c

Selamat

Minggu, 16 November 2025

KULTURA

02 Januari 2024

20:38 WIB

Problematika Abadi Penanganan Anjal Dan Gepeng

Citra 'kota' yang memudahkan orang mencari nafkah, membuat penuntasan masalah sosial sulit dilakukan pemerintah

Penulis: Annisa Nur Jannah

Editor: Rendi Widodo

Problematika Abadi Penanganan Anjal Dan Gepeng
Problematika Abadi Penanganan Anjal Dan Gepeng
Petugas Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) melakukan razia gelandangan dan pengemis di Lhokseumawe, Provinsi Aceh, Selasa (9/8). Antara Foto/Rahmad

JAKARTA - Di lorong-lorong gelap yang terselip di antara pencakar langit megah, banyak kisah pahit kaum pinggiran yang mencari nafkah tersimpan di bawah bayangan gemerlapnya kota. Anak-anak jalanan (anjal), pengemis, dan gelandangan harus menjalani kehidupan seadanya, memperjuangkan eksistensi mereka di antara bayang-bayang lingkungan urban.

Tak sedikit dari mereka yang datang jauh ke ibu kota dengan harapan sukses, justru harus bertahan hidup dari belas kasihan orang. Dalam upaya untuk bertahan hidup, selain harus mengatasi keterbatasan dan ketidakpastian, mereka juga harus berhadapan dengan penertiban dari pihak pemerintah yang sering kali dilakukan.

Ibrahim, seorang pengamen manusia silver asal Ciledug, menjalani rutinitasnya mengamen di lampu merah wilayah Jakarta Barat. Dengan tubuh berwarna silver yang membedakannya dari pengamen lain membuatnya harus siap menghadapi situasi ketika petugas dinas sosial datang untuk, dalam bahasa kasarnya “menangkap”. 

Tubuhnya yang berkilau dari cat perak dengan niat sebagai daya tarik selama mengamen, juga merupakan “senjata makan tuan”. Ibrahim membuat dirinya lebih mudah terlihat oleh petugas dinas sosial. Akhirnya, pria berusia 21 tahun ini pun lebih mudah ditangkap ketimbang pengamen lainnya.

“3 kali kena (razia.red). Pasrah saja kalau tertangkap, nanti juga dilepaskan lagi,” cerita Ibrahim saat bertemu tim Validnews di lampu merah bilangan Jakarta Barat pada Sabtu (30/12).

Meskipun sudah mengalami penangkapan berkali, Ibrahim mengaku bahwa belum pernah dititipkan ke dalam panti sosial. Jika ditanya siap atau tidak apabila suatu hari dirinya harus direhabilitasi di panti sosial, pria berkumis tipis itu dengan tegas mengatakan tidak siap.

Ibrahim mengaku khawatir karena mengingat penggambaran teman-temannya yang tertangkap bahwa kehidupan di panti sosial tidak seindah hidup di jalanan.

"Teman saya banyak yang diangkut sampai masuk ke panti sosial, di sana sama sekali tidak enak. Paling hanya makan dan minum saja, itu pun tidak enak. Tidak bisa merokok, ya bengong saja. Bahkan, rekan saya pernah ada yang sampai disatukan dengan orang dengan gangguan jiwa (ODGJ)," tuturnya.

Dia juga melihat, mereka yang dijaring oleh dinas lalu dimasukkan ke panti sosial yang berasal dari daerah tertentu, sering kali dipulangkan ke daerah asalnya. Baginya masuk ke panti sosial justru membuatnya kehilangan rezeki karena tidak bisa mencari nafkah.

Lantas, bagaimana sebenarnya upaya dinas sosial yang ada untuk masalah anjal dan gepeng?

Suprapto, sebagai Kepala Suku Dinas Sosial (Sudinsos) Jakarta Barat, mengungkapkan bahwa penjangkauan terhadap anak jalanan dan gelandangan pengemis dilakukan berdasarkan laporan masyarakat. 

Selain itu, hasil penjangkauan juga didasarkan pada upaya yang dilakukan oleh Satgas Penanganan Pengemis, Pengamen, dan Pekerja Seks Sosial (P3S) Suku Dinas Sosial Kota Administrasi Jakarta Barat.

Adapun rekapitulasi hasil penjangkauan Pelayanan Kesejahteraan Sosial (PPKS) tahun 2023, serta anjal dan gepeng yang didata sejak Januari hingga November. Untuk PPKS yakni jumlah keseluruhan sebanyak 1.405 orang. 

Lebih lanjut, rincian hasil penjangkauan tersebut mencakup jumlah anak jalanan yang dijangkau sebanyak 8 orang, jumlah gelandangan pengemis sebanyak 616 orang.

“Anjal dan gepeng yang dijangkau kemudian dirujuk ke Panti Sosial Bina Insan Bangun Daya 1, Kedoya, untuk menjalani proses assessment guna mengetahui permasalahan sosialnya. Selanjutnya, mereka akan dilanjutkan ke panti rehabilitasi sesuai dengan permasalahan sosial yang ditemui dalam assessment tersebut,” urai Suprapto kepada Validnews, Rabu (27/12).

Dia menegaskan, anak jalanan dan gelandangan yang tidak memiliki keluarga akan menjalani rehabilitasi di panti sosial sesuai dengan permasalahan sosial yang dihadapinya. 

Setelah menyelesaikan program pembinaan, mereka akan dikembalikan kepada keluarga atau lingkungan yang dapat memberikan dukungan setelah proses rehabilitasi tersebut. Sayangnya, banyak dari mereka yang kembali ke jalanan dan tertangkap kembali. Inilah yang akhirnya menjadi sebuah masalah tak pernah usai.

"Jadi, jika dari pandangan saya, memang perlu adanya kerja sama dengan pihak swasta terkait bagaimana anak jalanan dan gelandangan pengemis bisa diberdayakan di lokasi kerja mereka," harapannya. 

Punya Landasan Kuat 
 Menurut perspektif Musni Umar, seorang pakar sosiolog dan Rektor Universitas Ibnu Chaldun Jakarta, bahwa anjal dan gepeng sudah menjadi masalah selama 78 tahun Indonesia merdeka yang kasarnya tak pernah mendapat perhatian serius.

“Masalah anjal dan gepeng dianggap sudah biasa, maka tidak dianggap luar biasa. Karena anjal dan gepeng tidak punya organisasi yang memiliki posisi tawar dalam politik. Dampaknya, penanganan masalah tersebut tidak pernah tuntas,” ujar Musni Umar kepada Validnews, Jumat (26/12).

Idealnya, anak jalanan dan gepeng tidak seharusnya ada di Indonesia. Ini merujuk UUD ’45 yang menyebutkan bahwa konstitusi Pasal 34 ayat (1) yang menyatakan bahwa fakir miskin dan anak terlantar dipelihara oleh negara. Namun, kenyataannya, seperti yang diungkapkan oleh Musni, mereka masih banyak ditemukan di berbagai tempat di jalanan. Ini menunjukkan bahwa faktanya yang ada di lapangan berbeda dengan idealisme konstitusi.

"Padahal, masalah anak jalanan dan gepeng berkaitan erat dengan fenomena sosial seperti kemiskinan, faktor keluarga, pemahaman agama yang kurang, dan lingkungan sosial yang mendorong mereka menjadikan itu,” ungkapnya.

Menurut Musni, banyak keluarga miskin yang menanamkan nilai agama melarang anggota keluarganya menjadi anjal dan gepeng. Sayangnya, pada level lingkungan sosial tertentu justru ada yang menjadikan mereka sebagai sarana untuk mencari nafkah.

“Sejatinya kalau pemerintah mau mengatasi masalah tersebut tidak sulit. Alasannya, pertama, anjal dan gepeng sudah memiliki landasan konstitusi yang kuat untuk  diatasi. Persoalannya, pemerintah tidak menganggap penting mengatasi anjal dan gepeng ini,” bebernya.

Kemudian, permasalahan kedua yakni ada pada aparat yang dipercayakan pemerintah di mana seharusnya mereka dapat mendeteksi para anjal dan gepeng agar jumlahnya tidak semakin bertambah. 

Untuk itu, aparatur juga dapat melakukan penyelidikan lebih dalam untuk mengidentifikasi akar permasalahannya, apakah anak jalanan tersebut beroperasi secara mandiri atau diorganisir sebagai alat yang digerakkan oleh sindikat demi mencari uang.

“Ketiga, negara memiliki dana. Akan tetapi, pemerintah tidak  memiliki kemauan politik untuk mengatasi anjal dan gepeng. Mereka dibiarkan karena tidak mengganggu kepentingan politik hanya di level mengganggu pemandangan umum,” jelasnya.

LSM Justru Lebih Dominan
 Selaras dengan ungkapan Musni Umar, analis politik dan kebijakan publik dari Universitas Unis, Adib Miftahul bahwa permasalahan ini tak kunjung mendapatkan solusi terbaik. Padahal, mereka adalah golongan terlantar yang seharusnya dipelihara negara.

"Padahal, dengan sangat mudah, kota Jakarta memiliki anggaran lebih dari Rp80 triliun setiap bulan. Namun, keberpihakan terhadap kaum-kaum kecil ini nyaris tidak menjadi prioritas. Oleh karena itu, ini seharusnya menjadi kewajiban pemerintah kota setempat sebagai perpanjangan tangan dari pusat," ucap Adib Miftahul saat diwawancara Validnews, Jumat (29/12).

Adib menegaskan bahwa anggaran yang cukup besar seharusnya dapat dimanfaatkan untuk mengatasi masalah sosial seperti ini. Sebagai contoh, dari total anggaran yang tersedia, pemerintah DKI Jakarta bisa mengalokasikan hanya 20% untuk keperluan tertentu, dan sisanya dapat dialokasikan untuk menangani masalah-masalah yang belum terselesaikan.

Dia menyayangkan justru yang fokus kepada hal seperti ini malah seolah-olah menjalankan peran negara yakni lembaga, kelompok, atau organisasi yang aktif dalam mengupayakan pemberdayaan masyarakat dan pembangunan (LSM dan NGO). 

Menurutnya, meskipun mendapatkan dana dari sumbangan dan swadaya, mereka dapat memaksimalkan pendampingan bagi anak-anak terlantar.

Sebagai contoh, memberikan sekolah gratis di bawah jembatan dan upaya lainnya dapat diimplementasikan dengan lebih efektif oleh negara sebagai bagian dari tanggung jawabnya terhadap warganya.

“Justru saya mengapresiasi mereka malah berperan selayaknya negara sayangnya mereka keterbatasan anggaran karena mengandalkan hibah dan swadaya mereka sendiri,” tegasnya.

Pandangan Tentang Ibu Kota 
 Adib sendiri mengakui bahwa pemerintah tak sekonyong-konyong acuh pada isu anjal dan gepeng ini. Menurutnya sudah ada langkah-langkah penanganan yang dilakukan pemerintah, namun sayangnya langkah-langkah tersebut tidak efektif. 

Setelah anak jalanan dan gelandangan ini ditangkap dan ditempatkan di binaan atau panti, mereka umumnya hanya mendapatkan binaan dalam konteks tidak boleh ke mana-mana (kurungan sementara). Itu pun hanya dalam beberapa hari.

Beberapa panti mungkin lebih lengkap dalam menyediakan bekal, seperti pendidikan keahlian praktis yang diharapkan bisa menjadi ‘alat’ mereka mencari nafkah selain mengemis. Namun, entah kenapa ketika dikembalikan ke kerabat, mereka justru memilih kembali ke jalanan dan akhirnya membuat siklus lepas tangkap.

Sementara itu, dosen ilmu administrasi negara dari Universitas Negeri Surabaya, Dr. Firre An Suprapto, menegaskan bahwa fokus utama pemerintah di isu anjal dan gepeng harusnya dilakukan dari hulu ke hilir. Di kacamatanya, keadaan di mana anak jalanan dan gelandangan sering kembali ke jalanan meskipun sudah dikembalikan ke daerah asalnya menjadi suatu tantangan. 

Kerap, mereka berpandangan kehidupan menggelandang di Ibu Kota tetap lebih layak daripada hidup sederhana di desa.

“Konteks itu yang belum dapat diupayakan oleh pemerintah pusat dan daerah dalam rangka penyiapan langkah mengantisipasi. Oleh sebab itu, seharusnya pemda menyiapkan rencana detail implementasi pembinaan sosial, bantuan sosial, hingga ke perluasan kesempatan kerja di daerah asal,” ungkap Firre An, Selasa (2/1).

Buatnya, penanganan ideal terhadap anjal dan gepeng memerlukan penyusunan rencana aksi yang efektif untuk mengakomodasi kondisi mereka. Upaya tersebut sebaiknya tidak bersifat represif agar dapat memberikan dampak yang efektif dalam memperbaiki pola pikir mereka. 

Jadi, kesimpulan yang dapat ditarik menurutnya adalah bahwa upaya rehabilitatif yang dilakukan oleh pemerintah harus lebih dinamis. Misalnya, penyiapan tempat penampungan, pemberian bimbingan yang komprehensif, dan penyaluran bantuan yang terorganisasi.

 


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar