c

Selamat

Minggu, 16 November 2025

KULTURA

20 Februari 2025

11:28 WIB

Putu Wijaya Bawa Kembali Aduh Ke TIM, Pertegas Realisme Karyanya

Setelah dipentaskan di Salihara tahun lalu, Putu Wijaya bersama Teater Mandiri kembali mempersembahkan teater Aduh di Taman Ismail Marzuki, 20-21 Februari ini. 

Penulis: Andesta Herli Wijaya

Editor: Satrio Wicaksono

<p>Putu Wijaya Bawa Kembali <em>Aduh</em> Ke TIM, Pertegas Realisme Karyanya</p>
<p>Putu Wijaya Bawa Kembali <em>Aduh</em> Ke TIM, Pertegas Realisme Karyanya</p>

Sesi konferensi pers jelang pertunjukan Aduh karya Putu Wijaya di TIM, Cikini, Jakarta Pusat, Rabu (19/2). Dok: Validnews/ Andesta.

JAKARTA - Putu Wijaya bersama Teater Mandiri kembali mempersembahkan pertunjukan teater Aduh. Setelah dipentaskan di Salihara pada tahun lalu, Putu ingin menemui penonton lebih luas dengan membawa karya tersebut ke Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta.

Pementasan Aduh pada 20 dan 21 Februari 2025 di Teater Kecil akan menandai momen bersejarah, yaitu kembalinya karya tersebut ke TIM. Aduh yang ditulis tahun 1971 dan memenangkan Sayembara Naskah Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) tahun 1973, dipentaskan pertama kali di TIM pada 1974 silam.

Di usia yang sudah tak lagi muda, Putu merasa perlu membawa lagi naskah yang ditulisnya itu ke atas panggung, khususnya di TIM. Di samping hendak melepas rindu bertemu para pecinta teater, Putu pun memiliki agenda lain. Dia ingin mempertegas nilai realisme pada Aduh yang selama ini kadung dianggap sebagai drama absurd oleh banyak kalangan.

“Akhirnya saya mencoba memutuskan untuk menunjukkan bahwa drama ini bukan drama absurd sebagaimana orang-orang pikirkan. Dulu pernah dituduh ini drama absurd, drama omong-kosong, mengikuti aliran di Barat, dan saya dianggap seperti ikut-ikutan,” ungkap Putu saat ditemui di TIM, Cikini, Jakarta Pusat pada Rabu (19/2).

Di skena teater Indonesia, Aduh merupakan salah salah karya fenomenal dan menjadi masterpiece dari Putu Wijaya. Masalahnya, terkait dengan pernyataan Putu, karya ini justru dipahami ‘salah’, dianggap sebagai penanda awal dimulainya era absurditas dalam kekaryaan Putu. Padahal, menurut sang penulis dan sutradara sendiri, karya ini justru adalah gambaran nyata atas realitas di Indonesia.

Secara bentuk, Aduh berupa pertunjukan adegan-adegan orang-orang yang saling bersahutan di tengah situasi unik, yaitu ketika berhadapan dengan seorang pesakitan yang meraung meminta tolong. Orang-orang itu, representasi dari kelompok atau komunitas sosial, bimbang tentang apa yang harus dilakukan. Mereka sulit bersepakat tentang apa yang harus didahulukan, apa yang harus dilakukan, sementara seseorang meregang nyawa.

Aduh adalah sebentuk refleksi tentang pertanyaan-pertanyaan eksistensialisme, menyangkut individu berhadapan dengan komunitas sosial atau sebaliknya. Di sisi lainnya, karya ini juga tentang nilai kerjasama dan gotong royong, sesuatu yang memang menjadi nilai dari masyarakat Indonesia.

Mungkin karena dipentaskan dengan konsep yang terlalu eksperimental, tanpa penanda ruang dan waktu serta banyak bermain dengan set-set imajinatif, banyak orang kemudian menganggap karya ini absurd. Yang terasa menonjol hanya situasi penuh ketegangan di atas panggung, meski juga diselipi tingkah jenaka para pemain.

Aduh terlihat sebagai sebuah teror, pertunjukan yang menghidupkan kengerian dalam imajinasi penonton, meski tak jelas asosiasi kengerian tersebut mengarah ke mana.

“Saya mencoba mementaskan untuk menjelaskan bahwa sebetulnya ini tidak segawat yang dipikirkan oleh orang,” tutur Putu.

Aduh adalah sebuah peristiwa di mana dua kepentingan saling bertabrakan, dan dua-duanya merasa benar. Di sampng kepentingan, masih ada koordinasi untuk memastikan mana yang sebetulnya harus didahuluka,n mana yang ditunda. Pada akhirnya kepentingan-kepentingan itu bersatu untuk membereskan masalah masalah besar dahulu, biar tidak salah langkah dalam memasuki persoalan,” jelas teaterawan sekaligus juga sastrawan asal Bali tersebut.

Putu menegaskan Aduh adalah pengingat tentang pentingnya kebersamaan dan gotong-royong untuk mengatasi persoalan bersama, meski pada tataran individual setiap orang memiliki kepentingan dan agendanya masing-masing. Dia berharap, pesan itu pun bisa ditangkap dan direspon oleh generasi muda era ini.

Tak banyak yang dipoles oleh Putu Wijaya terhadap bentuk pertunjukan Aduh, kecuali penambahan di beberapa aspek untuk memberi kesan lebih menarik, lebih meriah dan asik bagi penonton. Salah satu pembeda kali ini yaitu pelibatan publik dalam pertunjukan secara langsung.

Teater Mandiri sebelumnya menggelar workshop yang diikuti puluhan peserta. Mereka akan dilibatkan dan menjadi bagian penting dari pertunjukan ini, di samping para pemain yang memang telah berlatih berbulan-bulan untuk mempertunjukkan Aduh.

“Semoga perjumpaan kita hari ini sampai dua hari kedepan jadi wahana perjumpaan lintas wacana dari penonton dan peserta di workshop, menjadi elaborasi dari sebuah gagasan yang Teater Mandiri lakukan selama puluhan tahun berproses kreatif, dan sampai di sini, sehingga merangsang teman-teman generasi hari ini untuk mencipta,” ungkap Kris Aditya, Ketua Komite Teater DKJ yang menjadi tuan rumah agenda pertunjukan Aduh karya Putu Wijaya.

Pertunjukan Aduh menampilkan para pemain yang kurang lebih sama dengan yang ditampilkan di Salihara, Mei 2024 lalu. Di antaranya yaitu Bambang Ismantoro, Jose Rizal Manua, Laila Uliel Elna’ma, Ari Sumitro, Rukoyah Chan, Widi Dwinanda, Khairul Fiqih Firmansyah dan lain-lain.


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar