c

Selamat

Minggu, 16 November 2025

KULTURA

28 Mei 2025

21:00 WIB

Putri Ayudya Bicara Peran Intimacy Coordinator Dalam Produksi Film

Tak hanya adegan ranjang, sentuhan tangan, gerakan bahkan kata-kata yang berpotensi menimbulkan ketidaknyamanan bagi salah satu pemain, itu pun jadi perhatian bagi seorang intimacy coordinator.

Editor: Andesta Herli Wijaya

<p dir="ltr" id="isPasted">Putri Ayudya Bicara Peran <em>Intimacy Coordinator&nbsp;</em>Dalam Produksi Film</p>
<p dir="ltr" id="isPasted">Putri Ayudya Bicara Peran <em>Intimacy Coordinator&nbsp;</em>Dalam Produksi Film</p>

Aktris Indonesia, Putri Ayudya. Dok: Validnews/ Andesta.

JAKARTA - Intimacy Coordinator atau IC merupakan profesi baru dalam ekosistem perfilman Indonesia. Ini merujuk pada peran seorang pengarah dan pengawas dalam produksi film, yang fokusnya tertuju pada adegan-adegan bernuansa seksual atau terkait keintiman secara luas.

Karena baru, maka belum semua produksi film di Tanah Air melibatkan peran seorang IC. Di tengah kian menguatnya kampenye produksi film yang “sehat”, pada kenyataannya, pelibatan IC belum juga menjadi standar dalam produksi film di Indonesia.

Ada beberapa persoalan yang menyebabkan situasinya begitu. Selain karena belum adanya standar bersama yang diterapkan secara nasional terkait produksi adegan-adegan bermuatan intim di film, jumlah tenaga IC pun nyatanya masih sangat kurang di Indonesia. Hingga saat ini, baru ada dua IC bersertifikat, yaitu Putri Ayudya dan Runny Rudiyanti.

Jika di skena industri film saja belum semua pihak memberi perhatian pada urgensi peran IC, maka bisa diasumsikan bahwa peran ini pun masih belum populer bagi masyarakat luas. Belum semua orang tahu apa itu IC dan apa sesungguhnya yang dikerjakan oleh seorang intimacy coordinator atau bisa disebut pengarah keintiman dalam sebuah produksi film.

Nah, apa itu koordinator keintiman atau IC, dan apa saja yang menjadi tugas sosok tersebut dalam produksi sebuah film?

Putri Ayudya, pemeran yang sekaligus menjadi satu dari dua IC pertama dari Indonesia menjelaskan bahwa IC adalah suatu peran dalam produksi film, untuk memastikan produksi itu berjalan dengan aman dan nyaman bagi segenap pemain hingga kru. Seorang IC bertugas dari mulai tahap praproduksi, produksi atau syuting, hingga pascaproduksi atau editing.

Saat proses praproduksi, seorang IC bertugas untuk melakukan asesmen terhadap semua pemain dan kru yang terlibat dalam suatu adegan intim. Dalam prosesnya, IC menggali secara komprehensif pandangan dan juga perasaan pemain dan kru terkait adegan yang hendak direalisasikan. Jika ada hal-hal yang sekiranya akan membuat tidak nyaman dalam adegan tersebut, IC bertugas untuk mengkoordinasikan itu dengan sutradara.

"Kita ngobrol, kita nanyain, batasan tiap orang apa, kebutuhan setiap orang apa, ada yang punya trauma atau nggak, adegannya menggelisahkan atau nggak, ada keberatan atau nggak, terus apa yang bisa terlihat (di kamera-red.) atau (bagian tubuh) yang bisa disentuh, itu semua jadi kesepakatan," ungkap Putri saat ditemui di Jakarta, beberapa waktu lalu.

Dengan kata lain, IC memberi perhatian pada hal-hal detail terkait penciptaan adegan intim ataupun sekadar "menjurus" ke arah itu. Tak hanya adegan seksual laki-laki dan perempuan, sentuhan tangan ataupun gestur yang berpotensi menimbulkan ketidaknyamanan salah satu pemain, itu pun jadi perhatian.

Obrolan bersama pemain dan kru itu kemudian akan diturunkan ke dalam sebentuk kesepakatan bersama, disebut intimacy riders. Hal-hal yang menjadi perhatian itu bisa dicantumkan dalam kontrak kesepakatan kerja sama. Kontrak itu kelak yang akan menjadi "garis" bagi sutradara dan kru untuk mewujudkan suatu adegan intim yang aman dan nyaman bagi semua pihak.

Setelah tahap pra produksi, seorang IC juga wajib hadir langsung dalam proses syuting untuk menilai dan mengawasi aktivitas penciptaan adegan. Jika terjadi sesuatu yang berbeda dengan kesepakatan sebelumnya, maka IC harus menyatakan ada pelanggaran.

Dalam pembuatan adegan intim, IC bertindak menilai urgensi kehadiran tim produksi dalam set. Secara teori, IC berkepentingan untuk memastikan penciptaan adegan berjalan dengan pelibatan kru pendukung seminim mungkin. Misalnya, jika tak krusial fungsinya dalam set, IC bisa meminta kru tertentu untuk meninggalkan set. Hal itu demi memastikan pemain yang terlibat dalam adegan, bisa merasa lebih aman, tak menjadi tontonan orang-orang yang tak "relevan".

"Lalu aspek keamanannya, pendampingnan asisten sutradara misalnya yang jaga, atau siapapun dalam ruangan, apakah mereka siap menghadapi  adegannya? Misalnya apakah perlu treatment tertentu, apakah punya problem dengan adegan serupa. Apakah bisa tetap berkonsentrasi pada saat mengamati adegan tersebut? Nah itu kita pastikan semua," tambah Putri.

Selain menilai dan mengawasi sentuhan fisik yang dibutuhkan dalam suatu adegan, perhatian seorang IC juga menyentuh soal bahasa. Semisal ada istilah tertentu dalam dialog yang dirasa kurang nyaman oleh salah satu pemain, IC bertugas mengomunikasikan hal itu dengan sutradara dan menawarkan alternatif-alternatif yang lebih tepat.

Biasanya, menurut Putri, seorang IC bekerja hanya sampai pada tahap produksi. IC akan terus terlibat hingga pascaproduksi jika memang itu diminta oleh sutradara atau produser yang menaungi produksi.

Baca juga: Mendorong Lebih Banyak Cerita Budaya Lokal Diangkat Jadi Tema Film

Menurut Putri, untuk menjadi IC, dibutuhkan pemahaman teori dan pengalaman yang cukup matang. Dia sendiri harus menjalani sertifikasi IC di Singapura, di bawah lembaga Intimacy Professionals Association atau IPA. Dalam prosesnya, Putri menjalani pelatihan teoritis dan teknis selama dua minggu bersama mentor berpengalaman, ditambah proses pembelajaran langsung atau magang dengan bimbingan mentor.

Namun sertifikat tak sepenuhnya menjadi standar penentu kelayakan. Menurut Putri, dengan juga mempertimbangkan masih terbatasnya jumlah IC di Indonesia, orang dengan pengalaman lapangan pun layak untuk memegang peran IC dalam produksi film.

Karena ilmu IC, baginya juga adalah ilmu yang harus beradaptasi dengan konteks lingkungan suatu film dibuat dan ditayangkan. Kode-kode budaya atau nilai sosial juga penting dipahami oleh seorang IC, karena dari situ pula ia bisa menilai sejauh mana suatu tampilan atau adegan layak.

Sebab, setiap negara memiliki kode-kode sosial dan budaya yang berbeda. Di Indonesia, orang-orang menganggap pemeran yang tampil dengan bikini itu sesuatu yang vulgar atau "semi telanjang". Tapi ceritanya berbeda jika film dibuat di Amerika sana.

"Jadi memang kita harus belajar budayanya. Karena itu kenapa kita butuh lebih banyak lagi IC lokal, atau paling tidak Asia yang masih dekat. Karena kalau sudah keluar dari situ, itu budayanya udah beda sekali," papar Putri.

Dalam konteks itu, Putri menekankan perlunya lebih banyak tenaga terampil untuk menjalankan peran IC di Indonesia. Menurutnya, situasi di Indonesia saat ini adalah "darurat IC". Dua orang intimacy coordinator tentu tak akan bisa menangani lebih dari 200 film lokal yang dibuat sepanjang tahun.

“Kita butuh lebih banyak orang yang terlatih. Sertifikat itu adalah persoalan ujian, lulus, lalu dikasih sertifikat. Tapi menurut saya ketika orang sudah terlatih, sudah trained dan sudah mencapai standar tertentu terkait dengan ilmu ke-IC-an, boleh banget dia turun menjadi IC,” pungkasnya.


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar