan, dia bisa mempertimbangkan alternatif hiburan yang bisa didapat tanpa harus ‘membeli’. Ketika seseorang menahan pengeluaran, ia bisa mengalokasikan dana tersebut untuk tabungan.

“Banyak loh hadiah hal-hal yang bisa bikin kita bahagia tanpa kita belanja, tanpa kita belanja, tanpa kita harus membeli, tanpa harus liburan. Cuma memang ini berarti menuntut kita untuk, apa ya istilahnya, menuntut kita untuk membuka mata dan pikiran kita. Misalnya sesederhana kita ngobrol sama keluarga, cuma dengan makanan yang sederhana. Itu yang harus dibiasakan,” tutur Ade.

“Gitu loh, bahwa bisa loh kita merasa bahagia, tapi sebenarnya kita nggak beli apa-apa lah ya, cuma duduk aja sama keluarga dan sebagainya,” lanjutnya.

Cara-cara seperti itu menurut Ade yang merupakan dosen tetap prodi Psikologi sekaligus Dekan Faculty of Arts and Science – Universitas Sampoerna, bisa menjadi solusi atas kecemasan finansial yang terkadang abstrak atau tak teridentifikasi dengan baik faktornya pada tiap-tiap orang.

“Sebenarnya yang diajarkan oleh financial anxiety ini adalah kamu mau mengurangi anxiety kamu. Kamu tuh harus punya emergency fund biar sedikit. Kamu saving biar sedikit. Sehingga kita tidak pernah tahu kapan krisis datang. Begitu ada krisis kita masih punya kekuatan sedikit untuk menghadapi ‘gelombang’, itu bisa memberi ketenangan,” ujar Ade.

Ade melanjutkan, kecemasan finansial lebih umum terjadi di perkotaan dan pada kalangan yang hidup dari bulan ke bulan dari gaji. Karena tak ada kepastian kerja, tak ada jaminan status kerja jangka panjang, maka orang-orang khawatir akan keberlanjutan perekonomian keluarganya. Ditambah pula isu kelesuan ekonomi, membuat bayang-bayang pemutusan hubungan kerja alias PHK terasa kian nyata.

Namun Ade menekankan ada klasifikasi tegas untuk menyatakan seseorang benar-benar mengalami financial anxiety atau sekadar kecemasan sesat. Ade menilai, sebagian orang yang cemas, hanya mengalami kecemasan sesaat dan tak mengalami gejala gangguan lainnya yang bisa menjurus sebagai gejala medis. Dengan kata lain, kecemasan tersebut masih tergolong suatu kondisi yang sehat.


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar